Mohon tunggu...
Jessica Anjelina Situmorang
Jessica Anjelina Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Sarjana Akuntansi - NIM 43222120038 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 11 - Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

23 November 2024   09:29 Diperbarui: 23 November 2024   09:38 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dimaksud dengan  Teori Edwin Sutherland dan Fenomena Korupsi?

kuis 11
kuis 11

Edwin Sutherland adalah seorang kriminolog terkemuka yang memperkenalkan teori white-collar crime pada tahun 1939. Dalam teorinya, Sutherland menyoroti bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan oleh individu dari kelas sosial bawah, seperti pencurian atau perampokan, tetapi juga terjadi di kalangan individu berstatus tinggi yang memiliki akses terhadap kekuasaan, otoritas, dan sumber daya. Kejahatan ini dikenal sebagai white-collar crime, yaitu tindak kriminal yang dilakukan oleh individu berstatus sosial tinggi dalam konteks pekerjaan mereka. Contohnya meliputi korupsi, manipulasi pajak, suap, penggelapan dana, hingga kejahatan dalam sektor korporasi.

Teori ini memiliki hubungan yang erat dengan konsep differential association atau teori asosiasi diferensial, yang menyatakan bahwa perilaku kriminal adalah hasil dari proses pembelajaran sosial. Menurut Sutherland, seseorang mempelajari teknik, nilai, dan rasionalisasi untuk melakukan kejahatan melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Jika seseorang terus-menerus terpapar pada norma dan perilaku menyimpang di lingkungannya, maka ia lebih mungkin untuk menginternalisasi perilaku tersebut sebagai hal yang wajar. Hal ini menjadikan lingkungan sosial sebagai faktor kunci dalam pembentukan perilaku kriminal.

Fenomena korupsi di Indonesia mencerminkan prinsip-prinsip dalam teori Sutherland ini. Korupsi, yang didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, sering kali dilakukan oleh individu dengan jabatan strategis di pemerintahan atau sektor swasta. Pelaku korupsi di Indonesia biasanya adalah pejabat tinggi, birokrat, atau pengusaha yang memiliki akses terhadap pengelolaan dana publik atau kebijakan penting. Contoh kasus korupsi yang melibatkan proyek besar, seperti pengadaan barang dan jasa pemerintah atau manipulasi pajak, menunjukkan bahwa kejahatan ini dilakukan oleh individu yang memiliki kekuasaan, sesuai dengan karakteristik white-collar crime.

Selain itu, korupsi di Indonesia sering kali terjadi karena proses pembelajaran sosial dalam lingkungan kerja. Misalnya, seorang pegawai baru dalam suatu instansi dapat mempelajari praktik korupsi dari rekan kerja atau atasannya. Lingkungan yang permisif terhadap gratifikasi, manipulasi laporan keuangan, atau penyalahgunaan wewenang membuat individu merasa bahwa perilaku tersebut adalah bagian dari norma organisasi. Proses ini memperkuat pola perilaku korupsi yang berulang, menjadikannya sebagai budaya yang sulit diberantas.

Teori Sutherland juga menjelaskan bagaimana pelaku korupsi sering kali merasionalisasi tindakan mereka. Mereka menggunakan berbagai alasan untuk membenarkan perilaku menyimpang, seperti menganggap korupsi sebagai "kompensasi" atas gaji yang rendah, atau sebagai "tradisi" yang sudah lama berlangsung dalam birokrasi. Dalam konteks Indonesia, rasionalisasi ini sering muncul dalam bentuk pembenaran moral, misalnya dengan dalih bahwa korupsi dilakukan demi "keamanan ekonomi" keluarga atau untuk mendukung kegiatan politik tertentu.

Dampak korupsi di Indonesia sangat besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Korupsi menggerogoti anggaran negara, memperburuk pelayanan publik, dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam skala yang lebih luas, korupsi menciptakan ketidaksetaraan, memperkuat kemiskinan, dan menghambat pembangunan nasional. Dengan memahami korupsi melalui kerangka teori Edwin Sutherland, kita dapat mengidentifikasi akar masalahnya, yaitu pola pembelajaran sosial dalam lingkungan yang mendukung perilaku menyimpang dan rasionalisasi yang menguatkan kejahatan.

Teori Sutherland memberikan perspektif penting untuk menganalisis korupsi di Indonesia. Pendekatan ini menekankan perlunya reformasi budaya organisasi, pengawasan yang ketat, dan pendidikan antikorupsi untuk mencegah pembelajaran sosial korupsi. Selain itu, penegakan hukum yang konsisten dapat memutus rantai perilaku korupsi, memberikan efek jera, dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung integritas. Dengan menerapkan teori ini, Indonesia dapat mengambil langkah strategis dalam memberantas korupsi secara sistemik dan berkelanjutan.

Mengapa teori ini relevan dengan fenomena korupsi di indonesia?

kuis 11
kuis 11

Teori Edwin Sutherland, terutama konsep white-collar crime dan differential association, relevan dalam memahami korupsi di Indonesia karena:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun