"Seli, ada apa?" tanya Aina dengan lembut, mencoba menenangkan adiknya.
Seli mendongak, matanya basah oleh air mata yang tertahan. "Tadi temanku bilang mereka mau datang ke rumah, tapi aku nggak mau," ucapnya dengan suara bergetar.
Aina merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. "Kenapa kamu nggak mau, Seli? Mereka cuma ingin main dan berteman sama kamu."
Seli menunduk, menggigit bibirnya. "Aku takut, Kak... kalau mereka tahu kita cuma tinggal berdua, mereka bakal nggak mau main sama kita lagi. Mereka semua punya orang tua, Kak."
   Aina terdiam, hatinya seakan dihantam ribuan jarum yang menusuk pelan namun dalam. Ia menggenggam tangan Seli erat-erat, mencoba menguatkan dirinya sendiri sebelum menguatkan adiknya.Â
"Seli, kita memang tidak punya orang tua lagi, tapi kamu punya Kakak. Kakak akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Kita bisa menghadapi ini bersama."
     Seli memandang wajah kakaknya, dan di matanya yang basah itu terlihat kepercayaan. Kepercayaan pada kakaknya yang selalu ada untuknya, yang menjadi pengganti orang tua dan pelindung. Setelah berbincang sejenak, Aina berhasil menghibur Seli.Â
Mereka berjalan pulang berdua, melintasi jalan yang sama, namun kali ini hati Aina terasa lebih berat. Ia ingin adiknya bahagia, meski kadang ia sendiri tak yakin bagaimana caranya. Beban kehilangan dan tanggung jawab yang begitu besar semakin menekan dadanya, namun ia tahu ia tidak boleh menyerah.
  Sesampainya di rumah, Aina melihat wajah Seli yang masih tampak muram. Dalam upaya untuk mengalihkan pikirannya, Aina teringat sesuatu yang bisa membuat Seli senang.Â
"Bagaimana kalau kita bikin kue bersama? Kakak ajarin kamu bikin kue bolu. Gimana?"
Mata Seli seketika berbinar. "Kue bolu? Iya, Kak, Seli suka itu!"