Berita kekerasan dan kejahatan itu masuk lagi ke telinga kita. Ia mengusik keheningan dan rasa aman kita. Itulah berita terbunuhnya seorang perempuan oleh sopir angkutan online. Diberitakan begitu gamblang sampai kita seakan mengikutinya detik per detik, dalam ketegangan yang mencekam.
Kita pun berucap dalam hati, "Entah berapa kali lagi berita pembunuhan itu dikabarkan kepada kita dan kita dibiarkan tinggal dalam ketakutan teramat sangat?"
"Haruskah kita belajar menerima semua kekerasan sebagai suatu kelaziman dan terpaksa tinggal bersama dan di sekitar kekerasan?"
Ini menjadi sebuah rintihan hati seorang anak yang saban hari merasa khawatir ketika ketika putrinya keluar rumah. Ini juga sebuah doa yang saban hari didaraskan seorang suami bagi istrinya yang berangkat kerja. Dan ketika mulut ini bergerak perlahan membisikan doa permohonan, untaian ini keluar dari lubuk hati seorang hamba:
"Tuhan, semoga Engkau memberkati dan melindungi kami hari ini. Biarkan Engkau menata setiap langkah hidup kami di jalanan, dan Engkau mengizinkan kami kembali pulang di rumah dengan selamat."
Narasi vulgar
Cobalah membaca berita yang paling akhir, yakni terbunuhnya Yun Siska Rochani oleh driver taksi online berinisial FH (28 tahun) dan FD (28 tahun). Sebelum mengeksplorasi aspek kekerasan, terutama bagaimana pelaku menghabisi korban, dengan alat apa, apa alasan atau motifnya, bagaimana keadaan tubuh korban, dan sebagainya, penulis berita biasanya mengeksplorasi hal-hal periferi dan subjektif untuk menarik minat pembaca.
Dalam kasus pembunuhan Siska, para penulis berita menarik perhatikan pembaca dengan menyatakan korban sebagai "cantik", atau dalam berita lainnya, korban bisa digambarkan sebagai "seksi", mengenakan busana tertentu, dan sebagainya.
Setelah itu, para pewarta berita mengeksplorasi kekerasan dengan memfokus pada bagaiman pelaku menjalankan aksinya. Dalam kasus pembunuhan Siska, pewarta berita memberi penekanan pada alat yang digunakan yang sebenarnya di luar bayangan pembaca, yakni tisu, cara menghabisi korban, yakni dengan mencekik leher korban dan menyumpalnya dengan tisu.
Lalu dari segi motif, itu dilakukan karena sopir meminta uang 20 juta rupiah. Karena sering kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan disertai pemerkosaan, pasti ada pembaca yang membaca sambal bertanya dalam hati, "Apakah Siska juga diperkosa atau tidak." Apalagi pikiran pembaca sudah ditanamkan dengan predikat cantik pada sosok korban.
Dan jika diperhatikan, cara penggambaran dan narasi yang mengandung kekerasan ini diduplikasi dan diedarkan secara luas sebegitu rupa sehingga masyarakat pembaca mendapatkan pemberitaan yang homogen. Aspek ketegangan yang diciptakan pun sama, sehingga pembaca seolah-olah mencapai puncak ketegangan pada tahap pemberitaan yang sama.
Dengan imajinasinya, pembaca bahkan bisa merasakan aksi kekerasan itu terjadi seperti di depan batang hidungnya sendiri. Dia bahkan bisa merasakan bau amis darah, teriakan minta tolong korban, kegeraman, rasa marah yang memuncak, rasa kasihan, dan seterusnya.