Mereka berdua segera beraksi di dapur kecil. Aina mengajarkan setiap langkahnya dengan sabar, mencampurkan tepung, gula, dan telur, sambil sesekali bercanda dan tertawa. Momen itu begitu hangat, sejenak membuat Aina merasa lepas dari semua kesedihan dan beban. Melihat senyum di wajah Seli, ia merasa bahwa semua pengorbanannya sepadan. Setelah kue matang, mereka duduk di meja makan dan menikmati hasil kerja keras mereka. Di tengah kesederhanaan itu, Aina merasakan sebuah harapan baru tumbuh. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang demi Seli, apapun yang terjadi.
   Namun, di tengah kebahagiaan kecil itu, suara ketukan pelan di pintu membuat mereka berhenti. Aina bangkit dan membuka pintu, mendapati seorang wanita tua berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kerutan namun tersenyum lembut.
"Permisi, Nak. Saya Ibu Lestari, tetangga sebelah. Saya dengar cerita tentang kamu dan adikmu. Bagaimana kalau kita berbagi makanan dan cerita? Saya ingin membantu," ucapnya dengan nada hangat dan penuh perhatian.
Aina merasa terkejut sekaligus lega. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hatinya, sebuah harapan bahwa ia dan Seli tidak benar-benar sendiri. Dengan senyum kecil, ia mengangguk. "Tentu, Bu. Kami sangat senang sekali."
   Ibu Lestari masuk, dan mereka menghabiskan sore itu bersama-sama. Sambil berbagi cerita dan makanan, suasana yang awalnya penuh kesepian kini terasa lebih hangat. Ibu Lestari menceritakan masa mudanya, perjuangan hidupnya, dan bagaimana ia juga pernah merasa sendirian. Aina mendengarkan dengan seksama, sementara Seli tampak menikmati setiap kisah yang diceritakan.
    Di tengah kebersamaan itu, Aina merasakan kembali hangatnya cinta dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Meski ia kehilangan banyak hal, ia masih memiliki adiknya dan kini, seseorang yang peduli seperti Ibu Lestari. Kehadiran wanita tua itu memberikan sedikit kelegaan di hatinya, bahwa hidup tidak selamanya harus dijalani sendiri. Saat matahari mulai tenggelam, Ibu Lestari pamit. Aina dan Seli mengantarnya hingga ke depan pintu, dan sebelum pergi, wanita tua itu menggenggam tangan Aina.Â
"Nak, kamu adalah gadis yang kuat. Jangan pernah menyerah. Kamu tidak sendiri, ingat itu."
        Kata-kata itu menyentuh hati Aina, memberikan kekuatan baru yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Dengan tekad yang bulat, ia memutuskan bahwa tidak peduli seberapa berat jalannya, ia akan terus berjuang demi Seli, demi masa depan mereka. Dalam keheningan malam itu, Aina duduk di samping Seli yang sudah tertidur, mengusap kepalanya lembut. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa cinta dan kebersamaan adalah kekuatan terbesar yang mereka miliki.Â
Meskipun dunia di luar sana masih penuh tantangan, Aina yakin bahwa ia mampu melewati semuanya. Kini, ia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menjaga senyum adiknya yang tercinta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI