Dalam konteks ini, kebatinan sebagai pendekatan spiritual dan psikologis memiliki relevansi besar dalam mengatasi korupsi. Kebatinan yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram berfokus pada introspeksi diri dan pengelolaan rasa, yang dapat memperkuat moralitas individu.
Menurut ajaran Ki Ageng Suryomentaram, perilaku koruptif sering kali muncul dari ketidakpuasan batin yang disebabkan oleh ketidakmampuan mengelola ego. Ketika individu tidak mampu mengendalikan keinginannya, mereka mudah tergoda untuk mengambil apa yang bukan haknya, bahkan jika itu melanggar norma sosial dan hukum. Oleh karena itu, pendekatan kebatinan menekankan pentingnya pengendalian diri sebagai kunci untuk melawan dorongan destruktif yang dapat merusak tatanan sosial.
Ajaran kebatinan juga menyoroti pentingnya kesadaran moral, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan mana yang benar dan salah, serta bertindak sesuai dengan nurani. Kesadaran moral ini membantu individu untuk menolak godaan korupsi meskipun terdapat peluang yang sangat besar. Dalam pendekatan ini, perbaikan moral individu menjadi langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bebas korupsi.
2. Ketamakan dan Ego dalam Korupsi
Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa ketamakan (greget) dan ego adalah akar dari berbagai konflik, termasuk korupsi. Ketamakan merupakan dorongan untuk terus-menerus memenuhi keinginan tanpa batas, sedangkan ego adalah rasa kepemilikan atau pengakuan atas diri sendiri yang sering kali berlebihan. Ketika kedua aspek ini tidak dikelola dengan baik, mereka menjadi sumber perilaku destruktif, termasuk tindakan korupsi.
Korupsi sering kali didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kekayaan, status, atau kekuasaan dengan cara yang tidak sah. Dorongan ini muncul karena pelaku tidak merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Ketidakpuasan ini, menurut ajaran Ki Ageng Suryomentaram, disebabkan oleh kegagalan individu untuk memahami esensi kebahagiaan sejati. Dalam pandangan kebatinan, kebahagiaan tidak berasal dari pencapaian materi, melainkan dari kedamaian batin yang diperoleh melalui marem, tenteram, lila, legawa.
Ketamakan juga memperkuat rasa egoisme, di mana individu mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Dalam kondisi ini, pelaku korupsi tidak peduli pada dampak perbuatannya terhadap masyarakat atau institusi tempat ia bekerja. Ajaran kebatinan mengajarkan pentingnya menekan ego dengan cara introspeksi diri (ngelmu laku) dan pengendalian rasa. Dengan mengenali dorongan ketamakan dan ego dalam diri, seseorang dapat mengembangkan rasa puas dan cukup terhadap apa yang dimilikinya.
Penting untuk dipahami bahwa ketamakan dan ego tidak hanya masalah individu, tetapi juga memiliki dimensi sosial. Lingkungan yang mendukung budaya materialisme dan persaingan tidak sehat sering kali memperkuat dorongan untuk memenuhi keinginan secara instan, bahkan dengan cara yang melanggar hukum.Â
Oleh karena itu, ajaran kebatinan Ki Ageng Suryomentaram relevan tidak hanya pada tingkat individu tetapi juga dalam menciptakan budaya organisasi yang lebih sehat.
Dalam praktiknya, ajaran kebatinan ini dapat diterapkan melalui refleksi rutin dan pelatihan spiritual untuk membantu individu mengenali dan mengendalikan dorongan negatif. Selain itu, penting juga untuk membangun sistem yang mendukung nilai-nilai kebatinan, seperti transparansi, akuntabilitas, dan penghargaan terhadap integritas.
3. Memimpin Diri untuk Memimpin Orang Lain