4. Fokus terhadap hidup dan bukan kehidupan setelah kematian. (tidak terfokus pada dosa dan pahala saja.)
5. Akal manusia lebih sering digunakan ketika pengetahuan atau tindakan tidak hanya di dikte saja.Â
6. Budaya materialistik (uang, uang, uang) akan makin meninggi akibat budaya duniawi.
7. Kehidupan spiritual menjadi berkurang akibat terlalu fokus ke kehidupan duniawi.
8. Hasrat duniawi bisa membutakan individu dan menjadikannya egois dan tidak simpatik.
9. Untuk point-point lain lihat kultur dari negara-negara sekuler seperti (China, Jepang, Amerika, dsb) dan non sekuler (Inggris, Qatar, Mesir, dsb)
opini tersendiri dari saya bahwa untuk negara plural dengan begitu banyak kebudayaan dan kepercayaan dari sabang sampai merauke, mungkin sekulerisme adalah hal tepat untuk beberapa situasi, tetapi tak sedikit juga situasi dimana budaya sekuler tidak bisa merangkul. Dan jawaban untuk dilema saya ini ternyata sudah dijawab jauh sebelum saya mempertanyakannya, bahkan sebelum saya lahir, oleh Ir. Soekarno.Â
Pancasila kembali menjadi paham yang menjembatani kedua pihak yang tampak tak kunjung baikan. Dalam sila-silanya terdapat garis tengah dari sekulerisme dan Agama, silas atu untuk Agama, sila dua, tiga, empat dan lima merangkum inti dari sekulerisme dan Agama. Entah kenapa jawaban ini justru tidak memuaskan kedua belah pihak karena tidak ada yang ingin mengalah. Sekuler kerap di haramkan, di hina, di lecehkan oleh orang-orang Agama yang menurut saya terlalu ekstrim. Begitu juga sebaliknya. Kalau tidak percaya cek saja di Google.
sekulerisme dan Agama tetap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi, maka keduanya harusnya buan bersaing tetapi saling melengkapi, dan pelengkap itu adalah Pancasila.
 Maafkan kami Bung, tampaknya kemerdekaan masih belum cukup untuk membebaskan kami dari penjajahan moral.
Daftar pustaka :Â