Kehidupan kota berangsur  jadi sebuah pertunjukkan wayang di malam hari, dan waktu adalah dalang yang tepat. Tapi di cerita ini, Ertus sebagai pelakon utama berusaha melawan dalang. Ia mendalangi kisahnya sendiri, bahkan di malam hari. Seberat apapun skenario, ia teguh pada peran utamanya: berjualan koran.
Sore itu pertama kalinya saya melihat langit merah jambu di Kupang. Lanskap yang amat langka. Setelah seharian berkutat dengan banyak tugas kampus yang bikin pengap kepala, akhirnya saya bisa rehat menikmati kopi dan jagung bakar di sebuah angkringan. Pemiliknya ramah sekali.
Gerai para pelapak berjejeran sepanjang Jalan El Tari. Ada jagung bakar, bubur kacang ijo, cendol, dan kuliner lainnya. Sepasang tiga atau lebih kekasih atau hanya teman biasa bercengkerama di sebelah saya.Â
Angkringan yang tidak istimewa amat bisa-bisanya menarik perhatian begitu banyak manusia. Kendaraan lalu-lalang, para pelancong bertumpah-ruah antara ruas jalan.
Di sebelah, berdiri megah kantor gubernur NTT. Entah tangan siapa yang mendesain arsitektur menyerupai sasando itu, eye-catching! Gumamku dalam hati.Â
Mungkin di waktu senggang, bapak gubernur juga datang menikmati jagung bakar, atau sekadar jalan-jalan usai sibuk dengan urusan pemerintahan. Atau sesekali meet and greet bersama para pelapak tentang kesan masa jabatannya.
Tapi ada satu lanskap yang mungkin luput dari mata bapak gubernur. Pemandangan ini lebih menarik dari langit merah jambu, sekalipun romantisme para pengunjung di gerai-gerai angkringan.Â
Anak-anak ramai berjualan koran di lampu merah. Tak peduli hiruk-pikuk kendaraan yang melintas, mereka tetap menawarkan beragam peristiwa yang perlu dibaca. Malangnya, pemandangan sore itu tak sempat terabadikan. Ponsel saya mati.
Saya pun tertarik dan minggat dari angkringan. Perlahan saya mendekati seorang anak penjual koran dan memulai perjumpaan pertama kami.
"Dek, koran satu berapa?" saya memulai percakapan.
"Ada yang dua ribu om sampai lima ribu," sahut si penjual koran yang namanya belum ditanyakan.
Saya berharap basa-basi ini menjadi awal perbincangan dengan penjual koran. Lantas, terbesit dalam pikiran banyak hal yang perlu saya tanyakan. Sambil membaca koran, saya lanjut bertanya.
"Adek nama siapa?"
"Beta Ertus om," jawab si penjual koran.
Rasanya martabat milenial saya dirampas seketika dengan panggilan om. Tapi tak masalah, mungkin ia lebih akrab dengan panggilan tersebut.
Kami duduk di separator jalan dekat lampu merah. Sesekali orang berhenti dan membeli koran. Kalau tak ada yang memesan, Ertus bangkit berjalan menuju kerumunan kendaraan yang menunggu lampu hijau.
Satu per satu ditawarkan hingga pengendara terakhir. Saya sangat cemas karena kendaraan melesat dengan cepat waktu lampu sudah hijau. Sementara Ertus masih berada dalam kerumunan tersebut.
Akhirnya saya ikut bangkit membantu Ertus berjualan koran. Ternyata ini tak segampang dugaan saya. Melesit di antara sela-sela kendaran yang ramai bukan seperti membalikkan telapak tangan. Rasa iba saya muncul melihat anak separuh baya itu berjuang sekeras ini, kadang dicaci-maki pengendara, dibentak dengan kata-kata kasar.
Saat itu saya bisa merasakan bagaimana getirnya mengadu nasib di jalanan.  Sesekali saya memegang tangan Ertus, waspada jangan sampai ada kendaraan liar yang menerobos lampu merah. Karena di sini masyarakat kadang tidak peduli dengan ketertiban lalu-lintas. Ini bikin saya semakin khawatir. Kata orang-orang juga sudah banyak anak-anak penjual koran yang  mengalami kecelakaan.
Sore kian lengser dari peraduannya. Warna langit yang semula kromatik berubah jadi gumpalan hitam. Waktu sudah menyatakan pukul 6 lewat 40 menit. Bukannya sepi, kendaraan malah bertambah ramai.
Kehidupan kota berangsur  jadi sebuah pertunjukkan wayang di malam hari, dan waktu adalah dalang yang tepat. Tapi di cerita ini, Ertus sebagai pelakon utama berusaha melawan dalang. Ia mendalangi kisahnya sendiri, bahkan di malam hari. Seberat apapun skenario, ia teguh pada peran utamanya: berjualan koran.
"Dari kapan Ertus jualan koran?"
"Kelas 4 SD om," jawab Ertus.
"Ohh begitu. Terus sekarang sudah kelas berapa?"
"Sekarang beta su kelas 6,"sambung Ertus dengan nada mantap seakan tak ada beban dalam dirinya dengan jawaban tersebut. Bagi Ertus, dengan berjualan koran ia bisa bantu orangtua. Kenapa? Yah, karena orangtua Ertus tidak mampu.
Oleh karena itu, resiko sebesar apapun tak sedikit digubrisnya. Jam bermain dan relasinya dengan teman-teman sangat terbatas, bahkan berkumpul dengan keluarga saja tidak cukup waktu. Anak-anak seusia mereka seharusnya mendapat ruang dan waktu yang cukup banyak dalam lingkungan keluarga dan teman-teman.
Tak hanya itu, kerap ia menghadapi banyak persoalan di jalanan. Ia bahkan seringkali diganggu oleh teman-teman senasib dengannya. Kadang dijaili, koran-korannya juga dicuri.
Di sekolah juga ia sering dibully teman-teman. Dasar penjual koran, dasar anak jalanan, pemalas kerja PR, semua adalah pukulan moril bagi Ertus. Tapi ia tetap gigih.
Nasnya lagi, sudah berulang kali ditangkap Pol-PP, namun niatnya berjualan koran tidak juga kelar. Alasannya sama: ekonomi. Apa tidak ada cara lain mendapat uang? Bagi saya mungkin ada, tapi bagi Ertus uang mudah didapat di jalanan.
Saya membatin. Kenapa masih ada anak-anak berjualan koran di jalan El Tari? Orangtua mereka dimana waktu berjualan koran? Atau mungkin motif utama mereka berjualan karena paksaan orangtua.
Bukannya sejak 2018 kemarin Dinas Sosial kota Kupang sudah gencar melakukan penertiban. Anak-anak penjual koran malah masih keluyuran hingga malam hari. Dinas Sosial bilang, ini karena kemiskinan (Pos Kupang, 13/11/2018). Apa dilakukan assessment oleh Dinas Sosial? Kalau iya, kok malah tambah marak?
Ini jawaban Ertus terhadap pertanyaan centilan di atas.
"Biasanya yang suruh Ertus jualan koran siapa?"
"Tidak ada yang suruh, om. Beta hanya mau bantu orangtua. Beta biasa dapat koran dari agen. Dong (mereka) kasih 10 sampe 20 koran,"
"Terus Ertus biasa dapat berapa?" tanya saya memastikan.
"Beta biasa dapat sepuluh ribu. Dulu teman yang ajak supaya dapat agen. Nanti dong hitung berapa koran yang laku" cerita Ertus.
"Oh begitu. Sisanya karmana?"
"Sisanya kasih dong semua," lanjut Ertus menjelaskan.
Percakapan dengan Ertus berakhir ketika teman-temannya mengajak pulang. Sebenarnya masih banyak yang mau saya tanyakan. Termasuk cerita teman-teman Ertus. Tapi perjumpaan yang cukup lama itu membuat saya sangat terkesan.
Ada informasi yang saya peroleh, siapa dia, kenapa dia berjualan koran, apa saja masalah yang ia hadapi, hingga cerita ia berulang kali ditangkap petugas keamanan.
Kenapa pertemuan dengan Ertus begitu menarik untuk saya? Kemsikinan adalah fenomena yang kerap terjadi di NTT. Pada Maret 2019 presentase penduduk miskin di NTT sebesar 21,09 persen, atau sedikit mengalami peningkatan sebesar 0,06 persen poin terhadap September 2019 (BPS NTT, 2019).
Kenapa ada kemiskinan? Masyarakat miskin karena kurang makan. Masyarakat kurang makan karena kurang berpikir. Pembangunan yang sebenarnya harus pada pemberdayaan manusia NTT, baru memerdekakan komodo. Masyarakat perlu berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri.
Pemberdayaan masyarakat harus dilakukan dengan upaya-upaya berikut (Fahrudin, 2012: 96).
- Enabling, yaitu menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
- Empowering, yaitu meningkatkan kapasitas dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata seperti penyediaan berbagai masukan serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang dapat membuat masyarakat menjadi makin berdayaan.
- Protecting, yaitu melindungi kepentingan dengan mengembangkan sistem perlindungan bagi masyarakat yang menjadi subjek pengembangan. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi dalam hal ini dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat adalah kunci pembangunan. Kebijakan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan tidak terbatas pada tataran konsep dan kegiatan semata, tapi yang lebih penting adalah mengadaptasi kebijakan tersebut kepada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H