Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pembunuhan "Si Cantik" Siska, Narasi Vulgar Berita Kekerasan, dan Sikap Kita

27 Maret 2018   07:10 Diperbarui: 27 Maret 2018   12:55 2218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: grid.id

Berita kekerasan dan kejahatan itu masuk lagi ke telinga kita. Ia mengusik keheningan dan rasa aman kita. Itulah berita terbunuhnya seorang perempuan oleh sopir angkutan online. Diberitakan begitu gamblang sampai kita seakan mengikutinya detik per detik, dalam ketegangan yang mencekam.

Kita pun berucap dalam hati, "Entah berapa kali lagi berita pembunuhan itu dikabarkan kepada kita dan kita dibiarkan tinggal dalam ketakutan teramat sangat?"

"Haruskah kita belajar menerima semua kekerasan sebagai suatu kelaziman dan terpaksa tinggal bersama dan di sekitar kekerasan?"

Ini menjadi sebuah rintihan hati seorang anak yang saban hari merasa khawatir ketika ketika putrinya keluar rumah. Ini juga sebuah doa yang saban hari didaraskan seorang suami bagi istrinya yang berangkat kerja. Dan ketika mulut ini bergerak perlahan membisikan doa permohonan, untaian ini keluar dari lubuk hati seorang hamba:

"Tuhan, semoga Engkau memberkati dan melindungi kami hari ini. Biarkan Engkau menata setiap langkah hidup kami di jalanan, dan Engkau mengizinkan kami kembali pulang di rumah dengan selamat."

Narasi vulgar
Cobalah membaca berita yang paling akhir, yakni terbunuhnya Yun Siska Rochani oleh driver taksi online berinisial FH (28 tahun) dan FD (28 tahun). Sebelum mengeksplorasi aspek kekerasan, terutama bagaimana pelaku menghabisi korban, dengan alat apa, apa alasan atau motifnya, bagaimana keadaan tubuh korban, dan sebagainya, penulis berita biasanya mengeksplorasi hal-hal periferi dan subjektif untuk menarik minat pembaca.

Dalam kasus pembunuhan Siska, para penulis berita menarik perhatikan pembaca dengan menyatakan korban sebagai "cantik", atau dalam berita lainnya, korban bisa digambarkan sebagai "seksi", mengenakan busana tertentu, dan sebagainya.

Setelah itu, para pewarta berita mengeksplorasi kekerasan dengan memfokus pada bagaiman pelaku menjalankan aksinya. Dalam kasus pembunuhan Siska, pewarta berita memberi penekanan pada alat yang digunakan yang sebenarnya di luar bayangan pembaca, yakni tisu, cara menghabisi korban, yakni dengan mencekik leher korban dan menyumpalnya dengan tisu.

Lalu dari segi motif, itu dilakukan karena sopir meminta uang 20 juta rupiah. Karena sering kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan disertai pemerkosaan, pasti ada pembaca yang membaca sambal bertanya dalam hati, "Apakah Siska juga diperkosa atau tidak." Apalagi pikiran pembaca sudah ditanamkan dengan predikat cantik pada sosok korban.

Dan jika diperhatikan, cara penggambaran dan narasi yang mengandung kekerasan ini diduplikasi dan diedarkan secara luas sebegitu rupa sehingga masyarakat pembaca mendapatkan pemberitaan yang homogen. Aspek ketegangan yang diciptakan pun sama, sehingga pembaca seolah-olah mencapai puncak ketegangan pada tahap pemberitaan yang sama.

Dengan imajinasinya, pembaca bahkan bisa merasakan aksi kekerasan itu terjadi seperti di depan batang hidungnya sendiri. Dia bahkan bisa merasakan bau amis darah, teriakan minta tolong korban, kegeraman, rasa marah yang memuncak, rasa kasihan, dan seterusnya.

Manusia suka berita kekerasan
Pertanyaannya, mengapa sebagian besar manusia suka membaca berita kekerasan? BBC pernah menurunkan sebuah berita menarik di tahun 2014 yang mencoba menjelaskan mengapa manusia menyukai berita-berita sedih dan juga berita-berita kekerasan. Ada dua alasan yang ditemukan, yakni pertama berdasarkan penelitian eksperimental di McGill, manusia memang menyukai berita-berita negatif.

Dalam sebuah percobaan, para relawan diminta memilih dan membaca berita-berita politik. Ketika peneliti menanyakan isu politik apa yang mereka baca, jawaban umumnya adalah berita-berita politik mengenai korupsi, kebejatan moral pejabat publik, perselingkuhan para pejabat publik, dan sebagainya. Ini yang menjadi alasan mengapa manusia lebih tertarik membaca berita-berita negatif.

Kedua, dari perspektif psikologi, manusia yang lebih tertarik pada berita sedih, kekerasan, pembunuhan dan berita negatif lainnya dapat dijelaskan dengan merujuk pada apa yang disebut sebagai "bias negatif". Teori ini menegaskan bahwa dalam evolusinya, manusia memang memiliki reaksi yang cepat terhadap ancaman terhadap dirinya. Dan ini menjadi semacam mekanisme alamiah untuk menghindari ancaman dan bahaya terhadap dirinya.

Memang dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk bisa menjelaskan kematian Siska, apakah cukup memadai jika dijelaskan dengan merujuk pada dua kemungkinan di atas. Meskipun demikian, alasan bahwa manusia memang secara alamiah lebih tertarik pada berita negatif, kekerasan, dan kejahatan, itu dapat menjelaskan tidak hanya ketertarikan pembaca menyimak berita kematian Siska, tetapi juga berita-berita serupa lainnya.

Nah, yang lebih menakjubkan adalah bahwa reaksi cepat terhadap ancaman adalah bagian dari sifat alamiah manusia. Dalam konteks kematian Siska misalnya, dapat dipikirkan bahwa pelaku sedang membutuhkan uang. Pemenuhan akan kebutuhan ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup dan harga dirinya. Karena itu, cara yang paling tepat bagi dia untuk membebaskan diri dari ancaman tersebut adalah membunuh orang lain demi mendapatkan hartanya.

Harus dihindari
Meskipun demikian, saya termasuk orang yang membela posisi pentingnya kita menghindari membaca berita-berita buruk/negatif, yang mengandung kekerasan dan pornografi. Mengapa posisi semacam ini harus dikedepankan? Saya mengafirmasi posisi ini dengan rujukan kepada pendapat klasik yang mengatakan bahwa berita buruk dan kekerasan justru hanya akan menimbulkan negativitas dan kekerasan lainnya.

Manusia cenderung memiliki sikap meniru dan menduplikasi model, sehingga kekerasan dan berita negatif lainnya dapat digunakan sebagai contoh untuk melakukan tindakan kejahatan lainnya (lihat Joe Nicholas, Advanced Studies in Media: Communication and Production, Nelson Thornes, Cheltenham: 1999, hlm. 29).

Kita perlu mendidik diri dan anak-anak kita untuk membaca berita-berita yang lebih positif. (sumber: berdesa.com)
Kita perlu mendidik diri dan anak-anak kita untuk membaca berita-berita yang lebih positif. (sumber: berdesa.com)
Alasannya lainnya adalah tanggung jawab moral menyelamatkan generasi muda. Sebagai orang dewasa, kita memikul tanggung jawab yang tidak ringan dalam membentuk watak dan karakter anak-anak kita dan seluruh generasi muda. Kita ingin mereka memiliki gambaran yang lebih positif mengenai hidup, mengenai relasi dengan orang lain, mengenai pentingnya memiliki empati, soal bagaimana hidup bersama dan saling menolong, dan sebagainya.

Inilah cara kita manusia membebaskan diri dari dorongan alamiah membunuh dan membinasakan orang lain hanya karena tuntutan mempertahankan diri dan kepentingannya dalam logika evolusi. Hanya dengan cara inilah kita merealisasikan cita-cita kemanusiaan tertinggi untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih bermartabat dan berbudaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun