Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

"Selfie" dan Logika Narsis Kita

18 Desember 2018   13:10 Diperbarui: 18 Desember 2018   19:14 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun demikian, diskusi dan perjumpaan lebih lanjut dengan Rere dan orang-orang sejenis yang menyukai kegiatan swafoto akan lebih meyakinkan kita untuk menarik kesimpulan semacam itu.

Lalu, bagaimana dengan refleksi filosofis sebagai jawaban terhadap pertanyaan ketiga yang saya ajukan di atas? Dengan refleksi filosofis, saya tidak memaksudkannya sebagai sebuah kajian sangat metafisikal dan abstrak mengenai aktivitas swafoto.

Hal yang bisa saya lakukan adalah mencoba merujuknya ke tradisi pemikiran tertentu dan kemudian menafsirkannya secara kreatif supaya bisa memberikan sedikit penerangan (sheds lights) bagi tema yang sedang didiskusikan. Kajian filosofis kemudian tidak boleh diukur berdasarkan kebenaran saintifik, tetapi berdasarkan seberapa meyakinkah argumen yang saya gunakan di sini.

Swafoto dalam Bingkai Narsisme

Adalah Bertrand Russell yang pada tahun 1930 menerbitkan sebuah buku berjudul The Conquest of Happiness. Berbeda dari banyak buku Russell yang sangat filosofis (juga matematika dan logika), buku yang satu ini berisi semacam petunjuk untuk menjadi bahagia. Salah satu tema yang didiskusikan dalam buku ini adalah "apa yang membuat orang merasa tidak berbahagia?"

Untuk menjawab pertanyaan ini, Russell membedakan kegiatan yang sifatnya narsistik dari kegiatan yang merupakan ekspresi megalomania. Suatu kegiatan disebut aktivitas yang sifatnya megalomania jika kegiatan itu dilakukan oleh orang dengan kesehatan kejiwaan yang buruk, yang merasa dirinya memiliki kekuasaan tak-terbatas, dan yang mendesak orang lain untuk memiliki keyakinan dan pengakuan atas watak-watak yang dibayangkannya itu.

Sementara bagi Russell, orang yang narsis adalah pribadi yang tidak menuntut pengakuan akan kemahakuasaannya dan pribadi yang ditakuti. Seorang narsis adalah pribadi yang menarik (charming) dan dicintai (loved).

Bertrand Russell kemudian menawarkan 4 cara memahami narsisisme, dan itu dapat kita simak dari keempat maksim yang dia rumuskan berikut. (Sekadar catatan, maksim dalam khasana filsafat dimengerti sebagai kebenaran umum, suatu prinsip fundamental, atau atural tindakan tertentu yang diacu. Jelas di sini adalah cara berpikir deduktif dengan kebenaran koherensi yang sangat dijunjung tinggi).

  • Ingatlah bahwa berbagai motif [tindakan] Anda tidak selamanya bersifat altruistik. Ada hal tertentu yang tampaknya bersifat self-interest.
  • Jangan terlalu menakar berlebihan keunggulan dan harga dirimu.
  • Jangan terlalu mengharapkan orang lain menaruh perhatian pada dirimu dalam porsi yang sama besar seperti yang engkau sendiri berikan kepada dirimu.
  • Jangan membayangkan bahwa kebanyakan orang akan akan memiliki pemahaman yang cukup [baik] mengenai dirimu dan kemudian akan menentukan siapa dirimu.

Apa yang harus dikatakan mengenai perilaku atau foto narsismu? Menurut saya (penafsiran dan pemahaman saya pada pemikiran Russel), harus diakui bahwa tindakan atau perilaku narsis memang bersifat self-interest. Apakah itu salah? Tidak juga, karena by nature, tindakan manusia tidak seluruhnya harus altruistik.

Dalam arti itu, perilaku narsis itu lumrah dilakukan, yang penting -- seperti yang dikatakan Russell -- orang tidak boleh menakar diri terlalu berlebihan. Dengan kata lain, menjadi narsis itu silakan saja, yang penting tidak berlebihan. Siapa yang mengatakan apakah suatu perilaku narsis itu berlebihan atau tidak berlebihan? Saya kira itu kembali ke diri masing-masing.

Bertrand Russell juga tampak menegaskan bahwa perilaku narsis itu adalah bentuk dari penghargaan diri seseorang kepada dirinya, semacam gambaran yang positif mengenai diri menurut para psikolog kepribadian. Asal dua maksim pertama itu diperhatikan -- sebagai semacam rambu-rambu -- maka maksim ketiga dan keempat dapat dengan mudah dipahami. Bahwa pada akhirnya perhatian diri sendiri kepada diri sendiri itu akan jauh lebih besar daripada mengharapkan perhatian orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun