Untuk apa sih orang-orang memakai instagram? Â Kenapa ada aplikasi ini di ponselku?
Beberapa waktu lalu handphoneku hilang di sebuah angkot. Lalu muncul pertanyaan itu saat tiba-tiba langsung kuinstall aplikasi instagram di handphone baruku.Â
Dan dengan semangat sinis, aku menjawab, "Ya untuk pamer."Â
Tapi, apa salahnya pamer? itu bentuk kebebasan berekspresi yang dipermudah teknologi, kan.Â
Tapi, aku lebih sering merasa tidak ada yang perlu aku ekspresikan. Kalau ada yang perlu aku ekspresikan mungkin salah satunya adalah wajahku waktu mengetik caption atau mengedit foto selama sepuluh menit.
Kemudian dengan semangat pragmatik, aku menjawab, "Ya untuk personal branding, portofolio, membangun marketplace, mengedukasi, membangun relasi, menjangkau publik, dsb."Â
Tapi, aku lebih sering nggak punya kepentingan-kepentingan itu, bahkan nggak mikir sampai situ.Â
Terus, kenapa ya aku masih pakai instagram?Â
Dan hasil refleksiku adalah..
Persona dan Self Esteem.
Membangun persona ini bisa positif dan negatif. Untuk kasusku, negatif.Â
Karena aku cuma mikirin status sosial tok. Â
Makanya aku sering kebingungan milih filter, caption, foto, dan sebagainya. Beberapa fotoku juga memang buat menunjukkan kalau aku itu orangnya ginii lhoo, luculah, estetiklah, berototlah, gantenglah. Terus, ada foto yang ternyata jelek atau kurang pas, aku hapus.Â
Sampai di situ, aku lalu memutuskan untuk menghapus semua fotoku karena memang nggak ada gunanya dan justru membuatku makin nggak bebas.Â
Beberapa waktu ini, aku juga melihat sesuatu yang ganjil di sebuah berita tentang seorang Selebgram seksi. Di situ tertulis kalau dulu dia sempet sedih karena dilarang sama suaminya untuk main instagram karena banyak dampak negatifnya. Terus sama suaminya dikasih lagi karena dia jadi murung banget.Â
Aku kemudian berasumsi kalau ada aspek yang bisa jadi kata kunci dari aplikasi ini. Yaitu, Self Esteem yang dibahas oleh Abraham Maslow. Singkatnya, Kepercayaan diri ini merupakan salah satu kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi untuk mencapai pemenuhan diri. Kepercayaan diri ini bisa didapat dari status sosial, kelebihan, pengakuan, dan sebagainya. Alih-alih memenuhi potensi diri, kadang media sosial menawarkan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Lewat like dan komennya.Â
Meskipun nggak tahu pasti kasus itu, cuman aku jadi ngerasa kalau aku harus pakai instagram dengan kesadaran penuh kalau itu bukan identitasku. Sampai-sampai menggantungkan banyak hal ke aplikasi dan orang lain.Â
Pesan untuk diriku untuk diriku di jaman SMA.Â
semua orang bisa jadi superstar untuk diri mereka sendiri
Penggunaan instagram dan media sosial lainnya tentu punya andil dalam membangun cara berpikir. Semua orang bisa menjadi superstar mereka sendiri sebelum akhirnya merasa orang lain lah superstar itu dari instagram. Dari hal-hal sederhana yang ada di fitur instagram, aku jadi punya kebiasaan-kebiasaan buruk buat membandingkan aku dengan orang lain, atau orang lain dengan orang lain. Dan mungkin orang lain juga jadi mikir hal yang sama, sehingga, tumbuhlah kita di lingkungan yang sangat comparative namun tidak competitive.Â
Mengkonsumsi instagram juga jangan sampai dikonsumsi instagram. Perlu kesadaran penuh untuk main instagram, yaitu 'bermain'. Kalau sampai udah nggak nemu 'main'nya di mana, ya bisa cari kegunaan yang lain. Kerjalah, bisnislah, relasilah, personal brandinglah, apalah.Â
Soalnya banyak banget emosi negatif yang bisa muncul (kecewa, sedih, down, nggak percaya diri, dan banyak lagi) dari main instagram. Sesederhana liat instastory orang lain yang udah berhasil atau keren aja malah bisa bikin kita nggak pede kan? Dari situ, pola pikir kita kedepannya bakalan jadi jelek kalau nggak buru-buru diubah.Â
Meski memang kebebasan berekspresi itu hak segala bangsa, tapi, harus bebas dulu sebelum berekspresi. Melihat kebebasan berekspresi orang juga susah lho kadang-kadang. Makanya banyak yang komen ini dan itu sembarangan.Â
Membangun Self Esteem harus berpegangan pada diri sendiri, agar tidak menggantungkan nasib sama orang lain melulu. Apalagi orang yang bahkan nggak kita kenal. Kalau bisa lewatin itu, baru deh, kita bisa fokus untuk mengejar potensi diri kita masing-masing di luar hiruk-pikuk pembuktian diri ini.Â
Satu lagi, itu handphone jangan dimasukin kantong jaket, gampang jatoh di angkot, goblok.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H