Sambil tersenyum saya membaca dua berita online yang diwartakan viva.com. Berita pertama diberi judul "Pengikut Twitter Jokowi Kalahkan SBY dan berita kedua diberi judul "Kalah Pengikut, SBY Lebih Banyak Berkicau dari Jokowi". Kedua berita yang tayang pada hari Senin, 23 April 2018 itu ditulis oleh Bayu Aji Wicaksono. Berita pertama tayang pada jam 14.04 WIB dan berita kedua tayang pada jam 19.21 WIB. Saya ingin mengulas dua berita ini dari segi hukum berpikir logis.
Kesimpulan yang Berlebihan
Berita pertama (Pengikut Twitter Jokowi Kalahkan SBY) dimulai dengan sebuah pendekatan deduktif (penarikan kesimpulan yang bertolak dari suatu prinsip umum). Demikianlah, Bayu Aji Wicaksono, penulis berita tersebut, mengajukan pernyataan bahwa "media sosial menjadi wadah yang tak terpisahkan dari seorang tokoh dunia".Â
Pernyataan ini sebenarnya hanya ingin meyakinkan pembaca mengapa SBY dan Jokowi juga menggunakan media sosial. Tetapi jika alasannya adalah penggunaan media sosial sebagai tempat (seharusnya medium) untuk menyampaikan pernyataan resmi dan pribadi, menyebut Donald Trump, Jokowi atau SBY sebagai tokoh dunia adalah sebuah pereduksian tokoh dunia. Dengan kata lain, tokoh-tokoh lain juga bisa dimasukkan. Meskipun begitu, tentu hal ini tidak tepat, karena yang hendak ditonjolkan adalah "Pengikut Twitter Jokowi yang Kalahkan SBY". Jadi, pernyataan umum sebagai klaim dalam konteks ini adalah salah.
Masih pada alinea pertama tertulis sebuah kalimat demikian, "Bahkan, sekelas Presiden Amerika, Donald Trum, sangat memanfaatkan media sosial sebagai tempat menyampaikan pernyataan resmi dan pribadinya." Lagi-lagi tampak kekacauan berpikir Si Wartawan karena mengontraskan suatu fenomena secara tidak tepat. Cara berpikir yang seharusnya adalah "Si Otong yang orang biasa saja menggunakan media sosial sebagai tempat menyampaikan pernyataan resmi dan pernyataan pribadi" apalagi tokoh-tokoh dunia sekelas Donald Trump ataupun Jokowi.
Di alinea berikutnya, Bayu Aji Wicaksono menulis bahwa dalam pantauannya, Trump, Jokowi dan SBY lebih suka menggunakan twitter sebagai media berinteraksi dengan masyarakat. Lagi-lagi ini sebuah kesalahan berpikir. "Lebih suka" itu dibandingkan dengan apa? Kalimat setelahnya dapat dibenarkan sebagai sebuah isu faktual, bahwa memang ada hubungan sebab akibat antara ketokohan seseorang dengan jumlah pengikut di twitter.
Semua yang dikatakan di atas sebenarnya hanya pengantar. Isi berita itu sebenarnya adalah laporan bahwa pantuan VIVA pada tanggal 23 April 2018 terhadap twitter Donald Trump, Jokowi dan SBY berdasarkan kriteria jumlah pengikut, berapa kali mengetwit dan berapa jumlah foto yang pernah diunggah menunjukkan hasil 51,1 juta pengikut, 37,4 ribu tweet, dan 2.590 unggahan foto (Donald Trump) dibandingkan dengan  lebih dari 10 juta pengikut, 889 kali tweet, dan 620 kali mengunggah foto dan video (Jokowi) serta hampir 10 juta pengikut, hampir lima ribu kali tweet dan lebih dari seribu foto dan video yang telah diunggah (SBY).
Perbandingan semacam ini sangat tidak fair jika hanya didasarkan pada berapa jumlah pengikut, berapa kali berkicau dan berapa foto/video yang telah diunggah. Aspek-aspek lain seharusnya juga diperhatikan dan dipertimbangkan, misalnya seperti apakah karakteristik pengikut masing-masing tokoh tersebut, frekuensi akses terhadap media sosial, isu-isu seperti apa yang diangkat, dan sebagainya.Â
Perbandingan yang dilakukan penulis berita ini tampaknya terlalu sederhana dan naif. Ketika diinformasikan bahwa SBY baru memiliki akun twitter lebih dahulu bulan Maret 2013 sementara Jokowi sudah memilikinya sejak bulan September 2011, seharusnya Bayu Wicaksono menyadari bahwa keduanya tidak bisa dibandingkan.
Itu artinya tulisan berjudul Pengikut Twitter Jokowi Kalahkan SBY harus dikategorikan sebagai berita dengan alur berpikir yang menyesatkan.
Bagaimana dengan berita kedua yang berjudul "Kalah Pengikut, SBY Lebih Banyak Berkicau dari Jokowi"? Logika berpikir yang dibangun wartawan juga menyesatkan. Memang logis bahwa SBY yang lebih banyak berkicau di twitter seharusnya memiliki pengikut yang lebih banyak dibandingkan Jokowi.Â
Tetapi lagi-lagi Si Wartawan tidak mempertimbangkan karakteristik pengikut, isu-isu yang dikicaukan, dan apakah isu-isu itu disukai atau malah menimbulkan resistensi. Selain itu, wartawan juga gagal membuktikan bahwa banyaknya tweet berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah pengikut. Dengan begitu, menyimpulkan bahwa Jokowi mengalahkan SBY dari segi pengikut twitter adalah kesimpulan yang serampangan.
Etika Jurnalisme
Terlepas dari apakah media pemberitaan ini berbobot atau tidak, saya berpendapat bahwa setiap wartawan harus memerhatikan dan mentaati etika jurnalisme. Lima prinsip etika jurnalisme yang bisa dijadikan dasar rujukan adalah  (1) kebenaran dan keakuratan, (2) independensi, (3) kejujuran dan imparsialitas, (4) menghormati kemanusiaan, dan (5) akuntabilitas.
Menurut ranking alexa.com, portal berita viva.com menduduki ranking 32 dari 500 portal berita dan informasi di Indonesia dan berada di urutan 969 dalam ranking global. Portal berita ini dikunjungi oleh rata-rata 1.341.552 orang setiap hari. Itu artinya ketepatan (akurasi) dan kebenaran isi berita tidak bisa ditawar. Bayangkan, berapa banyak orang yang menjadi korban "penipuan" (misinformasi) jika prinsip kebenaran dan keakuratan tidak dipertimbangkan dalam pemberitaan?
Apalagi jika jumlah pengunjung itu digunakan sebagai "modal" untuk memasarkan media ke para pemasang iklan. Dalam arti itu, saya agak mengkhawatirkan independensi wartawan dalam penulisan berita -- dari aspek kecepatan pemberitaan dan jumlah berita yang harus dipublikasikan -- serta mekanisme pengeditan berita di dapur redaksi.
Apakah jutaan pembaca viva.com sangat percaya pada isi pemberitaan portal berita ini? Kita harus menelitinya lebih jauh. Harapan saya sederhana: semoga semakin banyak pembaca yang menjadi melek dan kritis pada pemberitaan media massa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H