Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Barong Wae dan Para Penjaga Terakhir

31 Agustus 2019   06:44 Diperbarui: 4 September 2019   15:45 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masa kecil saya penuh dengan pengalaman-pengalaman yang tak terukur keseruannya. Ini jadi bagian paling memorable dalam  kisah hidup saya. Tanpa gadget dan alat elektronik sudah cukup buat saya menikmati kegembiraan masa kanak-kanak. 

Rie jarang (rie: balapan, jarang: mainan perahu yang terbuat dari gundukan daun kering) adalah permainan favorit anak-anak kampung saya dulu. Sekarang sudah sedikit diminati anak-anak bahkan tidak ada jenis permainan ini lagi. 

Rie jarang adalah sejenis balapan; pasti ada arena, dan juara sudah tentu yang mencapai garis finish paling awal. Runner up tidak dihitung di sini, apalagi seterusnya. Wkwkwkwk, egois banget.

Karena semua peserta punya ambisi jadi juara, maka harus mahir meramu dedaunan kering menyerupai bentuk perahu seperti biasanya.  Ada yang jago meramu hingga bentuknya super aerodinamis, ujung-ujungnya sangat lancip. Beruntunglah mereka, karena arena juara sudah pasti diperuntukkan orang-orang seperti mereka. Termasuk saya, lho!

Aliran sungai kecil di kampung saya cukup deras, ini yang bikin balapan jadi seru. Garis start dimulai dari hulu dekat mata air dan kurang lebih 20 meter berikutnya adalah garis finish.  Ya iyalah, mana mungkin mainnya sampai ke muara; bisa berminggu-minggu. 

Duapuluh meter sudah cukup buat balapan. Serunya lagi, yang jadi juara akan ditandu sampai ke tengah kampung layaknya seorang raja. Waduh, jadi rindu masa kecil dulu. 

Biasanya balapan usai kalau lopo Umbeng (lopo: sebutan untuk lansia) datang mengecek mata air. Orangnya menyeramkan, dan ditakuti anak-anak di kampung. Dialah orang yang rajin membersihkan mata air.

Sekarang rie jarang hanya mitos di kampung saya. Lagian sungainya sudah kering total. Rumput-rumput liar menjalar hingga ke mata air. Garis-garis tepi sungai sudah tidak tampak lagi, yang kelihatan malah perumputan gersang, bertengger serangga-serangga hutan di atasnya. Mata air ditutup, sumbernya disumbatkan pipa-pipa besi milik perusahaan air minum.

Masyarakat di kampung sudah tidak melakukan ritual barong wae lagi. Sebenarnya ini adalah ritual rutin tahunan di kampung saya agar mata air terus mengalir sepanjang tahun. Lewat ritual inilah kami menjaga air yang memberi kehidupan bertahun-tahun di kampung. Ah, sudahlah. 

Sekarang air bisa dirupiahkan. Para leluhur bisa digantikan mesin-mesin pompa air yang menyedot mata air hingga ke rahimnya. Tak ada yang menggantikan lopo Umbeng yang tiap hari rajin membersihkan mata air. Kawasan itu sepenuhnya milik korporasi. 

Tunggu dulu, itu kan air kami yang diberikan alam, kenapa harus bayar? Rekening air di rumah-rumah numpuk oleh digit-digit mata uang. Keresahan membayar lunas jadi pergunjingan ibu-ibu rumah tangga. Dimana barong wae? Dimana para leluhur? Dimana mata air kami?

Kisah singkat di atas hanya menggambarkan keresahan penulis tentang kejayaan masa kecil yang penuh dengan cerita air. Tanggapi saja sebagai satiran atau basa-basi penulis untuk menggiring anda. Tapi jika anda peduli, mari lebih dulu berkenalan dengan barong wae! 

Apa itu Barong Wae?

Ini adalah nama salah satu upacara adat penting dalam masyarakat adat Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Barong wae merupakan bagian penting dari upacara adat Penti dalam masyarakat adat tersebut. Penti itu sendiri adalah suatu upacara adat besar yang umumnya diselenggarakan sekali setahun. Biasanya setelah musim panen.

Hakekat penti adalah perayaan syukur dan pujian kepada Sang Maha Pencipta, sekaligus sebagai momen pemulihan dan peneguhan keselarasan hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Sang Maha Pencipta. 

Barong wae adalah salah satu bagian penting dari acara adat penti. Secara etimologis, istilah barong wae berasal dari dua kata, yakni "barong" dan "wae". 

Kata "barong" berarti mengundang, memanggil (roh-roh untuk upacara penti). Kata "wae" berarti "air". Istilah barong wae berarti mengabarkan kepada roh air bahwa masyarakat adat kampung mengadakan upacara penti (A.J. Verheijen, 1967). Mengapa acara barong wae  penting dalam masyarakat adat Manggarai?

Bagi masyarakat adat tersebut wae (air) memiliki arti sangat penting dalam kehidupan, bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan minum, mandi, pertanian, perikanan, peternakan, dan lain-lain. Air dipandang sebagai sumber dan asal mula kehidupan. Pendirian suatu kampung terlebih dahulu didasarkan pertimbangan utama ada tidaknya sumber mata air yang mengalir tiada henti, juga di musim kemarau. 

Jadi sumber mata air itulah penyebab adanya suatu kampung sebagaimana manusia tercipta dari air (sperma) sang ayah yang menyatu dalam rahim sang ibu. 

Air (ketuban) dalam rahim ibu yang menjaga dan melindungi bayi dalam kandungan. Air (susu ibu) jadi sumber nafkah pertama bayi sejak hari pertama dilahirkan.

Dalam membangun relasi antar sesama, masyarakat ini menggunakan falsafah air yang disebut "salang wae" (jalan air), yakni suatu bentuk relasi berkelanjutan tidak terputus dan saling berbagi dalam keseimbangan harmonis, lentur, jernih, tanpa kehilangan kesejatian diri sebagaimana sifat dasar air.

Dari perspektif ini barong wae berarti pula mengundang roh air untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Sang Maha Pencipta. Salah satu sifat dasar dan dominan air adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan.

Dengan merefleksi pada kearifan lokal masyarakat adat Manggarai, maka segala bencana yang disebabkan oleh air seperti yang terjadi di negeri ini jelas menunjukkan dan memberikan peringatan keras bahwa kita telah mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Sang Khalik. (sumber)

Para Penjaga Terakhir

Air bagi masyarakat Manggarai dan bagi semua makhluk hidup pada dasarnya merupakan kebutuhan jasmani dan rohani. Kita butuh  air untuk melepas dahaga, mandi, mencuci, dan kebutuhan lainnya. 

Air juga merupakan representasi kebutuhan rohani seseorang akan kehausan batiniah agar disegarkan kembali dari kejenuhan moral dan batin. Oleh sebab itu, air dan sumbernya perlu dijaga dan dilestarikan agar terus dan terus memberi kehidupan bagi manusia.

Barong wae hanya satu dari sekian banyak kearifan lokal di Indonesia tentang bagaimana peran serta adat dalam menjaga keseimbangan alam dan ekosistem. 

Saya yakin, di banyak kebudayaan di Indonesia juga punya cara yang istimewa untuk menjaga mata air. Apa perlu juga dilakukan barong wae bila kekeringan air melanda Jakarta. Tentu iya, tapi mungkin Jakarta punya versi barong wae nya sendiri.

Produk kebudayaan tidak boleh disepelehkan. Kekayaan kultural bisa menjadi alternatif menggantikan produk-produk modernisasi. Jelaslah kebudayaan hadir sebelum produk-produk tersebut merangsek masuk dalam masyarakat. Ketika kebudayaan itu ditanggalkan, kita sedang membunuh eksistensi diri, bahwa kita dilahirkan dari budaya.

Melalui barong wae kita memulihkan tiga ekses relasi semesta: Pencipta, alam, dan manusia. Jared Diamond dalam The World Until Yesterday (2012) menjelaskan dengan apik bagaimana relasi yang semestinya dalam kosmik alam semesta. Apa yang patut kita pelajari dari masyarakat tradisional. Khususnya, bagaimana masyarakat tradisional menanggapi bahaya. 

Orang-orang modern terkadang menanggapinya dengan rasional dengan cara mengambil tindakan yang efektif untuk meminimalisir bahaya tersebut. Namun dalam kasus-kasus lain, sama seperti masyarakat tradisional kita menanggapi dengan tidak rasional melalui doa-doa dan ritual, serta praktik-praktik religius lainnya (Jared Diamond, 2012:342).

Air perlu dijaga sampai ke sumbernya. Menjaga air tidak cukup dengan kepandaian rasionalitas manusia. Nyatanya, masih banyak kasus kekeringan air melanda daerah-daerah di Indoesia. Percaya atau tidak, mata air butuh penjaga yang tepat. Para penjaga terakhir. Barong Wae!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun