Sekelompok guru dan dosen bersedia berkumpul hari ini, 14 April 2018. Hal yang menggerakkan mereka tentu karena kesamaan penghayatan akan "panggilan" menjadi guru dan dosen. Maklum, para guru dan dosen yang hadir dalam pertemuan hari ini adalah para pendidik Katolik yang tinggal dan menjadi warga Paroki Maria Bunda Karmel (MBK) di Tomang, Jakarta Barat.
Sebagai informasi, nama "paroki" digunakan untuk menyebut "komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam sebuah Keuskupan.Â
Demikianlah, Gereja Katolik yang secara universal dikepalai oleh Paus yang berkedudukan di Vatikan, memiliki banyak sekali Keuskupan (Gereja Lokal) yang menyebar di berbagai daerah di dunia. Setiap keuskupan dikepalai oleh seorang uskup. Paroki-paroki adalah wilayah gerejani yang lebih kecil, terdiri dari beberapa ribu umat, memiliki batas kewilayahan tertentu dalam sebuah keuskupan.
Para guru dan dosen yang hadir sore ini adalah mereka yang berkarya di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya, di mana mereka adalah warga atau umat Paroki Tomang, Gereja Maria Bunda Karmel.
Demikianlah, pagi-pagi sekali, pukul 08:00 beberapa dari mereka sudah hadir. Menurut data, ada sekitar 300-an guru dan dosen yang menjadi warga Paroki MBK. Meskipun hanya sepertiga guru dan dosen yang hadir dalam rapat hari ini, acara tetap berjalan menarik. Lebih dari sekadar canda-tawa karena berkumpul bersama rekan seprofesi, bebapa pemikiran yang terekspresikan menegaskan sekali lagi makna profesi menjadi guru dan dosen.
Pengalaman Dihargai
Sebuah kisah inspiratif dituturkan di awal pertemuan. Belum lama berselang, alumni dari sebuah Sekolah Katolik di Jakarta Pusat mengadakan reuni. Para alumni berinisiatif mengumpulkan semua guru mereka, apapun yang terjadi.Â
Mereka akan menanggung semua biaya bagi acara tersebut. Konon, beberapa guru yang sudah pension dan tidak tinggal lagi di Jakarta pun mereka datangkan. Bahkan ada guru yang sudah lama menetap di Flores ikut mereka hadirkan, dengan biaya mereka sendiri.
Begitu tiba di depan sekolah, driver itu membuka helmnya lalu bertanya kepada sang ibu guru, "O... ternyata yang saya antarkan ini seorang guru." Sambil menyodorkan tangannya dan menyalami si ibu guru, sang driver pun berkata, "Terima kasih, bu guru!" Lalu diciumnya tangan ibu guru itu, penuh rasa terima kasih dan takjub.
Ribuan pengalaman bisa dituturkan, dan saya yakin setiap guru memiliki pengalaman-pengalaman eksistensial yang menggetarkan dan membekas.Â
Siapa yang menyangka kalua seorang ibu guru yang telah pensiun dari sebuah sekolah negeri, yang dulunya dikenal sebagai guru "killer", yang mengajar bidang studi Kimia yang selalu ditakuti, kini menjadi tempat curahan hati siswa-siswi ketika di usia pensiunnya diminta kembali mengajar agama (Katolik) sebagai guru honor di sekolah negeri tersebut? Siapa juga mengira, seorang guru sekarang bertemu kembali dengan mantan muridnya yang sekarang sudah menjadi guru juga?
Kisah-kisah semacam itu dan kisah-kisah lainnya yang serupa menegaskan pentingnya "penghargaan" (apresiasi) atas suatu hal baik yang telah dilakukan seseorang. Belajar dari Psikologi Positif, "penghargaan" itu tidak sekadar ucapan terima kasih yang kita terima seusai melakukan suatu kebaikan -- yang harus diakui seringkali hanya basa-basi.Â
"Penghargaan" (appreciation) sebenarnya ada dalam kelas yang sama -- dan karena itu tidak boleh dipisahkan -- dengan sikap "syukur" (gratitude). Ini adalah adalah sikap "terima kasih" dan "rasa syukur" yang diucapkan secara tulus kepada seseorang yang telah melakukan kebaikan kepada kita.
Harvard Medical School (HMS) mendefinikan apresisasi dan rasa syukur itu sebagai penghargaan yang diterima seseorang, yang melaluinya seseorang menerima pengakuan akan seluruh kebaikan yang telah dilakukannya dan yang berpengaruh pada perubahan kehidupan orang yang mengucapkan rasa syukur dan apresiasi itu.Â
Karena itu, masih menurut perspektif HMS, rasa syukur dan apresiasi yang diterima itu akan memampukan orang untuk menghubungkan dirinya dengan sesamanya, dengan alam, bahkan dengan suatu daya-kekuatan yang lebih besar dan yang melampaui dirinya.
Dihubungkan ke pengalaman menjadi guru dan dosen, pengalaman dihargai dan diapresiasi, entah oleh mantan murid, oleh institusi tertentu, pejabat tertentu, dan sebagainya, sejatinya mengafirmasi 3 hal yang menjadi esensi profesi sebagai guru.
Pertama, lebih dari mengajar dan mentransfer ilmu, menjadi guru dan dosen sebenarnya adalah panggilan untuk mengubah peserta didik menjadi baik. Bagian integral dari profesi menjadi guru dan dosen adalah "mencerdaskan kehidupan peserta didik", tetapi jika berhenti di situ, seorang guru dan dosen tidak lebih dari menjadi "tukang ajar". Guru dan dosen adalah profesi untuk mengubah perilaku, mengubah seseorang menjadi manusia yang penuh, yang lebih baik dan lebih manusiawi.
Kedua, apresiasi dan rasa syukur yang diterima berhubungan dengan peran seorang guru dan dosen sebagai model kebaikan. Guru dan dosen itu memang diguguh dan ditiru. Guru kencing berdiri murid kencing berlari, demikian kata pepatah. Peserta didik belajar menjadi pintar dan cerdas secara keilmuan dari penguasaan keilmuan guru dan dosen. Mereka juga bisa belajar sendiri dari berbagai teks dan sumber yang tersedia.Â
Tetapi mereka belajar menjadi manusia yang baik karena mereka melihat dan mengalami bagaimana guru dan dosen menjadi orang baik. Dan ini umumnya tidak diajarkan. Ia hanya dialami dalam sebuah relasi personal guru-dosen dengan para peserta didik.
Ketiga, pengalaman dihargai (diapresisasi) itu memang mampu membuat seseorang melampaui dirinya. Pengalaman itu membuat orang menghubungkan dirinya dengan orang lain di luar dirinya, menghadirkan kembali seluruh relasi penuh keintiman yang sudah pernah terjadi di masa lampau, bahkan mampu menghubungkan berbagai pihak dengan suatu daya kekuatan yang lebih tinggi.Â
Dalam koteks itu, seorang guru-dosen akan mengalami perjumpaan dengan semacam Kebaikan (The Good) dalam arti kebaikan Absolut.
Tentang hal terakhir, terutama jika dihubungkan dengan profesi guru dan dosen sebagai sebuah "panggilan", menjadi guru dan dosen pada akhirnya adalah pengalaman merealisasikan Kebaikan Absolut itu. Itulah Kebaikan yang tercurah dari Kebaikan Ilahi.Â
Kebaikan itu mengalir dari cinta kasih Tuhan sendiri yang memercayakan profesi mulia ini kepada para guru dan dosen, supaya mereka dapat membawa kembali para peserta didik kepada Tuhan.
Dengan begitu, titik kemuliaan profesi guru dan dosen terletak pada kesediaan seseorang menerima kepercayaan dari Kebaikan Absolut untuk menjadi guru-dosen supaya bisa menularkan kebaikan yang diterimanya dari Kebaikan Absolut itu. Dan dengan cara itu, kebaikan dirinya dan perilakunya dapat menjadi panutan, contoh dan teladan bagi perubahan kehidupan orang lain.
Ini sebuah kepercayaan yang berat dan hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang dirinya selalu terikat dan setia pada Kebaikan Absolut itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H