Pembangunan infrastruktur digenjot habis sejak Joko "Jokowi" Widodo dan Jusuf Kalla menduduki tahta kekuasaan paling elit di Republik ini. Program kerja membangun Indonesia dari pinggir sepertinya mulai menuai hasil. Satu per satu jalan tol tampak selesai dan mulai diresmikan.
Pembangunan dam, pelabuhan laut, bandar udara, pasar, sekolah, dan ribuan lainnya dimaksud untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi rakyat, meskipun pertumbuhan itu belum nampak signifikan benar. Hal terakhir ini yang menjadi sasaran tembak para lawan politik, bahwa pembangunan ternyata tidak menyejahterakan, bahwa pembangun infrastruktur hanya akan menambah beban utang luar negeri yang sudah mencapai angka lebih dari 4 ribu triliun Rupiah.
Bahwa pembangunan fisik mulai menuai hasil, itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Juga bahwa cukup banyak pembangunan yang telah rampung itu sebetulnya adalah melanjutkan pembangunan yang sempat mangkrak dalam pemerintahan sebelumnya, itu juga fakta lain yang tidak bisa ditolak. Tetapi rupanya "fakta" sering diperlakukan berbeda di Republik tercinta ini.
Fakta bisa menjadi komoditas politik, yang celakanya, justru menjadi peluru yang ditembakan balik ke pihak yang telah dengan susah payah membangun negeri ini. Dan kita sadar betul, selama tahun 2018 dan tahun 2019 nanti, fakta ini akan terus digoreng, ya demi usaha merebut kekuasaan. Tidak lebih.
Saya termasuk orang yang membaca berita selesai dibangunnya sebuah proyek dengan mata berkaca-kaca dan rasa bangga. Belum lama berselang, saya membaca laporan wartawan Kompas tentang peresmian Bandara Internasional Kertajati. Reportase dengan angle terlibat itu, menurut saya, mampu menangkap rasa bangga masyarakat. Betapa mereka senang, bukan saja karena daerah mereka tidak lagi terisolir, tetapi juga karena kehidupan perekonomian pun menjadi lebih dinamis.
Saya juga memirsa dengan rasa bangga bagaimana pembangunan tol pantai Selatan Jawa (Tol Pansela) sudah mencapai tahap akhir. Menonton berbagai video yang diunggah para netizen yang pernah melalui jalur Pansela, yang menampakkan keindahan alam Pulau Jawa bagian selatan, desa-desa, hamparan sawah, gunung dan bukit yang menghijau, pasar warga yang tumpah ke jalan, dan semacamnya, sungguh menjadi adegan yang membangkitkan rasa bangga.
Demikian pula ketika memirsa kemajuan pembangunan jalan tol dan pembangunan aspek-aspek lainnya di Papua, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai pulau kecil di Indonesia. Lagi-lagi semua kemajuan itu terpampang di hadapan mata. Melalui video-video tersebut, saya seakan dibawa langsugn ke wilayah itu.
Rasanya sedang melintasi jalan-jalan nan mulus di Pansela, ikut naik kereta api yang mulai di bangun di Sulawesi Selatan, ikut dalam tawa rakyat di Sumatera, di lintas Kalimantan, senang berada di antara orang Papua dan seterusnya. Dan itu menciptakan memori yang begitu kuat dalam pikiran, sebuah memori tentang Indonesia.
Perlunya Narasi Nasionalistis
Jadi, pertanyaannya: untuk apa semua upaya pembangunan massif yang menghabiskan dana triliunan Rupiah itu? Dari perspektif lawan politik Jokowi, apakah sekadar pencitraan dan tidak lebih dari upaya melanggengkan kekuasaan untuk periode kedua tukang kayu dari Solo itu? Bagi saya, berbagai penafsiran soal pencitraan dan sebagainya justru menyakitkan.
Adalah fakta bahwa presiden Indonesia, siapapun dia, setiap pencapaiannya dapat dengan mudah dijadikan sebagai komoditas politik. Bahwa political interest seorang Jokowi untuk menjadi presiden RI periode kedua dengan cara membangun Indonesia, dalam kadar tertentu, pasti ada. Tidak ada tindakan altruistic yang sifatnya murni altruistic alias tanpa self-interest. Yang salah adalah mereduksikan semua pencapaian itu pada kutub kepentingan diri dan kepentingan politik jangka pendek.
Melalui percakapan di warung kopi, tukar menukar informasi di media sosial, tontonan dan bacaan-bacaan kita di berbagai situs berita dan video online, kita sebetulnya bisa menciptakan sebuah imaginasi ke-Indonesia-an dalam diri seluruh warga.
Bahwa Indonesia itu tidak saja sebuah negara yang besar dengan ribuan pula, ribuan suku bangsa dan bahasa dan dengan kekayaan alam melimpah, tetapi juga sebuah "ruang bersama" yang mampu menyatukan setiap anak bangsa.
Ruang bersama itu sedang dan akan terus dibangun oleh Presiden Jokowi, di mana orang Papua tidak akan lagi merasa seperti anak tiri, orang Sumatera dan Kalimantan tidak merasa hanya sebagai objek eksploitasi dan semacamnya. Dalam arti itu, tesis Anderson itu teruji, bahwa nasionalisme itu dibayangkan untuk kemudian direalisasikan, dan media sosial dapat menjadi alat yang mampu mengemban peran ini.
Di situlah pilihannya menjadi penting, terutama dalam hal bagaimana membangun narasi di balik berbagai gegap-gempita pembangunan itu. Keberhasilan pembangunan seharusnya tidak sekadar dilihat sebagai keberhasilan perealisasian APBN, juga tidak sekadar sebagai upaya meningkatkan ekonomi rakyat, menembus keterisolasian wilayah, dan sebagainya.
Keberhasilan pembangunan juga seharusnya diikuti dengan konstruksi narasi yang mampu memperkuat semangat nasionalisme dan rasa cinta bangsa. Dalam hal ini, perang konstruksi narasi di media sosial tampaknya akan terus terjadi. Media sosial di tangan para musuh politik Jokowi akan menjadi alat untuk menyerang dan melemahkan semangat pembangunan. Dan itu sekaligus melemahkan roh nasionalisme. Sebaliknya, media-media sosial yang pro pemerintah akan terus berusaha membangun narasi positif, narasi nasionalisme, narasi kita sebagai bangsa Indonesia.
Bagi saya, setiap keberhasilan pembangunan adalah cara merajut Indonesia menjadi satu bangsa dan satu negara bernama NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H