Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Koran untuk Bapak Gubernur NTT

3 September 2019   22:34 Diperbarui: 8 Oktober 2019   03:40 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya berharap basa-basi ini menjadi awal perbincangan dengan penjual koran. Lantas, terbesit dalam pikiran banyak hal yang perlu saya tanyakan. Sambil membaca koran, saya lanjut bertanya.

"Adek nama siapa?"

"Beta Ertus om," jawab si penjual koran.

Rasanya martabat milenial saya dirampas seketika dengan panggilan om. Tapi tak masalah, mungkin ia lebih akrab dengan panggilan tersebut.

Kami duduk di separator jalan dekat lampu merah. Sesekali orang berhenti dan membeli koran. Kalau tak ada yang memesan, Ertus bangkit berjalan menuju kerumunan kendaraan yang menunggu lampu hijau.

Satu per satu ditawarkan hingga pengendara terakhir. Saya sangat cemas karena kendaraan melesat dengan cepat waktu lampu sudah hijau. Sementara Ertus masih berada dalam kerumunan tersebut.

Akhirnya saya ikut bangkit membantu Ertus berjualan koran. Ternyata ini tak segampang dugaan saya. Melesit di antara sela-sela kendaran yang ramai bukan seperti membalikkan telapak tangan. Rasa iba saya muncul melihat anak separuh baya itu berjuang sekeras ini, kadang dicaci-maki pengendara, dibentak dengan kata-kata kasar.

Saat itu saya bisa merasakan bagaimana getirnya mengadu nasib di jalanan.  Sesekali saya memegang tangan Ertus, waspada jangan sampai ada kendaraan liar yang menerobos lampu merah. Karena di sini masyarakat kadang tidak peduli dengan ketertiban lalu-lintas. Ini bikin saya semakin khawatir. Kata orang-orang juga sudah banyak anak-anak penjual koran yang  mengalami kecelakaan.

Sore kian lengser dari peraduannya. Warna langit yang semula kromatik berubah jadi gumpalan hitam. Waktu sudah menyatakan pukul 6 lewat 40 menit. Bukannya sepi, kendaraan malah bertambah ramai.

Kehidupan kota berangsur  jadi sebuah pertunjukkan wayang di malam hari, dan waktu adalah dalang yang tepat. Tapi di cerita ini, Ertus sebagai pelakon utama berusaha melawan dalang. Ia mendalangi kisahnya sendiri, bahkan di malam hari. Seberat apapun skenario, ia teguh pada peran utamanya: berjualan koran.

"Dari kapan Ertus jualan koran?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun