Perilaku agresif tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Perilaku ini juga dapat termanifestasi dalam relasi antarmanusia, bahkan dalam relasi yang paling intim di rumah antara suami dan istri.Â
Sebuah penelitian deskriptif bidang psikologi di Amerika Serikat tahun 2016 menunjukkan bahwa umumnya anak-anak pernah mengalami perilaku agresif orang tuanya sebelum mereka berusia 18 tahun.Â
Perilaku agresif orang tua itu termanifestasi dalam teriakan atau bentakkan, penghinaan atau kritikan yang tajam, pemukulan secara fisik, sampai perilaku yang menciderai anak-anak.Â
Sekadar menyebut contoh, 89 persen dari 91 responden perempuan (istri atau ibu) pernah melakukan tindakan agresif berupa teriakan maupun membentak anak-anak mereka, sementara 84 persen dari 91 suami atau bapak juga melakukan hal yang sama.
Per definisi, perilaku agresif menggambarkan tindakan atau perilaku manusia yang berupaya membela, mempertahankan diri. Selain itu, bisa agresif juga bisa dikatakan sebagai tindakan atau perilaku yang memaksakan kekuatan dan kekuasaan kepada orang lain dengan cara yang merusak, menghancurkan dan membahayakan mereka.Â
Biasanya, orang yang menjadi korban perilaku agresif umumnya merasa dirinya sebagai dikuasai atau didominasi, dipermalukan, merasa bersalah atau direndahkan dalam suatu situasi tertentu. Demikianlah, pada titik yang paling ekstrem, perilaku agresif berpotensi menyebabkan orang lain menjadi bahaya, terluka, tersakiti, dan semacamnya.Â
Merujuk ke penelitian deskriptif yang kami rujuk di atas, sekitar 17 persen ibu dan 18 persen bapa di Amerika Serikat yang berperilaku agresif kepada anak-anak mereka sampai menyebabkan cacat atau luka secara fisik.
Perhatikan bahwa suatu perilaku disebut agresif karena perilaku tersebut dilakukan secara berulang, secara intensional, diarahkan kepada orang lain demi mencapai hasil yang sudah ditentukannya sebelumnya.Â
Sudah hampir pasti, orang yang berperilaku agresif tersebut bertindak tidak memberi ruang diskusi bagi orang yang terlibat dalam relasi tersebut.
Pada level yang paling ringan (mild) pun perilaku agresif dapat juga terjadi. Mari kita ambil sebuah contoh. Katakan saja, Anda menaksir seseorang dan ingin menjadikannya sebagai pasangan atau pendamping hidupmu. Setelah bertukar nomor kontak, misalnya, Anda mengirimkan dia pesan-pesan pendek yang dilakukan hampir seharian penuh.Â
Mungkin juga Anda mengirimkan bunga dan hadiah-hadiah lainnya yang belum tentu dia sukai. Sekali lagi, karena Anda tidak memberi ruang dialog yang cukup, perilaku Anda itu dapat melukai orang tersebut.
Demikianlah, alasan mengapa perilaku agresif harus dihindari adalah karena perilaku tersebut, pada level yang lembut atau kasar, sama-sama menyebabkan orang lain terluka dan menderita.Â
Pada level tertentu, korban perilaku agresif, seperti halnya juga perilaku kekerasan pada umumnya, berpotensi mengambil sikap yang merugikan dirinya sendiri, misalnya perilaku membunuh diri. Jika ini terjadi, umumnya orang (baik pelaku maupun korban) harus mengikuti program terapi dan penyembuhan secara psikis-medis.
Mengatasi Perilaku Agresif
Beberapa solusi berikut ini dapat bermanfaat dan dipraktikkan dalam kehidupan kita untuk mencegah dari perilaku agresif. Pertama-tama harus ditemukan akar terdalam dari perilaku agresif tersebut.Â
Ada berbagai alasan yang tersembunyi, misalnya stress karena tekanan kerja, tekanan kelompok, penggunaan zat adiktif, atau hubungan yang tidak sehat dalam keluarga.Â
Jika semua faktor ini menciptakan situasi yang menjengkelkan dan Anda mengalami rasa frustrasi, yang harus segera dilakukan adalah mengubah situasi frustrasi ini menjadi situasi yang nyaman.Â
Sebagai contoh, jika perilaku agresif itu disebabkan oleh tekanan di tempat kerja dan Anda mengalami ini secara berulang, umumnya solusi yang bisa diberikan adalah Anda dapat mencari pekerjaan lain yang lebih baik situasinya.
Ini relasi yang tidak sehat dan merugikan, tidak hanya pasangan Anda, tetapi juga Anda sendiri. Memberi ruang bagi kebebasan dan otonomi orang lain (pasangan hidup) adalah cara memperbaiki relasi yang tidak sehat itu.
Agar hidup Anda dapat berjalan damai dan tentram, tentunya perilaku agresif dapat dikurangi, misalnya dengan membangun komunikasi yang cukup, memberi ruang dialog dan diskusi yang intens, serta memberi kesempatan kepada orang untuk menyatakan pikiran, sikap dan perasaannya. Dengan begitu, diharapkan perilaku agresif dapat berkurang menjadi perilaku-perilaku yang menyenangkan untuk kedua belah pihak.
Jika perilaku agresif bersifat parah dan ekstrem, Anda sebaiknya berkonsultasi pada psikolog dan psikiatri. Dalam dunia psikiatri dikenal sebuah terapi bernama Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terapi ini sudah terbukti andal dalam membantu mereka yang berperilaku agresif untuk mengenal dan belajar bagaimana mengontrol sifat agresifnya.Â
Pendekatan CBT dianggap dapat membantu Anda membangun mekanisme coping dalam diri yang dapat membantu Anda bersikap positif setiap kali menghadapi situasi yang berpotensi menyebabkan sifat agresif. Terapi ini juga dapat membantu Anda mengolah perasaan-perasaan negatif yang menjadi sumber perilaku agresif.
Sebagai catatan penutup, perilaku agresif tidak boleh dianggap sepele. Lebih cepat dideteksi malah lebih baik. Ini karena perilaku agresif, pada level apapun, berpotensi menjadi suatu kelainan kepribadian jika tidak ditangani sejak dini.
Semoga kita semua bisa semakin mengenal diri, termasuk mengenal sifat dan perilaku kita masing-masing, sejauh mana kita berperilaku agresif atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H