Mohon tunggu...
Jessica Anjelina Situmorang
Jessica Anjelina Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Sarjana Akuntansi - NIM 43222120038 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

KUIS 10 - Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia pendekatan Robert Klitgaard

15 November 2024   21:05 Diperbarui: 16 November 2024   08:34 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Modul Dosen : Prof.Dr.Apollo
Modul Dosen : Prof.Dr.Apollo
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki potensi ekonomi yang besar, tetapi praktik korupsi yang merajalela telah menjadi salah satu penghalang utama dalam mencapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya melalui pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang bertujuan untuk memberantas korupsi di semua tingkatan pemerintahan. Meski begitu, upaya tersebut sering kali tidak cukup untuk menghilangkan korupsi dari akar-akarnya. 

APA ITU KORUPSI?

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara melanggar aturan atau norma yang berlaku. Dalam praktiknya, korupsi dapat melibatkan berbagai bentuk perilaku ilegal, seperti penyuapan, penggelapan dana, dan manipulasi informasi untuk keuntungan pribadi. Korupsi tidak hanya merugikan pihak-pihak yang terlibat secara langsung tetapi juga berdampak negatif pada sistem pemerintahan, ekonomi, dan masyarakat secara keseluruhan. Tindakan korupsi menciptakan ketidakadilan dan memperburuk ketimpangan sosial serta mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi. Sebagai konsekuensinya, upaya pemberantasan korupsi sangat penting untuk memastikan keadilan, transparansi, dan pembangunan yang berkelanjutan.

Konsep Dasar Teori Korupsi Robert Klitgaard

Robert Klitgaard, seorang ahli dalam bidang kebijakan publik, mengembangkan teori korupsi dengan rumusan sederhana yang disebut “Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability”. Teori ini menyederhanakan dan menjelaskan penyebab utama korupsi dalam tiga faktor kunci: monopoli, diskresi, dan akuntabilitas. Dengan konsep ini, Klitgaard menggambarkan bahwa korupsi cenderung terjadi ketika seseorang atau kelompok memiliki kekuasaan monopoli dalam suatu sistem atau kebijakan, memiliki keleluasaan atau diskresi dalam pengambilan keputusan, dan tidak diawasi oleh sistem akuntabilitas yang kuat. Dalam banyak kasus, kombinasi dari ketiga faktor ini menciptakan lingkungan yang rentan terhadap praktik korupsi, karena kurangnya pengawasan dan kendali atas penggunaan kekuasaan.

Mengapa Kasus Korupsi E-KTP bisa Terjadi?

Kasus korupsi E-KTP terjadi karena beberapa faktor struktural dan sistemik yang memfasilitasi penyalahgunaan anggaran. Menggunakan pendekatan Robert Klitgaard, tiga faktor utama penyebabnya adalah monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas.

  1. Monopoli dalam Proyek E-KTP
    Proyek E-KTP dikelola oleh kelompok kecil yang memiliki kontrol besar terhadap anggaran dan pengadaan barang/jasa. Proses tender yang tidak transparan memungkinkan beberapa perusahaan dengan hubungan politik atau ekonomi dengan pejabat untuk mendominasi proyek ini. Hal ini menciptakan peluang besar untuk manipulasi anggaran (Klitgaard, 1988).

  2. Diskresi dalam Pengambilan Keputusan
    Pejabat yang terlibat dalam proyek ini memiliki kebebasan besar dalam memilih vendor dan mengelola dana. Tanpa pengawasan ketat, keputusan yang diambil sering kali lebih didorong oleh kepentingan pribadi atau politis, bukan efisiensi proyek. Diskresi yang besar ini memungkinkan penyalahgunaan anggaran (Firdaus, 2019).

  3. Kurangnya Akuntabilitas dan Pengawasan Lemah
    Sistem pengawasan yang lemah dan minimnya transparansi membuat korupsi sulit terdeteksi. Tidak ada mekanisme pelaporan yang memadai, dan hubungan politik antar pihak terkait sering melindungi pelaku dari sanksi. Hal ini memperburuk peluang korupsi dalam pengelolaan proyek (Pusat Data dan Analisis, 2020).

Selain faktor-faktor struktural, budaya korupsi yang sudah mengakar di beberapa sektor pemerintahan turut memperburuk situasi ini, menciptakan lingkungan yang memungkinkan praktik koruptif berlangsung tanpa hambatan (Transparency International, 2021).

Bagaimana Relevansi dan Penerapan Teori Klitgaard dalam Kasus Korupsi E-KTP di Indonesia?

Kasus korupsi E-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) adalah salah satu skandal korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat tinggi pemerintah, anggota legislatif, serta pihak swasta yang terlibat dalam proyek pengadaan KTP elektronik yang dianggarkan dengan dana negara miliaran rupiah. Proyek ini, yang seharusnya menjadi langkah maju dalam modernisasi administrasi kependudukan di Indonesia, malah berakhir menjadi ladang bagi praktik korupsi besar-besaran.

Dalam konteks ini, teori Klitgaard mengenai korupsi sangat relevan untuk menganalisis faktor-faktor yang berkontribusi pada terjadinya korupsi dalam proyek tersebut. Robert Klitgaard, dalam karyanya yang berjudul Controlling Corruption (1988), mengidentifikasi tiga elemen kunci yang menyebabkan korupsi, yakni monopoli, kewenangan (discretion), dan akuntabilitas. Melalui teori ini, kita dapat menggali lebih dalam mengenai penyebab korupsi dalam proyek E-KTP, serta menawarkan solusi untuk mengurangi atau mencegah korupsi di masa depan.

Kasus korupsi E-KTP yang terjadi di Indonesia melibatkan penggelapan dana negara sebesar lebih dari Rp 5 triliun, yang terkait dengan proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP). Proyek ini dimulai pada tahun 2011 dengan tujuan untuk mengganti sistem KTP manual yang selama ini digunakan dengan sistem berbasis elektronik yang lebih modern. Namun, alih-alih memberikan manfaat bagi masyarakat dan negara, proyek ini malah menjadi sarang praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Banyak pejabat tinggi negara, anggota legislatif, serta pihak swasta yang terlibat dalam tindak pidana korupsi ini.

Teori Klitgaard tentang korupsi, yang memfokuskan pada tiga faktor utama—monopoli, kewenangan (discretion), dan akuntabilitas—memberikan kerangka yang sangat relevan untuk menganalisis kasus korupsi E-KTP ini. Ketiga faktor tersebut berkontribusi pada terjadinya korupsi dalam proyek besar ini. Dalam penjelasan lebih rinci ini, kita akan melihat bagaimana teori Klitgaard diterapkan untuk menjelaskan fenomena korupsi E-KTP.

1. Monopoli dalam Proyek E-KTP

Monopoli mengacu pada keadaan di mana suatu pihak atau individu memiliki kontrol penuh atas suatu sumber daya atau layanan tanpa adanya pesaing atau alternatif yang signifikan. Dalam kasus E-KTP, monopoli terjadi dalam hal pengelolaan dan pengadaan barang dan jasa terkait proyek E-KTP. Proyek ini sepenuhnya dikendalikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memiliki kewenangan besar dalam menentukan siapa yang terlibat dalam pengadaan dan pelaksanaan proyek tersebut.

Beberapa elemen monopoli yang terlihat dalam proyek E-KTP antara lain:

  • Kontrol Penuh oleh Kemendagri: Kemendagri memiliki kontrol penuh atas anggaran, pengadaan barang, serta pemilihan kontraktor dan vendor. Keputusan yang diambil terkait dengan vendor yang dipilih untuk menyediakan peralatan seperti mesin perekaman data dan perangkat keras lainnya tidak melalui proses seleksi yang transparan dan terbuka.
  • Kurangnya Persaingan: Dalam hal pengadaan barang dan jasa, sangat sedikit kontraktor yang terlibat dalam proyek ini. Proses tender yang seharusnya terbuka dan kompetitif, justru dimanfaatkan oleh oknum pejabat untuk memilih rekanan tertentu yang dapat memberikan keuntungan pribadi atau komisi. Beberapa perusahaan yang mendapat kontrak ternyata terkait dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah yang mengelola proyek ini.

Monopoli dalam pengelolaan proyek E-KTP memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk mengatur proses pengadaan dengan cara yang tidak sah. Misalnya, para pejabat dapat memanipulasi harga proyek, memotong anggaran, atau memfasilitasi pembayaran yang tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak. Klitgaard menunjukkan bahwa monopolistik dalam sistem ini menciptakan celah bagi terjadinya korupsi karena tidak ada kompetisi yang bisa mengawasi dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang memiliki kendali.

2. Discretion (Kewenangan yang Luas) dalam Kasus E-KTP

Discretion merujuk pada kewenangan yang luas yang diberikan kepada individu atau kelompok untuk membuat keputusan penting dalam proyek atau kebijakan tanpa pengawasan yang ketat. Dalam proyek E-KTP, para pejabat yang terlibat memiliki kewenangan yang sangat besar dalam berbagai tahap proyek, mulai dari penetapan anggaran hingga pemilihan vendor atau kontraktor. Keputusan-keputusan ini diambil tanpa keterlibatan masyarakat atau pengawasan independen yang cukup.

Beberapa contoh kewenangan yang luas yang menyebabkan potensi korupsi dalam kasus E-KTP adalah:

  • Penetapan Anggaran dan Penggunaan Dana: Pejabat-pejabat Kemendagri dan anggota legislatif yang terlibat dalam proyek E-KTP memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi anggaran proyek yang sangat besar. Dana yang seharusnya digunakan untuk pengadaan barang dan jasa, pelatihan petugas, serta distribusi KTP elektronik, ternyata dialihkan dan diselewengkan oleh para pelaku korupsi.

  • Pemilihan Vendor dan Proses Tender: Keputusan mengenai siapa yang akan mengerjakan proyek E-KTP sangat bergantung pada kewenangan yang dimiliki oleh pejabat tertentu di Kemendagri. Misalnya, meskipun ada vendor yang lebih berkompeten dan menawarkan harga lebih murah, namun keputusan untuk memilih vendor yang lebih menguntungkan bagi oknum pejabat, dengan memberikan komisi atau suap, tetap dilakukan. Proses ini biasanya dilakukan tanpa pengawasan yang jelas, dan pihak lain yang berkompeten tidak diberi kesempatan untuk bersaing.

  • Perubahan Spesifikasi dan Volume Proyek: Dalam proyek besar, sangat sering terjadi perubahan spesifikasi atau bahkan volume proyek yang tidak diawasi. Dalam kasus E-KTP, perubahan-perubahan tersebut justru memberi ruang bagi pejabat untuk memanipulasi anggaran dan melakukan penggelembungan harga. Beberapa kontraktor yang terlibat dalam proyek ini juga menerima pembayaran yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang sebenarnya dilakukan.

Discretion atau kewenangan yang luas ini memberikan peluang besar bagi para pelaku untuk menggunakan pengaruhnya dalam proyek E-KTP demi keuntungan pribadi. Klitgaard menekankan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, kewenangan yang luas ini dapat disalahgunakan, seperti yang terjadi dalam proyek E-KTP. Hal ini menunjukkan bahwa corruption thrives in environments where decision-making powers are unchecked (korupsi berkembang dalam lingkungan di mana kekuasaan pengambilan keputusan tidak diawasi).

3. Akuntabilitas yang Lemah dalam Proyek E-KTP

Akuntabilitas adalah konsep yang mengharuskan individu atau lembaga untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang mereka buat, terutama dalam penggunaan sumber daya publik. Dalam kasus E-KTP, sistem akuntabilitas sangat lemah. Bahkan meskipun proyek ini melibatkan dana yang sangat besar, tidak ada mekanisme pengawasan yang memadai untuk memastikan bahwa dana tersebut digunakan dengan benar dan sesuai dengan peruntukannya.

Beberapa aspek akuntabilitas yang lemah dalam kasus E-KTP antara lain:

  • Keterbatasan Pengawasan Eksternal: Selama pelaksanaan proyek E-KTP, tidak ada lembaga pengawas yang memiliki kewenangan dan kapasitas untuk memantau jalannya proyek secara menyeluruh. Kemendagri, sebagai lembaga yang mengelola proyek, tidak cukup transparan dalam mengelola anggaran dan proses pengadaan. Keterlibatan pihak-pihak yang terkait dalam proyek ini tanpa adanya pengawasan eksternal membuat mereka bebas menyalahgunakan dana proyek.

  • Pengawasan Internal yang Tidak Efektif: Sistem pengawasan internal dalam Kemendagri dan lembaga terkait tidak dapat mendeteksi adanya kecurangan atau penyalahgunaan dana. Para pejabat yang terlibat dalam proyek ini tampaknya memiliki akses yang cukup untuk mengontrol aliran dana dan membuat keputusan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dalam banyak kasus, perubahan atau penggelembungan harga dilakukan tanpa ada pertanyaan atau klarifikasi dari pihak lain.

  • Tidak Ada Pertanggungjawaban kepada Publik: Meskipun proyek E-KTP melibatkan dana publik yang besar, tidak ada upaya yang cukup untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengawasan atau pertanggungjawaban. Selain itu, laporan-laporan mengenai penggunaan dana proyek tersebut tidak dipublikasikan secara transparan.

Akuntabilitas yang lemah dalam proyek E-KTP menciptakan peluang besar bagi pejabat dan kontraktor untuk melakukan penyimpangan tanpa takut akan konsekuensi. Klitgaard menekankan bahwa tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas, tindakan-tindakan penyalahgunaan kekuasaan tidak akan terdeteksi, dan ini menjadi lahan subur bagi korupsi.

Penerapan teori Klitgaard dalam analisis kasus korupsi E-KTP menunjukkan bagaimana monopoli, kewenangan yang luas, dan akuntabilitas yang lemah dapat saling berinteraksi untuk menciptakan ruang bagi terjadinya korupsi. Monopoli dalam pengelolaan proyek, kewenangan yang luas yang dimiliki pejabat tanpa pengawasan yang memadai, serta akuntabilitas yang sangat lemah menjadi faktor-faktor utama yang memfasilitasi penyalahgunaan dana publik dalam proyek ini. Oleh karena itu, untuk mencegah terulangnya kasus serupa, sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki sistem pengawasan, meningkatkan transparansi dalam pengadaan, dan membangun sistem akuntabilitas yang kuat dalam setiap proyek besar yang melibatkan dana negara. 

Langkah Pencegahan Berdasarkan Pendekatan Klitgaard

Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1988) menawarkan pendekatan yang terstruktur untuk mengatasi dan mencegah korupsi. Pendekatan ini berfokus pada tiga faktor utama yang mempengaruhi terjadinya korupsi, yaitu monopoli, kewenangan yang luas (discretion), dan akuntabilitas yang lemah. Klitgaard menyarankan langkah-langkah pencegahan yang secara langsung menargetkan tiga faktor ini untuk mengurangi peluang terjadinya korupsi. Berikut adalah langkah-langkah pencegahan korupsi yang dapat diterapkan berdasarkan teori Klitgaard secara rinci:

1. Mengurangi Monopoli

Monopoli dalam pengelolaan sumber daya, layanan, atau pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu penyebab utama terjadinya korupsi. Ketika ada pihak yang menguasai secara penuh suatu sektor atau layanan, mereka memiliki kendali untuk menyalahgunakan kekuasaannya demi keuntungan pribadi.

Langkah Pencegahan:

  • Meningkatkan Kompetisi dalam Pengadaan: Untuk mengurangi monopoli, penting untuk memastikan bahwa sistem pengadaan barang dan jasa berjalan secara transparan dan terbuka. Proses tender harus kompetitif dan melibatkan banyak pihak yang memenuhi kriteria, sehingga tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasai pengadaan proyek besar.

    • Transparansi dalam Proses Tender: Menetapkan sistem pengadaan yang jelas dan terbuka, di mana semua informasi tentang tender, persyaratan, dan pemilihan vendor dipublikasikan kepada publik.
    • Pengawasan Pihak Ketiga: Libatkan lembaga independen atau pihak ketiga untuk memantau dan mengaudit proses pengadaan agar tidak ada campur tangan atau manipulasi dalam pemilihan kontraktor.
  • Mendorong Desentralisasi Pengelolaan Proyek: Desentralisasi berarti memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pihak lokal atau lembaga yang lebih kecil dalam hal pengelolaan proyek. Dengan mengurangi kontrol terpusat, seperti yang terjadi di banyak proyek pemerintah besar, korupsi dapat ditekan karena tidak ada satu pihak yang memiliki dominasi penuh atas pengelolaan anggaran dan pengadaan.

  • Pengelolaan yang Beragam: Membagi tanggung jawab dan kontrol atas proyek atau program antara beberapa lembaga atau pihak yang memiliki keahlian masing-masing, untuk mencegah dominasi satu pihak atas seluruh kegiatan tersebut.

2. Mengurangi Kewenangan yang Luas (Discretion)

Kewenangan yang luas memberi individu atau pejabat kemampuan untuk membuat keputusan penting tanpa pengawasan atau batasan yang jelas. Dalam banyak kasus, kewenangan yang luas ini disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Langkah Pencegahan:

  • Membatasi Kewenangan dan Menetapkan Aturan yang Jelas: Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pejabat atau individu harus dibatasi oleh aturan yang jelas dan transparan. Pembatasan ini bertujuan untuk mengurangi ruang bagi pejabat untuk menyalahgunakan kewenangannya dalam pengambilan keputusan.

    • Standarisasi Prosedur: Buat prosedur operasional standar (SOP) yang ketat dalam setiap pengambilan keputusan, khususnya yang berkaitan dengan alokasi dana publik, pemilihan vendor, dan perubahan spesifikasi proyek.
    • Batasan Penggunaan Kewenangan: Tentukan batasan yang jelas terkait dengan kewenangan pengambilan keputusan, dan pastikan bahwa keputusan-keputusan tersebut dipertanggungjawabkan di hadapan publik atau pihak lain yang berkepentingan.
  • Meningkatkan Pengawasan dan Regulasi: Implementasi pengawasan yang lebih ketat terhadap keputusan yang diambil oleh pejabat atau individu dengan kewenangan besar sangat penting. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan lebih banyak pihak dalam proses pengambilan keputusan.

    • Pengawasan oleh Lembaga Independen: Bentuk lembaga pengawas independen yang memiliki wewenang untuk menilai dan memantau keputusan-keputusan yang diambil oleh pejabat atau lembaga pemerintah.
    • Audit Berkala: Melakukan audit rutin dan independen terhadap semua keputusan yang melibatkan penggunaan sumber daya publik. Hasil audit harus dipublikasikan untuk memastikan transparansi.
  • Peningkatan Profesionalisme dan Etika Kerja: Pendidikan dan pelatihan terkait dengan etika publik, serta pemahaman yang lebih dalam tentang aturan dan tanggung jawab pemerintah, dapat membantu pejabat untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

3. Meningkatkan Akuntabilitas

Akuntabilitas yang lemah menjadi salah satu penyebab utama terjadinya korupsi, karena pejabat yang tidak diawasi tidak merasa berkewajiban untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Sistem akuntabilitas yang efektif memastikan bahwa setiap individu atau lembaga yang mengelola dana publik atau memiliki kewenangan dalam proyek tertentu harus dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan dan tindakan yang mereka ambil.

Langkah Pencegahan:

  • Membangun Sistem Akuntabilitas yang Jelas dan Terukur: Membentuk sistem yang jelas untuk memantau penggunaan sumber daya publik dan memastikan bahwa setiap penggunaan anggaran atau keputusan yang diambil harus dapat dijelaskan dengan alasan yang rasional. Akuntabilitas ini juga mencakup pemberian laporan yang transparan kepada publik mengenai penggunaan dana negara.

    • Laporan Keuangan yang Terbuka dan Rutin: Pastikan adanya laporan keuangan yang dipublikasikan secara berkala dan dapat diakses oleh publik, sehingga masyarakat dapat mengetahui bagaimana dana negara digunakan.
    • Sistem Pelaporan yang Mudah Diakses: Mengembangkan sistem pelaporan yang memungkinkan warga negara untuk melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran atau praktik korupsi dengan cara yang mudah dan aman.
  • Mendorong Keterlibatan Publik:Partisipasi masyarakat dalam pengawasan adalah elemen penting dalam meningkatkan akuntabilitas. Dengan melibatkan publik, baik melalui mekanisme pengawasan langsung maupun dengan memberikan akses terhadap informasi, akan lebih mudah untuk mendeteksi adanya ketidakwajaran dalam pengelolaan proyek pemerintah.

    • Peningkatan Transparansi: Semua keputusan penting dan laporan terkait proyek atau kebijakan yang melibatkan dana publik harus dipublikasikan kepada publik secara transparan.
    • Fasilitas Pengaduan Masyarakat: Sediakan platform pengaduan yang memungkinkan masyarakat untuk melaporkan potensi korupsi atau penyalahgunaan kewenangan, dan pastikan bahwa pengaduan tersebut diproses dengan serius.
  • Penegakan Hukum yang Tegas: Untuk mendukung akuntabilitas, diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap individu atau lembaga yang terbukti melakukan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan akan mengirimkan pesan yang jelas bahwa tidak ada toleransi terhadap korupsi.

    • Pemberian Sanksi yang Tegas: Pastikan adanya sanksi hukum yang tegas bagi pejabat atau individu yang terbukti terlibat dalam praktik korupsi.
    • Perlindungan terhadap Pelapor Korupsi: Berikan perlindungan hukum kepada mereka yang melaporkan tindakan korupsi untuk memastikan tidak ada intimidasi terhadap pihak yang berani mengungkapkan kecurangan.

Pendekatan Klitgaard untuk mencegah korupsi menawarkan solusi yang jelas dan terstruktur untuk mengatasi masalah korupsi. Dengan fokus pada pengurangan monopoli, pembatasan kewenangan yang luas, dan peningkatan akuntabilitas, langkah-langkah pencegahan ini dapat mengurangi peluang terjadinya korupsi, terutama dalam pengelolaan proyek besar yang melibatkan dana negara. Implementasi langkah-langkah ini memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, adil, dan bebas dari korupsi.

Kesimpulan

Kesimpulan dari tulisan ini menunjukkan bahwa teori Robert Klitgaard mengenai korupsi sangat relevan untuk memahami dan mencegah kasus korupsi seperti yang terjadi dalam proyek E-KTP di Indonesia. Kasus ini mengilustrasikan bagaimana tiga faktor utama yang dijelaskan dalam teori Klitgaard—monopoli, kewenangan yang luas, dan akuntabilitas yang lemah—berkontribusi besar terhadap terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan penggelapan dana publik. Monopoli dalam pengelolaan proyek, kewenangan yang tidak dibatasi dalam pengambilan keputusan, serta minimnya akuntabilitas terhadap penggunaan dana negara menciptakan peluang besar untuk korupsi. Untuk mencegah hal serupa di masa depan, langkah-langkah yang diusulkan oleh Klitgaard, seperti mengurangi monopoli dengan membuka pengadaan secara transparan, membatasi kewenangan pejabat dengan menetapkan prosedur yang jelas, dan meningkatkan akuntabilitas melalui pengawasan yang ketat serta penegakan hukum yang tegas, sangat penting untuk diterapkan. Dengan melibatkan komitmen yang kuat dari pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat, diharapkan sistem yang lebih transparan, efisien, dan bebas dari korupsi dapat terwujud, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan sumber daya negara.

Daftar Pustaka 

Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2017). Laporan Akhir Kasus E-KTP. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2017). Proyek E-KTP: Pembangunan dan Pengawasan. Jakarta: Kemendagri.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kejaksaan Agung Republik Indonesia. (2017). Studi Kasus Korupsi E-KTP: Proses, Pelaku, dan Dampaknya. Jakarta: Kejaksaan Agung.

Firdaus, A. (2018). "Skandal e-KTP: Analisis dan Dampaknya terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia." Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik, 5(1), 45-62.

Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge University Press.

Tempo. (2017). "Menguak Korupsi e-KTP: Pelaku, Modus, dan Kerugian Negara." Retrieved from https://www.tempo.co

Prasetyo, T., & Prasetya, E. (2017). "Analisis Korupsi di Indonesia: Penyebab, Dampak, dan Upaya Pencegahan." Jurnal Hukum & Pembangunan, 47(3), 324–335.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun