Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Iklan Kreatif Pelayanan Lansia dan Problem Etis

22 Juni 2018   11:19 Diperbarui: 22 Juni 2018   17:46 1986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelayanan lansia dapat berbasis rumah sakit tetapi juga dapat dilakukan dari rumah. Sumber: https://www.medicalassistantschools.com/articles/taking-care-of-the-elderly/

Kelas pertama pagi ini. Waktu menunjukkan pukul pukul tujuh pagi. Beberapa mahasiswa mungkin masih terjebak di lift yang membawa mereka dari lantai 1 ke lantai 6.

Tetapi ada cukup banyak yang sepertinya tidak masuk kuliah. Entah apa alasannya. Mungkin kelas etika menjadi salah satu sebab mahasiswa tidak ikut kuliah.

Selain karena materinya yang nyaris tidak ada muatan ilmu kedokteran, mungkin juga karena anggapan bahwa materi yang diajarkan sebenarnya bisa dibaca sendiri.

Saya dijadawalkan mengajar mahasiswa calon dokter yang sekarang sedang memelajari blok siklus kehidupan dan penuaan alamiah (SKPA), dan secara khusus saya diminta membicarakan masalah pelayanan lanjut usia ditinjau dari sudut etika. Kerennya, saya diminta mengajar etika pelayanan lansia.

Karena saya harus mengajar dua kali seratus menit yang dijadwalkan dalam dua hari, saya biasanya memilih membeberkan data-data kelansiaan di Indonesia dan proyeksi bagaimana Indonesia akan menjadi masyarakat lanjut usia (aging society) di tahun 1930-an.

Data-data ini akan sangat bermanfaat membantu saya untuk mendiskusikan masalah etika pelayanan kelansiaan. Saya memfokuskan presentasi saya pada problem martabat lansia (the dignity of the elderly people).

Menariknya, di malam sebelumnya, WA Grup dosen-dosen ramai mendiskusikan sebuah iklan yang dipasang oleh sebuah Rumah Sakit Swasta di kawasan Selatan Jakarta.

Isi iklan itu sebagaimana nampak berikut:

Iklan pelayanan lansia dari sebuah rumah sakit. Sumber: infografis diolah sendiri oleh penulis.
Iklan pelayanan lansia dari sebuah rumah sakit. Sumber: infografis diolah sendiri oleh penulis.
Berbagai komen pro dan kontra muncul di WAG para dosen. Mereka yang pro berpendapat bahwa iklan itu sah-sah saja dan wajar. Tidak ada sesuatu hal yang aneh dengan iklan itu.

Sementara teman-teman yang kontra umumnya berpendapat bahwa rumah sakit tidak diperkenankan memasang tarif ketika menawarkan suatu jasa pelayanan kesehatan.

Ada teman dosen yang merasa heran, ternyata rumah sakit sekarang sudah separah itu.

Bagi mereka, pelayanan kesehatan adalah bagian hakiki dari panggilan menjadi dokter.

Karena itu, sangat tidak etis jika pelayanan kesehatan itu dibumbui dengan tarif atau biaya tertentu yang dinyatakan secara eksplisit.

Iklan ini juga menarik perhatian saya. Saya juga bertanya, "Apakah iklan semacam ini adalah etis?" Jika tidak etis, mengapa dapat dikatakan demikian? Pada bagian manakah iklan tersebut dinyatakan tidak etis?

Sebelum menjawab ini, saya memutuskan untuk mendiskusikannya dengan mahasiswa keesokan harinya. Apalagi, mahasiswa saya ini sedang memelajari topik pelayanan kelansiaan juga, jadi rasanya cocok.

***

Setelah membaca iklan yang saya tayangkan di kelas, para mahasiswa pun segera bereaksi. Dan reaksi mereka pun ada yang setuju dan ada yang menolak.

Menariknya, alasan penolakan yang disampaikan para mahasiswa itu mirip dengan alasan para dosen mereka yang berdiskusi melalui WAG para dosen.

Bagi mahasiswa ini, iklan tersebut tidak etis karena berusaha mencari keuntungan dalam pelayanan kesehatan.

Mereka juga menambahkan bahwa pelayanan kesehatan adalah bagian dari panggilan menjadi dokter, bahwa menjadi dokter itu harus melayani orang sakit, karena itu, sangat tidak etis membertahu tarif pelayanan sebelum pelayanan itu diberikan.

Prinsip Keadilan

Untuk lebih memperdalam perspektif, saya mengajukan pertanyaan demikian. Jika dilihat dari sudut pandang prinsip keadilan (justice) sebagai salah satu dari empat prinsip etika biomedis sebagaimana dikemukakan Beaucham dan Childress (tiga prinsip lainnya adalah prinsip autonomy, beneficence, dan non-maleficence), apakah ada masalah etis yang muncul sehubungan dengan prinsip tersebut?

Rupanya beberapa mahasiswa masih memahami dengan baik pembedaan yang saya pernah ajarkan, terutama ketika mendiskusikan problem keadilan.

Mahasiswa masih ingat, bahwa pengertian klasik mengenai keadilan sebagai "memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya" sudah tidak memadai jika diterapkan dalam konteks iklan di atas. Dan distingsi itu adalah soal prinsip equality dan equity dalam keadilan.

Prinsip equality atau kesetaraan menegaskan bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, antargolongan, tetapi juga secara gender atau status kesehatan.

Mengaplikasikan prinsip kesetaraan ke dalam iklan di atas, harus dikatakan bahwa iklan tersebut tidak adil, terutama tidak adil bagi kaum lansia yang miskin karena tidak memiliki kemampuan finansial sebagaimana dituntut dalam iklan tersebut.

Itu juga berarti hanya lansia dari kelompok kelas menengah ke atas yang dapat memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan.

Supaya prinsip kesetaraan dalam pelayanan kesehatan lansia dapat digunakan, pemerintah harus menyediakan subsidi atau membiayai pelayanan tersebut.

Masalahnya, apakah pemerintah RI mau membiayai pelayanan perawatan lansia dalam jangka waktu pendek seperti itu yang sekilas tampak seperti pelayanan kesehatan yang bersifat rekreasional tersebut?

Mengacu ke pembiayaan melalui BPJS yang ada sekarang, paket pembiayaan seperti yang ditawarkan iklan di atas belum ada dan belum dikover. Dengan begitu, prinsip kesetaraan (equality) dengan sendirinya tidak berlaku.

 Lalu, bagaimana dengan prinsip equity?

Prinsip equity dalam pelayanan kesehatan menurut World Health Organization (WHO) dirumuskan sebagai the absence of avoidable or remediable differences among groups of people, whether those groups are defined socially, economically, demographically, or geographically.

Jika prinsip ini diaplikasikan dalam kasus iklan di atas, bagaimana bisa dijelaskan?

Jika akses kepada pelayanan kesehatan lansia bersifat tidak setara, dan ketidaksetaraan itu tak bisa dihindari, maka sikap moral yang parsial dapat saja dibenarkan.

Pertanyaannya, apakah ketidaksetaraan dalam penghasilan yang menyebabkan ketidaksetaraan dalam pelayanan lansia adalah keadaan ekonomi yang tidak dapat dihindari? Atau, jangan-jangan, ketidaksetaraan itu terjadi karena adanya struktur ekonomi yang tidak adil?

Tampaknya ketidaksetaraan kemampuan ekonomi yang diimplikasikan oleh iklan tersebut di atas bukanlah ketidaksetaraan yang tidak bisa dihindari.

Jadi, itu sesuai dengan definisi yang dikemukakan WHO. Jika demikian, ketidaksetaraan pelayanan kesehatan pada lansia karena keadaan ekonomi, dari prinsip equity, adalah ketidakadilan.

Dalam arti itu, jika pemerintah RI tidak berhasil mengatasi kesenjangan akses terhadap pelayanan kesehatan karena masalah ekonomi, maka pemerintah menyebabkan tidak terpenuhinya baik prinsip kesetaraan maupun prinsip equity.

Soal ini, kita bisa membaca sekali lagi penegasan WHO, katanya, "Health inequalities therefore involve more than inequality with respect to health determinants, access to the resources needed to improve and maintain health or health outcomes. They also entail a failure to avoid or overcome inequalities that infringe on fairness and human rights."

Peran Pemerintah

Mereka yang setuju bahwa iklan di atas tidak ada masalah dari segi etika akan mengemukakan argument demikian.

Pertama, pelayanan kesehatan lansia yang ditawarkan bersifat temporer, yakni selama masa libur lebaran di mana para perawat lansia sedang berlibur ke kampung halaman. Kecuali kalau itu menjadi model pelayanan kesehatan yang bersifat tetap.

Kedua, jika tarif itu diurai lebih teliti, keuntungan yang diincar rumah sakit sebenarnya tidak terlalu besar, dan itu pantas dibandingkan dengan keuntungan yang bisa diperoleh lansia. Dan pembiayaan itu meliputi makanan, sewa kamar, jasa pelayanan dokter spesialis yang juga mahal, fasilitas kolam renang, dan kenyamanan-kenyamanan lainnya.

Kedua alasan ini masih bisa diperdebatkan. Tetapi dari aspek equity, iklan itu sebenarnya juga menegaskan atau setidaknya memunculkan kekurangan dalam pelayanan kepada lansia, dan itu juga berarti kegagalan pemerintah itu sendiri.

Kemudian memang harus diakui, bahwa pelayanan kesehatan kepada lansia di Republik ini masih jauh dari memadai.

Asal menyimak berbagai pemberitaan seputar pelayanan kesehatan kepada lansia dan kita akan segera menemukan di mana letak persoalannya.

Iklan ini, sadar atau tidak, sebenarnya menjadi pemicu agar kita semakin giat mendorong peran aktif pemerintah dalam menangani penduduk lanjut usia di Indonesia.

Hanya dengan demikian kita bisa berharap memiliki tidak hanya semakin banyak lansia dalam dua puluh tahun ke depan, tetapi juga generasi lanjut usia yang berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun