Mohon tunggu...
Jessica Anjelina Situmorang
Jessica Anjelina Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Sarjana Akuntansi - NIM 43222120038 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas Besar 1 - Integritas Sarjana dan Aplikasi Moral Kantian

14 Oktober 2024   16:18 Diperbarui: 17 Oktober 2024   13:42 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tugas besar 1
tugas besar 1

tugas besar 1
tugas besar 1

tugas besar 1
tugas besar 1

    Etika dan moral adalah dua konsep yang saling terkait namun memiliki karakteristik yang berbeda. Etika, sebagai cabang filsafat, mengkaji dan menganalisis prinsip-prinsip yang mendasari tindakan manusia serta norma-norma yang mengatur perilaku. Ia berfokus pada pertanyaan mendasar tentang apa yang dianggap benar dan salah, serta bagaimana individu dan masyarakat seharusnya bertindak. 

     Dalam konteks ini, etika sering kali mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan dan mempertanyakan nilai-nilai yang mendasarinya, seperti dalam etika profesi, etika bisnis, atau etika medis. Di sisi lain, moral merujuk pada norma, nilai, dan prinsip yang diterima dalam suatu masyarakat atau komunitas.

     Moralitas lebih bersifat praktis dan terikat pada kebiasaan serta ajaran yang diwariskan dalam budaya tertentu, yang menentukan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, moralitas dapat mencakup kepercayaan tentang kejujuran, keadilan, atau tanggung jawab sosial. Dengan demikian, etika memberikan kerangka kerja untuk menganalisis dan memahami tindakan, sedangkan moral berfungsi sebagai panduan praktis bagi individu dalam berperilaku sesuai dengan norma sosial yang berlaku.     

   Etika Kewajiban Kant (dikenal juga sebagai etika deontologis) dikembangkan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant (1724–1804) sebagai tanggapan terhadap perkembangan filsafat moral yang ada pada zamannya, terutama etika teleologis yang menilai moralitas tindakan berdasarkan konsekuensinya (seperti utilitarianisme). Kant memperkenalkan pendekatan yang sangat berbeda, di mana moralitas tindakan ditentukan oleh kewajiban, bukan hasil atau tujuan dari tindakan tersebut.

     

Modul Dosen : Prof.Dr.Apollo
Modul Dosen : Prof.Dr.Apollo
Kata "deontologis" berasal dari bahasa Yunani "deon", yang berarti kewajiban atau apa yang harus dilakukan. Dalam pandangan ini, moralitas bukan tentang mencapai tujuan tertentu (seperti kebahagiaan atau kesenangan), tetapi tentang melakukan tindakan yang secara inheren benar menurut prinsip-prinsip moral yang bersifat absolut dan tanpa syarat. 

Apa yang dimaksud dengan etika Kant?


     Kantian ethics (etika Kant) merupakan etika moral yang berpusat pada kewajiban (deontologis), di mana kewajiban moral bersifat absolut dan tidak bersyarat, berdasarkan prinsip-prinsip apriori. Ini artinya aturan moral tidak tergantung pada hasil atau konsekuensi tetapi pada prinsip-prinsip moral yang universal. 

     Deontologis (Wajib) – Kantian ethics (etika Kant) 

   Etika Kant, yang dikenal sebagai etika deontologis, berfokus pada kewajiban dan aturan moral yang dianggap absolut dan tidak bersyarat. Konsep ini sangat berbeda dari etika utilitarianisme, yang menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya. Menurut Immanuel Kant, kewajiban moral tidak dapat diukur atau dinilai berdasarkan hasil yang dihasilkan; sebaliknya, ia berakar pada prinsip-prinsip apriori yang bersifat universal. Prinsip apriori ini adalah norma-norma moral yang dapat diterima oleh semua orang tanpa kecuali dan berlaku di mana saja, kapan saja. Dengan demikian, jika suatu tindakan dianggap benar, maka tindakan tersebut harus dapat dijadikan hukum universal yang dapat diterima oleh setiap individu.

     Salah satu elemen utama dari etika Kant adalah imperatif kategoris, yang merupakan perintah moral yang tidak bersyarat. Imperatif kategoris mengharuskan individu untuk bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat diuniversalisasi. Artinya, seseorang harus bertanya pada diri sendiri apakah mereka ingin tindakan mereka dijadikan hukum universal. Jika tidak, maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral. Contoh yang sering digunakan untuk menjelaskan imperatif kategoris adalah ketika seseorang mempertimbangkan untuk berbohong. Dalam konteks ini, individu harus menilai apakah mereka ingin semua orang berbohong dalam situasi yang sama. Jika jawaban untuk pertanyaan ini adalah "tidak," maka berbohong dianggap salah. Oleh karena itu, tindakan moral harus dilakukan bukan untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari kerugian, tetapi demi kewajiban untuk bertindak dengan benar.

      Kant juga menekankan pentingnya martabat manusia dalam etika. Dia berpendapat bahwa setiap individu harus diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri, bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain. Hal ini menggarisbawahi bahwa setiap orang memiliki nilai dan martabat yang tidak dapat diukur berdasarkan kegunaan mereka. Dalam konteks ini, tindakan yang memperlakukan orang lain sebagai alat atau sarana untuk mencapai keuntungan pribadi dianggap tidak etis. Dengan memperlakukan setiap individu sebagai tujuan, Kant menegaskan pentingnya menghormati hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.

       Lebih lanjut, Kant berargumen bahwa hukum moral tidak dapat ditentukan oleh norma-norma sosial atau legalitas, melainkan harus berasal dari internal individu itu sendiri. Moralitas tidak dapat diukur hanya dengan mematuhi hukum; sebaliknya, moralitas harus mencerminkan kesadaran moral yang lebih dalam dan prinsip-prinsip etis yang dipegang oleh individu. Dalam pandangannya, moralitas adalah sesuatu yang bersifat universal dan bersifat permanen, sehingga tidak dapat diubah oleh keputusan atau opini mayoritas. Ini berarti bahwa tindakan moral adalah kewajiban yang harus dipenuhi terlepas dari situasi atau konteks yang ada.

      Di sisi lain, Kant mengingatkan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada otonomi, yaitu kemampuan individu untuk membuat keputusan moral berdasarkan pemahaman dan penalaran mereka sendiri. Otonomi moral berarti bahwa individu harus bertindak dengan menghormati prinsip-prinsip moral yang berasal dari diri mereka sendiri, bukan berdasarkan tekanan eksternal. Oleh karena itu, tindakan moral tidak hanya mencerminkan kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga mencerminkan kesadaran dan komitmen pribadi untuk menjalankan kewajiban moral.

      Secara keseluruhan, etika Kant berfungsi sebagai panduan yang kuat untuk tindakan moral, menekankan bahwa tindakan kita harus didasarkan pada kewajiban dan prinsip-prinsip yang dapat diterima secara universal. Pendekatan ini menantang individu untuk bertindak dengan integritas dan menghormati martabat manusia, terlepas dari konsekuensi yang mungkin timbul. Melalui etika Kant, kita diingatkan bahwa moralitas bukanlah soal hasil akhir, tetapi tentang komitmen untuk bertindak benar berdasarkan prinsip moral yang lebih tinggi.

Konsep “Kau Harus/Kau Wajib” 

    Dalam etika Kantian adalah inti dari pemikiran moral Immanuel Kant, yang berlandaskan pada apa yang ia sebut sebagai imperatif kategoris (IK). Imperatif kategoris merupakan prinsip yang menyatakan bahwa tindakan seseorang harus dapat diterima sebagai hukum universal yang berlaku untuk semua orang dalam situasi yang sama. Dalam pandangan Kant, tindakan moral tidak bergantung pada hasil atau konsekuensi dari tindakan tersebut, tetapi pada prinsip-prinsip moral yang mendasari keputusan individu. Ini berarti bahwa tindakan harus dilakukan bukan karena adanya dorongan untuk mendapatkan manfaat pribadi atau menghindari kerugian, tetapi semata-mata karena kewajiban moral.

     Menurut Kant, tindakan yang didorong oleh kepentingan pribadi atau pamrih tidak dapat dianggap sebagai tindakan moral yang sah. Untuk memahami ini, kita dapat merujuk pada contoh sederhana: jika seseorang memberikan sumbangan kepada amal dengan harapan untuk mendapatkan pujian atau imbalan, tindakan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai tindakan moral. Sebaliknya, jika individu memberikan sumbangan tersebut hanya karena ia merasa berkewajiban untuk membantu orang lain, tindakan tersebut dapat dianggap bermoral. Dalam hal ini, kewajiban moral adalah motivasi utama yang menggerakkan tindakan tersebut.

    Kant berargumen bahwa imperatif kategoris ini harus diterapkan secara konsisten, dan individu harus dapat mempertanyakan apakah tindakan yang diambilnya dapat dijadikan hukum universal. Dalam hal ini, Kant mengusulkan dua pertanyaan utama yang harus diajukan: "Apakah aku ingin tindakan ini dijadikan hukum universal?" dan "Apakah tindakan ini menghormati martabat dan nilai setiap individu?" Jika jawabannya adalah "tidak" maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral.

     Dengan demikian, imperatif kategoris memberikan kerangka kerja bagi individu untuk menilai tindakan mereka secara objektif dan rasional. Kewajiban moral ini bersifat absolut dan tidak bersyarat; artinya, seseorang harus bertindak sesuai dengan prinsip moral yang diterima secara universal, tanpa mempertimbangkan keuntungan pribadi. Prinsip ini menegaskan bahwa moralitas bukanlah soal apa yang dianggap baik oleh masyarakat atau kelompok tertentu, tetapi berdasarkan norma-norma yang dapat diterima oleh semua orang.

     Lebih jauh, konsep “Kau Harus/Kau Wajib” menegaskan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Ini berarti bahwa kita tidak hanya bertindak sesuai dengan norma yang ada, tetapi juga berusaha untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moral dalam setiap tindakan kita. Dalam konteks ini, individu diharapkan untuk menjadi agen moral yang mampu menentukan tindakan yang benar berdasarkan pemahaman dan kesadaran moral mereka sendiri.

      Contoh lain yang menggambarkan pentingnya imperatif kategoris adalah dalam konteks kejujuran. Jika seseorang mempertimbangkan untuk berbohong untuk menghindari masalah, maka dia harus bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah aku ingin semua orang berbohong dalam situasi yang sama?" Jika jawabannya adalah "tidak" maka berbohong tidak dapat dianggap sebagai tindakan moral yang dapat diterima. Dalam hal ini, kejujuran tidak hanya dianggap sebagai tindakan yang baik, tetapi sebagai kewajiban moral yang harus dijalankan tanpa mempertimbangkan hasil atau konsekuensi yang mungkin timbul.

     Dengan kata lain, etika Kantian menantang kita untuk bertindak dengan integritas, di mana kita mematuhi kewajiban moral kita terlepas dari situasi yang dihadapi. Prinsip ini mengajak individu untuk mengembangkan karakter moral yang kuat, yang tidak hanya memperhatikan kepentingan pribadi tetapi juga menghormati dan memperlakukan orang lain dengan cara yang sesuai dengan martabat mereka sebagai manusia. Seiring dengan itu, etika Kantian memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana kita seharusnya berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, dengan menekankan pentingnya tindakan moral yang didasarkan pada kewajiban dan prinsip yang dapat diterima secara universal.

Modul Dosen : Prof.Dr.Apollo
Modul Dosen : Prof.Dr.Apollo

Rumusan Pertama (Imperatif Kategoris) dalam Etika Kant

     Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang sangat berpengaruh dalam perkembangan etika modern, mengemukakan prinsip-prinsip moral yang mendasar yang dikenal sebagai imperatif kategoris. Dalam etika Kant, imperatif kategoris merupakan rumusan pertama dari etika kewajiban yang menjadi pilar utama dalam sistem moralnya. Rumusan ini menekankan bahwa tindakan moral harus berdasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat diterima secara universal, dan tidak tergantung pada kepentingan pribadi atau hasil dari tindakan tersebut.

Definisi Imperatif Kategoris

     Imperatif kategoris dapat didefinisikan sebagai perintah yang mengharuskan individu untuk bertindak dengan cara tertentu berdasarkan pada alasan moral yang bersifat universal dan tidak bersyarat. Berbeda dengan imperatif hipotesis yang bersifat kondisional dan bergantung pada keinginan atau tujuan individu, imperatif kategoris memandang bahwa tindakan harus dilakukan semata-mata karena itu adalah kewajiban moral. Dengan kata lain, imperatif kategoris menuntut agar individu bertindak menurut prinsip yang dapat dijadikan hukum universal.

  • Prinsip Dasar Imperatif Kategoris

Kant merumuskan imperatif kategoris dalam beberapa bentuk, yang masing-masing menekankan aspek-aspek tertentu dari tindakan moral. Salah satu rumusan paling terkenal adalah:

“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip tindakanmu dapat dijadikan hukum universal.”

       Pernyataan ini menunjukkan bahwa sebelum seseorang melakukan suatu tindakan, mereka harus mempertimbangkan apakah prinsip di balik tindakan tersebut dapat diterima sebagai hukum yang berlaku untuk semua orang dalam situasi yang sama. Jika prinsip tersebut tidak dapat diterima secara universal, maka tindakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai tindakan moral.

Contoh Imperatif Kategoris

     Misalnya, jika seseorang berpikir untuk berbohong, mereka harus mempertimbangkan apakah mereka ingin semua orang berbohong dalam situasi yang sama. Jika prinsip berbohong diterima sebagai hukum universal, maka kebenaran itu sendiri akan menjadi tidak berarti. Dalam hal ini, tindakan berbohong tidak dapat dibenarkan oleh Kant karena tidak dapat diterima sebagai prinsip yang dapat diterapkan secara universal.

Contoh lainnya adalah ketika seseorang mempertimbangkan untuk mencuri. Menggunakan imperatif kategoris, mereka harus bertanya apakah mereka ingin mencuri menjadi prinsip yang diterima oleh semua orang. Jika semua orang mencuri ketika mereka menginginkan sesuatu, maka konsep kepemilikan akan hilang, dan tindakan tersebut tidak dapat dipertahankan sebagai moral.

       Salah satu aspek penting dari imperatif kategoris adalah penekanan pada motivasi di balik tindakan. Kant berargumen bahwa tindakan moral harus dilakukan demi kewajiban itu sendiri, bukan untuk mendapatkan manfaat pribadi atau keuntungan. Ini berbeda dengan pandangan utilitarianisme, yang menilai moralitas berdasarkan hasil atau konsekuensi dari tindakan. Menurut Kant, tindakan yang didorong oleh kepentingan pribadi atau hasil yang diinginkan tidak dapat dianggap sebagai tindakan moral. Sebagai contoh, jika seseorang membantu orang lain hanya untuk mendapatkan pujian atau imbalan, tindakan tersebut tidak memenuhi standar moral Kant. Sebaliknya, tindakan yang dilakukan semata-mata karena itu adalah kewajiban moral—seperti membantu seseorang yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan—adalah tindakan yang dianggap moral.

  • Universalitas dan Keberlakuan

      Kant juga menekankan pentingnya universalitas dalam tindakan moral. Konsep bahwa setiap individu harus bertindak sedemikian rupa sehingga prinsip tindakan mereka dapat dijadikan hukum universal merupakan landasan bagi keadilan dan kesetaraan. Dengan memperlakukan semua orang secara setara dan tidak mementingkan kepentingan pribadi, individu berkontribusi terhadap tatanan moral yang lebih besar yang menghormati hak dan martabat setiap orang. Ini sejalan dengan pemikiran Kant tentang martabat manusia dan hak asasi manusia, yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki nilai dan hak yang tidak boleh dilanggar.

  • Tantangan dan Kritik

      Meskipun imperatif kategoris memiliki banyak pengikut, ada beberapa kritik yang diajukan terhadap pendekatan ini. Salah satu kritik utama adalah bahwa prinsip ini mungkin terlalu kaku dan tidak memperhitungkan nuansa situasi tertentu. Dalam beberapa situasi, tindakan yang dianggap tidak bermoral dalam satu konteks mungkin dibenarkan dalam konteks lain. Misalnya, jika seseorang dihadapkan pada situasi di mana berbohong adalah satu-satunya cara untuk melindungi hidup seseorang, imperatif kategoris mungkin tidak memberikan panduan yang memadai. Namun, Kant berargumen bahwa prinsip moral yang universal tetap harus menjadi panduan utama dalam membuat keputusan, meskipun situasi tertentu mungkin memunculkan tantangan bagi penerapan prinsip tersebut.

  • Penerapan Imperatif Kategoris dalam Kehidupan Sehari-hari

      Penerapan imperatif kategoris dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu individu dalam mengambil keputusan etis. Dengan mempertimbangkan prinsip di balik tindakan mereka dan mengevaluasi apakah prinsip tersebut dapat diterima sebagai hukum universal, individu dapat berusaha untuk bertindak dengan cara yang lebih moral. Misalnya, dalam konteks bisnis, seorang pemimpin yang berkomitmen pada etika Kantian akan mempertimbangkan dampak keputusan mereka terhadap semua pemangku kepentingan, bukan hanya keuntungan finansial. Dengan demikian, imperatif kategoris dapat membantu menciptakan budaya etika yang kuat dalam organisasi.

       Imperatif kategoris dalam etika Kant menekankan pentingnya tindakan moral yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat diterima secara universal. Dengan fokus pada kewajiban dan motivasi di balik tindakan, Kant menawarkan pandangan yang berbeda dari banyak teori moral lainnya. Meskipun ada tantangan dan kritik terhadap pendekatannya, imperatif kategoris tetap relevan dan memberikan landasan yang kuat untuk membuat keputusan moral yang etis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengikuti prinsip ini, individu dapat berkontribusi pada tatanan moral yang lebih adil dan setara bagi semua orang.

      Dengan penekanan pada kewajiban moral yang absolut dan tanpa syarat, etika Kantian mengajak kita untuk mengembangkan kesadaran moral yang mendalam dan tanggung jawab terhadap tindakan kita. Prinsip imperatif kategoris bukan hanya sekadar panduan dalam membuat keputusan; ia juga mengajak kita untuk mempertimbangkan dampak dari tindakan kita terhadap orang lain dan dunia di sekitar kita. Melalui pemahaman dan penerapan imperatif kategoris, kita dapat memperkuat integritas moral kita dan berkontribusi pada kebaikan bersama.

Rumusan Kedua Kant: Manusia sebagai Tujuan, Bukan Sarana

     Salah satu elemen kunci dari filsafat moralnya adalah doktrin kedua yang dikenal sebagai Formula Kemanusiaan dari Imperatif Kategoris. Doktrin ini menyatakan bahwa manusia harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain. Ide ini merupakan inti dari pemikiran Kant tentang martabat manusia, kebebasan, dan kewajiban moral yang mendasari seluruh sistem etikanya.  

Mengapa menurut Kant, manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dan bukan sebagai sarana?

     

      Menurut Immanuel Kant, manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dan bukan sebagai sarana karena setiap individu memiliki martabat dan nilai moral yang melekat, yang tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Prinsip ini merupakan bagian dari doktrin kedua dalam etika Kant, yang disebut sebagai "imperatif kategoris." Kant berpendapat bahwa manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan moral secara bebas dan otonom, sehingga layak mendapatkan penghormatan yang setara. Dengan kata lain, manusia bukanlah objek yang bisa digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan subjek moral yang memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri.

     Memperlakukan seseorang sebagai sarana berarti memanfaatkan mereka hanya untuk keuntungan atau tujuan tertentu tanpa memperhatikan kehormatan, hak, atau kesejahteraan mereka. Hal ini, bagi Kant, merupakan pelanggaran terhadap prinsip moral dasar karena mengabaikan kemanusiaan yang ada dalam setiap individu. Sebaliknya, memperlakukan seseorang sebagai tujuan berarti menghormati otonomi dan nilai mereka sebagai manusia, mengakui bahwa setiap orang memiliki tujuan hidup yang independen dan tidak boleh dijadikan alat untuk kepentingan orang lain.

     Konsep ini penting dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan antar manusia, politik, dan etika profesional. Dalam konteks akademik, misalnya, prinsip ini mengharuskan para sarjana untuk tidak mengeksploitasi orang lain, baik itu mahasiswa, rekan kerja, atau partisipan penelitian, demi keuntungan pribadi atau karier. Oleh karena itu, Kant menekankan bahwa moralitas yang sejati hanya dapat dicapai ketika kita bertindak dengan menghormati setiap individu sebagai makhluk yang memiliki nilai intrinsik, bukan sekadar sebagai sarana untuk tujuan kita sendiri.

Prinsip Dasar Doktrin Kedua

 Doktrin kedua Kant dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga Anda selalu memperlakukan kemanusiaan, baik dalam dirimu sendiri maupun dalam diri orang lain, sebagai tujuan, dan bukan sebagai sarana belaka.”

     Kata kunci dalam doktrin ini adalah "tujuan" dan "sarana". Kant menegaskan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang melekat dan nilai intrinsik yang tidak boleh dilanggar. Karena manusia adalah makhluk rasional dengan kemampuan untuk membuat keputusan moral, mereka memiliki nilai yang jauh melampaui segala bentuk tujuan instrumental. Dengan demikian, setiap manusia harus dihormati, dan tindakan moral harus memperhitungkan martabat individu tersebut.

  • Perbedaan Tujuan dan Sarana

    Untuk memahami doktrin ini dengan lebih baik, penting untuk memahami perbedaan antara memperlakukan seseorang sebagai tujuan dan memperlakukan seseorang sebagai sarana. Ketika kita memperlakukan seseorang sebagai tujuan, kita menghormati hak dan martabat mereka sebagai individu. Ini berarti kita tidak memanipulasi, mengeksploitasi, atau menggunakan mereka hanya untuk mencapai keuntungan pribadi atau tujuan tertentu. Sebaliknya, memperlakukan seseorang sebagai sarana berarti kita hanya melihat mereka sebagai alat untuk mencapai tujuan kita sendiri, tanpa memperhatikan kepentingan, martabat, atau hak-hak mereka.

     Misalnya, jika seseorang hanya berteman dengan orang lain karena mereka ingin mendapatkan keuntungan finansial dari hubungan tersebut, ini adalah contoh memperlakukan orang lain sebagai sarana. Orang tersebut hanya diperlakukan sebagai alat untuk mencapai keuntungan pribadi, bukan sebagai individu yang harus dihormati. Dalam etika Kantian, ini adalah tindakan yang tidak bermoral karena melanggar prinsip menghormati kemanusiaan sebagai tujuan.

  • Martabat Manusia

    Pada inti doktrin kedua Kant adalah konsep martabat manusia. Kant percaya bahwa semua manusia memiliki nilai moral yang tak terukur karena kemampuan mereka untuk bertindak berdasarkan prinsip moral dan alasan. Martabat ini tidak tergantung pada posisi sosial, kekayaan, atau pencapaian individu, melainkan melekat pada hakikat mereka sebagai makhluk rasional. Kant menekankan bahwa martabat manusia tidak dapat dinegosiasikan atau dikorbankan demi keuntungan lain, karena setiap manusia adalah "tujuan pada dirinya sendiri."

     Dalam konteks ini, memperlakukan seseorang dengan hormat berarti mengakui nilai mereka sebagai makhluk rasional yang bebas. Ini menuntut kita untuk tidak pernah memperlakukan orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan kita sendiri, bahkan jika hasilnya menguntungkan bagi kita atau orang lain. Mengabaikan prinsip ini akan merendahkan martabat manusia dan merusak dasar moralitas itu sendiri.

  • Kebebasan dan Otonomi Moral

      Doktrin kedua Kant juga berhubungan erat dengan konsep kebebasan dan otonomi moral. Sebagai makhluk rasional, manusia memiliki kemampuan untuk membuat pilihan yang didasarkan pada alasan dan prinsip moral, bukan hanya dorongan atau insting. Otonomi moral ini berarti bahwa setiap individu memiliki hak untuk menentukan jalannya sendiri dalam kehidupan, berdasarkan prinsip-prinsip yang mereka anggap benar. Ketika kita memperlakukan seseorang sebagai tujuan, kita menghormati kebebasan mereka untuk membuat keputusan moral sendiri. Kita tidak boleh memaksa, menipu, atau memanipulasi mereka untuk bertindak melawan kehendak bebas mereka.

     Contohnya, dalam konteks kerja, seorang manajer yang memanipulasi atau memaksa bawahannya untuk bekerja berlebihan demi keuntungan perusahaan tidak menghormati kebebasan dan martabat mereka. Ini adalah contoh memperlakukan seseorang sebagai sarana. Sebaliknya, manajer yang mendukung karyawan dalam pengembangan pribadi dan profesional mereka, menghargai kontribusi mereka, dan memperlakukan mereka dengan hormat, bertindak sesuai dengan doktrin kedua Kant.

  •   Aplikasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari

Doktrin kedua Kant memiliki banyak implikasi dalam kehidupan sehari-hari dan interaksi sosial. Beberapa contoh konkret di mana prinsip ini dapat diterapkan termasuk dalam hubungan pribadi, pekerjaan, dan masyarakat luas:

  1. Hubungan Pribadi: Dalam hubungan romantis atau persahabatan, seseorang tidak boleh hanya melihat pasangannya sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan pribadi, tetapi sebagai individu yang memiliki nilai dan martabatnya sendiri. Ini berarti menjaga hubungan yang didasarkan pada saling menghormati, bukan manipulasi atau eksploitasi.

  2. Pekerjaan: Dalam dunia bisnis, perusahaan sering kali menghadapi dilema etis tentang bagaimana memperlakukan karyawan dan konsumen. Menghormati karyawan sebagai tujuan berarti memperlakukan mereka dengan adil, memberikan kondisi kerja yang layak, dan mendukung perkembangan mereka sebagai individu. Begitu juga dengan konsumen; memperlakukan mereka sebagai tujuan berarti menyediakan produk dan layanan yang aman dan bermanfaat, bukan hanya memanipulasi mereka untuk keuntungan finansial.

  3. Kebijakan Publik: Dalam pembuatan kebijakan publik, pemerintah dan pembuat kebijakan harus memperhatikan martabat dan hak-hak warga negara. Keputusan yang memprioritaskan keuntungan ekonomi atau efisiensi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap individu, seperti penggusuran tanpa kompensasi yang adil, melanggar prinsip memperlakukan manusia sebagai tujuan.

  4. Etika Medis: Doktrin ini juga memiliki dampak besar dalam etika medis. Dalam konteks perawatan kesehatan, pasien harus selalu diperlakukan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai objek penelitian atau sarana untuk menguji obat-obatan baru. Ini berarti menghormati hak pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan mereka sendiri, dan tidak memanipulasi atau memaksa mereka untuk mengikuti prosedur yang tidak mereka setujui.

  • Kritik terhadap Doktrin Kedua Kant

Meskipun doktrin kedua Kant memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam filsafat moral, beberapa kritik telah diajukan terhadapnya. Salah satu kritik utama adalah bahwa prinsip ini mungkin terlalu kaku untuk diterapkan dalam situasi nyata. Dalam beberapa kasus, memperlakukan seseorang sebagai sarana mungkin tidak bisa dihindari, terutama ketika ada konflik antara kepentingan individu yang berbeda. Misalnya, dalam keadaan darurat, seorang dokter mungkin perlu memprioritaskan satu pasien di atas pasien lain, yang secara teknis bisa dilihat sebagai memperlakukan pasien lain sebagai sarana.

Selain itu, kritik lain adalah bahwa doktrin ini mungkin mengabaikan pentingnya konsekuensi dari tindakan. Beberapa filsuf utilitarian, misalnya, berargumen bahwa moralitas harus didasarkan pada hasil yang menghasilkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang yang paling banyak. Dalam pandangan ini, tindakan yang mengorbankan beberapa individu untuk keuntungan yang lebih besar mungkin dapat dibenarkan, sesuatu yang ditolak oleh Kant karena itu akan melanggar prinsip memperlakukan manusia sebagai tujuan.

    Doktrin kedua Kant tentang memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan sebagai sarana, merupakan prinsip etika yang mendalam dan penting yang menekankan penghormatan terhadap martabat, kebebasan, dan otonomi moral manusia. Ini menuntut agar kita tidak pernah memperlakukan orang lain hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan kita, tetapi selalu menghormati hak dan nilai mereka sebagai individu yang rasional dan bebas. Dalam banyak aspek kehidupan, dari hubungan pribadi hingga kebijakan publik, doktrin ini memberikan panduan moral yang kuat tentang bagaimana kita seharusnya memperlakukan orang lain.

     Dengan mengadopsi doktrin ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi, di mana setiap individu dihormati dan diperlakukan dengan adil. Meskipun ada kritik terhadap penerapannya yang kaku, prinsip ini tetap menjadi landasan penting dalam filsafat moral dan etika modern.

Bagaimana hubungan Moral Kant terhadap Integritas Sebagai Sarjana?

Moral Kant 
Moral Kant 

  

     Hubungan antara moral Kant dan integritas sebagai sarjana sangat erat, karena etika Kantian menekankan pentingnya tindakan moral yang berlandaskan prinsip-prinsip universal dan kewajiban tanpa pamrih. Integritas, sebagai salah satu nilai kunci dalam dunia akademik, merupakan cerminan dari komitmen seorang sarjana untuk memegang teguh standar moral dan etika, tidak hanya dalam pekerjaan akademis tetapi juga dalam interaksi profesional dan sosial.

1. Imperatif Kategoris dan Kewajiban Moral dalam Akademik

     Etika Kantian berpusat pada konsep "imperatif kategoris," yakni prinsip moral yang memerintahkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan aturan yang dapat diterima sebagai hukum universal. Dalam konteks integritas sarjana, ini berarti bahwa seorang akademisi harus selalu bertindak berdasarkan prinsip moral yang bisa diterima oleh semua orang dan dalam semua situasi, tidak hanya dalam konteks spesifik. Misalnya, tindakan seperti plagiarisme atau manipulasi data tidak bisa diterima, karena jika tindakan tersebut dijadikan aturan umum, maka integritas ilmu pengetahuan itu sendiri akan runtuh. Integritas sarjana mengharuskan setiap individu bertindak dengan kejujuran, menghormati karya orang lain, dan mematuhi standar akademik yang telah disepakati bersama.

     Kant berpendapat bahwa tindakan moral harus dilakukan karena kewajiban moral itu sendiri, bukan karena adanya manfaat atau konsekuensi yang menguntungkan. Dengan kata lain, seorang sarjana tidak boleh hanya mengikuti aturan akademik karena takut hukuman atau demi mencapai reputasi yang lebih baik, melainkan karena mengikuti kewajiban moral untuk menjaga kejujuran ilmiah dan etika akademik. Integritas tidak boleh menjadi alat untuk mencapai keuntungan pribadi, tetapi harus menjadi komitmen terhadap prinsip moral yang lebih tinggi.

       Contoh: Seorang profesor yang mengajar di universitas mendapatkan akses ke karya ilmiah mahasiswanya. Dalam proses menilai makalah mereka, profesor ini dihadapkan pada dua pilihan: mengakui bahwa satu makalah mahasiswa sangat inovatif dan memberikan penghargaan yang layak, atau mengambil ide tersebut dan mengklaimnya sebagai milik pribadi untuk dipublikasikan. Berdasarkan imperatif kategoris Kant, tindakan yang benar adalah memberikan penghargaan kepada mahasiswa karena tindakan tersebut bisa diterima sebagai hukum universal. Jika semua profesor mencuri ide mahasiswa, dunia akademik akan menjadi tidak etis dan penuh ketidakjujuran. Jadi, integritas akademik mengharuskan profesor bertindak sesuai dengan prinsip moral, tanpa mengejar keuntungan pribadi.

2. Otonomi dan Tanggung Jawab Moral

     Kant juga menekankan pentingnya otonomi dalam tindakan moral, yang berarti bahwa seseorang harus bertindak berdasarkan penilaian rasional mereka sendiri, bukan karena paksaan eksternal atau tekanan dari pihak lain. Otonomi ini terkait erat dengan konsep integritas sarjana, karena integritas mengharuskan individu untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka sendiri dalam konteks akademik.

     Seorang sarjana harus mampu menilai secara rasional dan etis tindakan yang mereka ambil dalam penelitian, pengajaran, dan publikasi. Mereka harus bertanggung jawab atas validitas data yang mereka gunakan, cara mereka menyajikan hasil penelitian, dan bagaimana mereka melibatkan orang lain dalam pekerjaan akademis. Otonomi moral juga berarti bahwa seorang akademisi harus memiliki keberanian untuk menentang tekanan eksternal, seperti tuntutan untuk memalsukan hasil penelitian demi pendanaan atau publisitas. Dalam hal ini, integritas akademik adalah perwujudan dari prinsip otonomi moral yang diajarkan oleh Kant.

       Contoh: Seorang peneliti ilmiah diminta oleh lembaga sponsor untuk mengubah data hasil penelitian agar hasilnya terlihat lebih menguntungkan bagi sponsor. Namun, berdasarkan prinsip otonomi moral Kant, peneliti harus menolak manipulasi data ini. Meskipun mungkin ada tekanan dari pihak sponsor, peneliti harus bertindak sesuai dengan tanggung jawab moralnya untuk menjaga kejujuran ilmiah. Dalam hal ini, otonomi moral berarti bahwa peneliti harus membuat keputusan berdasarkan apa yang benar dan etis, bukan berdasarkan tekanan atau insentif dari pihak luar.

3. Manusia Sebagai Tujuan, Bukan Sarana

       Doktrin kedua Kant, yang menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dan bukan sebagai sarana, sangat relevan dalam dunia akademik. Seorang sarjana harus memperlakukan orang lain, baik itu mahasiswa, kolega, atau subjek penelitian, dengan hormat dan memperhatikan martabat mereka sebagai individu yang memiliki hak dan otonomi. Dalam etika penelitian, misalnya, prinsip ini berarti bahwa partisipan dalam penelitian harus diperlakukan dengan penuh hormat, mendapatkan informasi yang jelas tentang penelitian, dan memberikan persetujuan secara sukarela, tanpa dipaksa atau dimanipulasi untuk kepentingan hasil penelitian.

      Seorang sarjana yang berintegritas tidak akan memanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi, seperti mengambil keuntungan dari mahasiswa melalui plagiarisme ide, atau memanipulasi data demi keuntungan finansial atau akademis. Mereka akan selalu bertindak dengan memperhatikan kesejahteraan dan hak-hak orang lain yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam pekerjaan akademis mereka.

     Contoh: Dalam penelitian medis, seorang ilmuwan menggunakan subjek manusia untuk eksperimen tanpa memberikan informasi yang cukup tentang risiko yang terlibat dan tanpa mendapatkan persetujuan penuh dari subjek penelitian. Hal ini melanggar prinsip Kantian bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain. Etika penelitian yang baik, sesuai dengan ajaran Kant, mengharuskan peneliti untuk selalu menghormati subjek penelitiannya, memberikan informasi yang jelas, dan memastikan persetujuan yang sadar, sehingga martabat mereka sebagai manusia dihormati.

4. Moralitas Tanpa Pamrih dan Integritas Akademik

Kant menekankan bahwa tindakan moral harus bebas dari pamrih atau kepentingan pribadi. Tindakan moral yang sejati adalah yang dilakukan semata-mata karena kewajiban, bukan karena keuntungan yang bisa diperoleh. Dalam dunia akademik, ini berarti seorang sarjana harus tetap memegang integritas, bahkan ketika tidak ada pengawasan atau imbalan langsung.

Misalnya, seorang sarjana yang berintegritas akan mengakui kekurangan dalam penelitian mereka, meskipun hal itu mungkin berdampak negatif pada reputasi atau pendanaan penelitian. Mereka tidak akan tergoda untuk menyembunyikan atau memalsukan data demi mencapai hasil yang lebih menguntungkan. Tindakan semacam ini menunjukkan bahwa sarjana tersebut bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral Kant, di mana integritas adalah kewajiban yang tidak boleh dilanggar meskipun tidak ada konsekuensi langsung atau manfaat yang jelas.

5. Moralitas Sebagai Dasar Kebahagiaan

      Kant berargumen bahwa tindakan moral yang benar pada akhirnya akan membuat manusia layak bahagia, karena kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kehidupan yang bermoral. Dalam konteks akademik, ini berarti bahwa integritas sebagai sarjana tidak hanya penting untuk menjaga reputasi atau mendapatkan penghargaan, tetapi juga untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan pribadi yang lebih dalam. Seorang akademisi yang berintegritas dapat merasa tenang dan bangga dengan pekerjaan mereka, karena mereka tahu bahwa mereka telah bertindak dengan benar dan adil, sesuai dengan prinsip moral yang mereka yakini.

      Kebahagiaan yang didapatkan dari hidup yang bermoral tidak hanya bersifat eksternal, tetapi juga bersifat internal. Seorang sarjana yang selalu bertindak dengan integritas akan memiliki rasa hormat terhadap diri sendiri, karena mereka tahu bahwa mereka telah menjalankan tugas moral mereka dengan baik. Ini merupakan bentuk penghargaan moral yang lebih mendalam daripada sekadar pujian atau penghargaan dari orang lain.

6. Kontribusi Integritas Sarjana Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan

      Integritas akademik memiliki dampak yang lebih luas terhadap dunia ilmu pengetahuan. Dengan memegang teguh prinsip-prinsip moral Kant, seorang sarjana berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan yang kredibel dan dapat dipercaya. Kejujuran, transparansi, dan etika yang dipegang oleh para sarjana memungkinkan hasil penelitian untuk diuji, direplikasi, dan digunakan oleh orang lain sebagai dasar untuk pengembangan lebih lanjut. Tanpa integritas, ilmu pengetahuan akan kehilangan legitimasi, karena hasil-hasil penelitian yang tidak jujur akan merusak fondasi kepercayaan yang menjadi dasar dari proses ilmiah.

      Oleh karena itu, integritas seorang sarjana tidak hanya berhubungan dengan tindakan individual, tetapi juga dengan tanggung jawab sosial yang lebih besar terhadap masyarakat dan komunitas akademik. Dengan mengikuti prinsip-prinsip moral Kant, sarjana berkontribusi pada kemajuan pengetahuan yang dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

      Contoh: Seorang ilmuwan yang dikenal dengan integritasnya mempublikasikan hasil penelitiannya secara transparan dan lengkap, meskipun hasil penelitiannya bertentangan dengan hipotesis awalnya. Dengan melakukan ini, ilmuwan tersebut membuka peluang bagi peneliti lain untuk mengkaji ulang dan mungkin mengembangkan penelitian lebih lanjut. Ini adalah contoh nyata bagaimana integritas seorang sarjana tidak hanya berkontribusi pada reputasi pribadi, tetapi juga pada kredibilitas ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Ketika setiap sarjana bertindak berdasarkan integritas, hasil penelitian yang dihasilkan dapat diandalkan dan menjadi fondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan.

   

KESIMPULAN

  Etika Kant berfokus pada kewajiban moral yang universal, di mana tindakan harus berdasarkan prinsip yang bisa diterima oleh semua orang sebagai hukum umum. Dalam konteks akademik, integritas sarjana mencerminkan etika Kantian dengan menekankan kejujuran, penghormatan terhadap martabat manusia, dan tanggung jawab moral tanpa pamrih. Sarjana yang berpegang pada prinsip ini akan menghormati proses ilmiah, menolak manipulasi data, dan bertindak etis dalam setiap aspek kariernya. Etika Kant dan integritas akademik bersama-sama menciptakan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang jujur, transparan, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. 

Daftar Pustaka

  1. Kant, Immanuel. Groundwork for the Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

  2. Kant, Immanuel. Critique of Practical Reason. Translated by Mary Gregor. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

  3. Kant, Immanuel. The Metaphysics of Morals. Translated by Mary Gregor. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

  4. Klein, Fred. Integrity in the Academic World: An Ethical Perspective. Journal of Academic Ethics 15, no. 2 (2017): 185-198.

  5. Bracken, Susan. Academic Integrity: A Resource for Students. New York: Routledge, 2019.

  6. Bok, Sissela. Lying: Moral Choice in Public and Private Life. New York: Vintage Books, 1999.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun