Publik tidak akan pernah lupa karakteristik Andi Arief di ruang publik. Politisi Partai Demokrat ini terkenal kritis, sarkastik dan cendrung merendahkan Jokowi dan pemerintahannya. Beberapa peristiwa kuat dalam ingatan publik berasal dari cuitan Andi Arief.
Sebut saja soal 7 kontainer dari Cina berisi kartu pemilu yang telah dicoblos, cuitan soal Ratna Sarumpaet, soal rumah orang tuanya di Lampung yang konon didatangi aparat kepolisian, dan berbagai cuitan "kritis" ke pemerintahan Jokowi-JK.
Maka, ketika Andi Arief tersandung kasus semacam ini, para musuhnya menari-menari. Mereka bersorak ria. Mungkin ada yang sujud syukur. Ada rekan dosen yang berteriak, katanya, "Gusti Allah Ora Sare", semacam rasa suka cita ketika "orang sombong" dijatuhkan oleh keadilan Tuhan. Seakan-akan sedang terjadi penghukuman Tuhan atas orang sombong dan merasa benar sendiri.
 Mungkin inilah suasana batin publik sejak siang sampai menjelang malam hari ini. Tentu ada juga pembela Andi Arief dan kubu politiknya yang bahkan menyalahkan Jokowi sebagai yang tidak mampu memberantas narkoba, sehingga Andi Arief menjadi korbannya.
Tetapi cara berpikir semacam ini konyol, karena hanya akan mengesankan sedang terjadinya apa yang disebut sebagai "pengkambinghitaman", "playing victim", dan semacamnya.
Mari kita maknakan peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda. Saya berangkat dari nasihat spiritualitas tradisional, yang mengatakan bahwa tokoh publik harus menjaga diri dan moralitasnya sebaik mungkin. Dia harus menjalankan hidupnya sesempurna mungkin, pertama-tama bukan demi mendapat sanjungan, tetapi demi menyelamatkan dirinya.
Tokoh publik harus hidup dalam standar moral yang tinggi dan harus mempertahankannya. Dia tidak boleh main-main dengan kehidupannya, karena ribuan bahkan jutaan mata akan terus memandang dia. Salah langkah akan membuat dia jatuh dan hancur.
Dengan begitu, "kejatuhan Andi Arief" harus dibaca sebagai bagian dari kecerobohannya sendiri. Bagi saya, ini bukan hukuman Tuhan. Dia memang bukan orang sempurna, sama seperti kita semua manusia yang tidak sempurna.
Selaku tokoh publik, ketidaksempurnaan Andi Arief seharusnya disempurnakan oleh komitmennya untuk menjaga diri. Bagi saya, persis di situlah Andi Arief tampak tidak sanggup menjaga dirinya.
"Kejatuhan" Andi Arief karena kecerobohan diri ini sebenarnya langsung mematikan dirinya sendiri. Karier politiknya mungkin tidak berakhir, tetapi integritas moralnya dapat dikatakan sudah tamat.
Bayangkan jika Andi Arief akan menjalani rehabilitasi. Bayangkan pula bahwa setelah normal atau sehat, dia kembali menggeluti dunia politik, dia kembali berceloteh di media sosial. Bayangkan Andi Arief kembali berjumpa dengan masyarakat, berkampanye, membangun komunikasi politik dan sebagainya.