Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Ibu Ela, Ibu dari Empat Anak Sekaligus Juru Parkir Wanita yang Hebat

6 Desember 2018   01:19 Diperbarui: 6 Desember 2018   01:30 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu sore dengan cuaca agak mendung saya dan teman saya pergi ke daerah Stasiun Tebet, Jakarta Selatan untuk makan siang. Ketika kami memarkirkan mobil di parkiran dekat restoran Bebek Kaleyo, terlihat seorang wanita paruh baya yang menjadi juru parkir bagi mobil teman saya.

Beliau mengenakan hijab berwarna hitam, baju batik sebetis, celana merah, sendal jepit, dan tas selempang serta topi.

"Nama asli saya Ngatini, Mbak. Tapi dipanggilnya sama orang sini Bu Ela," begitu jawabnya ketika saya tanya perihal namanya.

Ibu berusia 54 tahun ini sudah 6 tahun bekerja sebagai juru parkir di sepanjang jalan daerah Stasiun Tebet. Semasa kecil ia dan keluarganya tinggal di Tebet, namun sekarang ia mengontrak rumah di Citayam, Bogor.

Setiap hari ia berangkat dari rumah pukul 11.00 menggunakan KRL dari Stasiun Citayam sampai Stasiun Tebet agar bisa sampai di tempatnya bekerja pukul 12.00 tepat pada saat makan siang.

"Pulangnya tergantung, kalo sepi, sebelum atau sesudah Maghrib saya udah pulang. Tapi kalo lagi rame bisa sampe jam 10 atau 11 (malam) baru pulang," katanya.

Tugasnya sehari-hari adalah mengatur parkir mobil dan motor di sepanjang jalan dari Stasiun Tebet sampai Bebek Kaleyo. Tarif parkirnya adalah Rp 5.000 mobil dan Rp 4.000/motor menurut penjelasan Ibu Ela sambil ia menunjukkan karcis-karcis parkir dari dalam tas selempangnya.

Beliau tidak digaji oleh Dishub karena Dishub hanya mengeluarkan surat ijin untuk menjadi juru parkir meskipun katanya sering terjadi konflik saat mengurus surat ijin tersebut. Dan surat ijin tersebut pun tidak perlu diperbaharui.

Selama Dishub masih memberikan ijin dan tidak ada pengganti beliau, maka Ibu Ela bebas menjadi juru parkir di daerah tersebut. Beliau memang murni mencari makan sendiri dari pekerjaannya ini. Setiap hari ia harus menyetor kepada petugas dari Dishub yang mendatangi lokasinya.

Sebenarnya ia diharuskan menyetor Rp70.000,00-Rp80.000,00 per hari, namun jika parkiran tersebut sepi seharian maka ia hanya bisa menyetor sekitar Rp40.000,00 saja.

Hujan rintik-rintik mulai turun ketika Ibu Ela bercerita mengenai keluarganya sehingga kami pun harus berteduh di bawah pohon. Suami Ibu Ela sudah meninggal dunia sejak 15 tahun yang lalu.

Beliau memiliki 4 orang anak. 3 diantaranya sudah berkeluarga, namun anaknya yang pertama beserta kedua cucunya tinggal bersama Ibu Ela karena suaminya telah meninggal. Anak pertamanya bekerja sebagai pedagang karena tidak mau ikut turun ke jalanan seperti Ibu Ela.

Namun anaknya kadang berjualan kadang tidak. Anaknya yang terakhir saat ini berusia 18 tahun dan saat ini bersekolah kelas 2 SMA.

"Harusnya udah lulus, Mbak. Tapi karena Ibu gak ada biaya jadi sempet gak sekolah dulu. Ini aja masih nunggak bayarannya. Kemaren minta uang buat ujian tapi Ibu belum punya," begitu ujarnya.

Ia berkata bahwa sebenarnya ada pekerjaan lain seperti jadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) misalnya, namun gajinya tidak cukup untuk kebutuhannya sehari-hari.

"Ya namanya nyambung hidup buat anak sekolah ya, Mbak. Gak apa-apa Ibu yang kerja, turun ke jalanan tiap hari daripada liat anak Ibu jadi pengamen. Udah, anak tanggung jawabnya sekolah aja, belajar yang bener, orangtua yang cari duit," ceritanya.

Selain membantu orang-orang memarkirkan mobil, Ibu Ela biasanya akan menanyakan tujuan orang tersebut. Hal ini sebenarnya ia lakukan untuk membantu pengendara tersebut bila terjadi apa-apa kepada kendaraannya sehingga Ibu Ela bisa dengan mudah mencarinya. Namun tindakannya ini sering disalahartikan oleh orang-orang.

"'Ngapain sih, pengen tau aja urusan orang' gitu, Mbak katanya. Padahal saya mah niatnya mau ngebantuin, kalo misalnya tiba-tiba mau diderek petugas atau apa kan kasian juga. 500 ribu, Mbak, bayarnya itu kalo diderek. Kalo saya punya duit mah saya bayarin dulu. Nanti kalo ada apa-apa pasti saya juga yang mereka cariin dan tanyain karena kan mereka liatnya saya pas markir," cerita Ibu Ela.

Walaupun kebaikannya sering disalahartikan, Ibu Ela tetap melakukannya untuk membantu para pemilik kendaraan tersebut dengan cara mencatat nomor plat mobilnya dan menanyakan tujuannya kemana sehingga ia bisa mendatangi orang tersebut jika terjadi apa-apa.

Melalui perbincangan saya dengan Ibu Ela banyak sekali pelajaran hidup yang dapat saya ambil. Melaluinya saya belajar bahwa untuk bekerja dan bertahan hidup di kota sebesar dan sekeras Jakarta bukanlah hal yang mudah. Butuh kerja keras, daya juang, serta kemauan dan keberanian untuk melakukan pekerjaan apapun selama halal.

Seperti Ibu Ela yang rela berkorban demi anak dan cucunya dengan bekerja di jalanan, melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, agar anak-anaknya bisa menikmati bangku sekolah dan hidup dengan layak.

Setiap pekerjaan pun memiliki resikonya masing-masing, misalnya Ibu Ela yang harus berdebat dengan petugas Dishub mengenai surat ijinnya atau mengalami penolakan dari orang-orang yang tidak suka ia tanyai mengenai tujuan mereka.

Saya pun merasa bahwa saya harus lebih banyak bersyukur karena saya memiliki rumah tinggal, memiliki keluarga yang mau bekerja keras demi membesarkan dan menyekolahkan saya, dan bisa menikmati bangku pendidikan sampai universitas dimana tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun