Menyusul rekomendasi Ombudsman yang mengingatkan Gubernur Anies Baswedan akan kebijakan yang keliru mengenai penutupan jalan di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Dirjen Otonomi Daerah Soni Sumarsono mengingatkan mantan Menteri Pendidikan itu untuk mematuhi rekomendasi tersebut.
Soni mengatakan bahwa kebijakan yang diambil Anies Baswedan adalah keliru dan karena itu harus mematuhi keputusan Ombudsman. Soni tidak hanya mengingatkan bahwa keputusan Ombudsman bersifat final.Â
Ia bahkan memerinci proses seperti apa yang akan dilalui sampai kemungkinan Anies Baswedan dinonaktifkan jika tidak menaati rekomendasi Ombudsman. Dan pekan ini kita membaca semacam perlawanan Anies Baswedan.
Bertempat di Kantor Wali Kota Jakarta Selatan, hari ini, 27 Maret 2018, Anies Baswedan mengeluarkan beberapa pernyataan yang memperlihatkan "penolakannya" terhadap rekomendasi Ombudsman. Menurut Anies, (1) Ombudsman yang mengeluarkan rekomendasi itu bukanlah Ombudsman RI; (2) siapa yang memiliki otoritas; dan (3) "Kita akan pelajari dan kita senang bahwa perwakilan Ombudsman akhirnya aktif, akhirnya terlibat, karena kita ingin juga Ombudsman itu menjadi perwakilan yang di Jakarta itu aktif terlibat".
Soal apakah penolakan Anies Baswedan ini tepat secara hukum atau tidak, biarkan pemikir dan ahli hukum tata negada yang mengulasnya. Saya tertarik untuk mengulasnya berdasarkan hukum-hukum berpikir.
Bisa benar bisa salah
Terhadap pernyataan nomor 1 dan nomor 2 di atas, harus dikatakan bahwa Anies Baswedan menegasikan otoritas Ombudsman Jakarta yang disebutnya sebagai "perwakilan". Menolak atau menegasikan otoritas Ombudsman perwakilan ini logis saja berdasarkan hukum berpikir.
Prinsip logikanya, jika otoritas Ombudsman RI tidak dialihkan (sebagiannya) kepada Ombudsman perwakilan (daerah), maka Ombudsman perwakilan tidak memiliki otoritas. Benar tidaknya pernyataan Anies Baswedan (secara objektif/faktual) memang harus dicek, misalnya dengan merujuk kepada ketentuan pelimpahan kekuasaan Ombudsman RI ke Ombudsman Perwakilan sebagaimana diatur dalam UU.
Anggap saja bahwa klaim Anies Baswedan itu benar, bahwa Ombudsman RI tidak melimpahkan sebagian kewenangan kepada Ombudsman Perwakilan (dan karena itu Ombudsman perwakilan tidak memiliki otoritas), pernyataan semacam ini menyesatkan secara logis. Koq bisa? Ya, karena Anies Baswedan tampaknya tidak menolak eksistensi Ombudsman Perwakilan. Dan ini tampak dalam pernyataan di nomor 3 di atas, bahwa dia akan memelajari lebih lanjut rekomendasi itu, dan bahwa dia senang Ombudsman Perwakilan mulai aktif bekerja. Jadi, sekali lagi, Anies Baswedan tidak menolak eksistensi Ombudsman perwakilan.Â
Jika Anda tidak menolak, mengapa Anda menegasikan otoritas yang dimiliki Ombudsman perwakilan? Anies Baswedan bisa balik berargumen, bahwa eksistensi Ombudsman perwakilan tidak ditolak. Yang ditolak hanyalah otoritasnya. Bagaimana mungkin sebuah Ombudsman perwakilan diadakan tanpa adanya pelimpahan kewenangan dan otoritas tertentu?
Jika kemudian ternyata hal itu tidak menjadi bagian dari pelimpahan wewenang dan otoritas tersebut, pernyataan Anies Baswedan dapat dibenarkan baik secara logis maupun secara legal. Meskipun demikian, pemilihan term "Ombudsman RI" dan "Ombudsman perwakilan" juga menyesatkan.
Harusnya Anies Baswedan menggunakan term "Ombudsman Pusat" dan "Ombudsman Perwakilan", supaya pembagian (klasifikasinya menjadi setara). Dalam hal pemilihan dan penggunaan term, Anies Baswedan membuat kekeliruan dalam cara mengklasifikasi.
Tidak fokus pada isu
Dalam logika, suatu pernyataan disebut sebagai "isu" jika pernyataan tersebut masih menjadi bahan perdebatan atau diskusi. Saya melihat bahwa pernyataan Anies Baswedan di nomor 3 di atas justru menunjukkan bahwa gubernur DKI ini tidak fokus pada isu.
Sikap mempertanyakan otoritas Ombudsman perwakilan seharusnya tidak melebar atau meluas ke semacam kritik atas ketidakaktifan Ombudsman perwilan selama ini. Masalahnya, aktif atau tidak aktifnya Ombudsman perwakilan tidak sedang menjadi bagian dari diskusi dan perdebatan. Dalam hal ini, Anies Baswedan tidak fokus pada isu yang sedang didiskusikan tetapi malah mengangkat isu lain yang mungkin saja bukan menjadi wewenangnya untuk menilai.
Kekeliruan semacam ini termasuk kesesatan berpikir yang dalam logika disebut dengan nama yang bervariasi. Ada yang menyebutnya sebagai "penghindaran isu" (avoiding the issue), ada juga yang menamakannya sebagai "penghindaran pertanyaan", "mengacaukan perhatian lawan bicara", "bentuk pengalihan perhatian", dan semacamnya.
Kesesatan berpikir ini dirumuskan dalam hukum berpikir berikut.
- "Si A membuat klaim X"
- "Si B membuat pernyataan yang tidak relevan"
- "Si A lalu lupa akan klaim X yang disampaikannya"
Dalam kasus pernyataan Anies -- kita senang bahwa perwakilan Ombudsman akhirnya aktif, akhirnya terlibat, karena kita ingin juga Ombudsman itu menjadi perwakilan yang di Jakarta itu aktif terlibat -- harus dikatakan sekali lagi bahwa pernyataan ini tidak relevan terhadap pernyataan Soni umarsono misalnya, yang mengklaim bahwa Ombudsman (perwakilan) memiliki otoritas terhadap pemerintah daerah.Â
Apakah Soni Sumarsono atau Menteri Dalam Negeri akan lupa pada klaim bahwa Ombudsman (perwakilan) memiliki otoritas? Kita harus mengikuti seperti apa pernyataan-pernyataan Dirjen Otda atau Menteri Dalam Negeri setelah ini. Jika mereka memfokus pada pernyataan ketiga dari Anies Baswedan ini, mereka justru masuk dalam perangkap kesesatan berpikir yang dibangun Gubernur DKI itu.