Â
Apakah negara dapat menjaga moralitas warganya? Jika ya, seperti apa perwujudannya? Atau, negara dillarang sama sekali menjadi penjaga moral warganya?
Semula saya berpikir bahwa pertanyaan ini hanya relevan dalam diskursus akademik, taruhlah dalam sebuah kuliah filsafat politik yang para pesertanya siap mengemukakan dan membela argumennya dengan kajian dari berbagai aspek. Tetapi dugaanku itu ternyata keliru. Hari ini, dalam kuliah Kewarganegaraan, ketika kami mendiskusikan topik "negara dan konstitusi", persoalan ini mengemuka tanpa aku sadari. Adalah kelompok dua yang saya minta mempresentasikan pemikiran mereka mengenai topik ini, dan dalam mempersiapkan presentasi mereka, saya meminta mereka mengikuti beberapa pertanyaan panduan yang saya berikan.
Saya meminta kelompok ini menjawab pertanyaan (1) mengapa dibutuhkan sebuah konstitusi dalam kehidupan bernegara, (2) apa saja tugas negara, dan (3) dalam "pengamatan" kelompok, apakah tugas-tugas negara itu sudah direalisasikan oleh pemerintah Indonesia?
Kelompok akhirnya mempresentasikan hasil studi mereka. Nah, ketika berbicara mengenai tugas negara itulah kelompok kemudian menekankan dua hal. Pertama, kelompok mengatakan bahwa negara mengatur kehidupan akhlak (kesusilaan) warga. Kedua, negara menciptakan fasilitas publik yang dapat digunakan dalam merealisasikan kesejahteraan.
Poin kedua tampaknya tidak bermasalah, karena kelompok juga menjelaskannya dengan cukup baik. Kelompok bahkan mengatakan -- dan ini benar -- bahwa tugas negara adalah menyediakan fasilitas publik yang dapat digunakan dalam merealisasikan kesejahteraan. Dalam kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti inilah yang terjadi.Â
Bahwa negara membangun infrastruktur, negara menciptakan iklim bisnis yang kondusif, negara mengatur pajak yang ramah pada bisnis, negara mengatur ekspor impor, dan sebagainya. Dan bahwa semua warga masyarakat dapat mengakses fasilitas public ini secara setara. Demikian pula hanyanya penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat, dan sebagainya.
Poin pertama itu yang tampaknya bermasalah, dan saya langsung berpikir bahwa pasti itu akan ditanyakan oleh teman-teman mereka. Dan betul saja. Begitu selesai presentasi, langsung ada mahasiswa lain yang mengangkat tangan dan bertanya. Dan pertanyaannya memang sederhana tetapi langsung mengenai ke sasaran. "Apakah memang negara mengatur akhlak dan moralitas warganya?" "Jika memang begitu, dalam arti apa?"
Sebenarnya menarik mengamati jawaban kelompok yang presentasi. Mereka memang harus mempertahankan pendapat dengan argument yang meyakinkan. Menurut kelompok yang presentasi, negara memang harus mengatur akhlak dan kesusilaan warga karena dengan mengatur hal ini, masyarakat menjadi sejahtera. Tampaknya menurut mereka, kesejahteraan itu berarti warga negara hidup dalam standar moralitas tertentu sebagaimana ditetapkan negara. Dan karena itu, negara memiliki kewenangan untuk mengatur kesusilaan dan moral warganya.
Apakah jawaban semacam ini cukup meyakinkan? Mahasiswa yang mengajukan pertanyaan sebenarnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup luas, karena itu dia tidak bertanya atau mengajukan keberatan lebih lanjut.Â
Dan itu sudah bisa diduga. Padahal itulah titik krusialnya, dan karena itu, saya merasa perlu untuk mendiskusikan hal ini secara agak serius. Kepentingan saya adalah saya ingin agar mahasiswa saya memiliki cara berargumentasi yang lebih akademis, argument yang didukung oleh perspektif teoretis tertentu, atau paling tidak, mereka tidak sekadar mengulang jawaban yang diberikan oleh ustad, pastor, pendeta, atau biksu tentang pentingnya negara mengatur moralitas warganya.
Pentingnya Argumen yang Lebih Berbobot
Saya kemudian kembali mengajukan pertanyaan di atas, "Jika negara memiliki kewenangan mengatur akhlak dan moralitas wagranya, dalam arti apakah itu?" "Dalam konteks Indonesia, apa dasarnya kita menyerahkan wewenang itu kepada negara?" "Apakah bertolak dari Pancasila dan UUD 1945, kita dapat menjustifikasi kewenangan negara semacam ini?
Begitu pertanyaan ini saya ajukan, seperti bisa diduga, kelas menjadi diam, senyap, tak ada suara yang keluar. Tidak ada orang yang bahkan berani menengok ke saya. Karena ini adalah masalah yang tampaknya sepeleh tetapi substansial untuk didiskusikan, saya memilih untuk memberikan uraian yang sedikit lebih filosofis.
Posisi saya: negara dapat diberi wewenang untuk mengatur akhlak dan moralitas warganya tetapi secara terbatas. Bagaimana saya menjelaskan posisi akademis saya?
Pertama, negara tidak bisa setuju sepenuhnya pada posisi kaum utilitaris yang mengatakan bahwa negara tidak memiliki wewenang sama sekali dalam mengatur akhlak warganya, terutama jika akhlak itu terjadi di ruang privat dan tidak merugikan orang lain. Dalam logika utilitaristik semacam ini, bahkan ketika orang berselingkuh dan melakukannya itu di ruang privat alias tidak diketahui orang, maka itu sah saja dilakukan.Â
Bagi mereka, sejauh suatu perbuatan, termasuk tindakan asusila, tidak membawa keburukan bagi sebagian terbesar orang, maka tindakan itu tidak dapat dipersalahkan.
Meskipun pasal ini sangat minimal dan cenderung merendahkan perempuan, dibandingkan dengan kaum utilitaris atau kaum liberalis, pasal ini justru dimaksud untuk mendisiplinkan warga negara dalam konteks moralitas. Bahwa hubungan seksual hanya bisa dilakukan dalam konteks keluarga (suami-istri yang terikat perkawinan, dan bahwa sejauh tidak diizinkan, maka seorang laki-laki tidak diperkenankan memiliki istri lebih dari satu. UU Perkawinan itu dibuat oleh negara sebagai realisasi dari wewenang negara dalam mengatur akhlak dan kesusilaan warganya.
Kedua, dalam konteks etika politik, dikatakan bahwa hukum yang baik seharusnya merupakan ekspresi dari moralitas masyarakat. Dalam arti itu, kita sepakat bahwa setiap produk hukum mengandung nilai-nilai moral di dalamnya. Meskipun demikian, harus ditambahkan segera, bahwa nilai-nilai moral yang terkandung di dalam hukum seharusnya merupakan nilai-nilai moral universal yang menjunjung tinggi martabat manusia. Itu berarti, negara dapat menetapkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur moralitas masyarakat dengan catatan bahwa pengaturan itu justru semakin membuat manusia lebih beradab dan terhormati martabatnya sebagai manusia.
Ketiga, meskipun demikian, mari kita berhati-hati untuk mereduksikan kesusilaan kepada hanya persoalan hubungan seksual. Akhlak harus dilihat dalam arti yang lebih luas sebagai pengaturan oleh negara demi membangun kehidupan bersama yang lebih berbudaya. Dalam arti itu, melarang warga negara hidup tanpa ikatan perkawinan, tidak mengizinkan pasanan sesama jenis menikah dan memperoleh hak-haknya sebagai suami-istri, melarang perkawinan anak di bawah usia 18 tahun, dan semacamnya, harus dipahami dalam konteks pembudayaan warga semacam ini. Di sinilah peran lembaga agama dan berbagai kelompok yang mempromosikan kehidupan akhlak yang baik dapat diberi penghargaan.
Kembali ke pertanyaan saya di atas, "Apakah negara berwenang mengatur akhlak dan moralitas warganya?" Mengikuti uraian saya, harus dikatakan -- sekali lagi -- bahwa negara berwenang mengaturnya, tetapi wewenang itu bukan tak terbatas. Wewenangnya dijustifikasi sejauh itu adalah upaya membentuk kehidupan bersama yang lebih beradab dan berbudaya.
Entah apa yang saya uraikan di sini benar atau salah, sebenarnya itu bukan fokus utama saya. Hal yang ingin saya tekankan di kelas hari ini adalah bahwa mahasiswa saya memiliki cara berpikir tertentu yang berbeda dari cara berpikir kebanyakan orang, cara berpikir yang lebih argumentative dan akademis. Bahwa kemudian mereka harus merujuk ke pasal dan ayat tertentu dalam UUD 1945, itu bagian dari cara berargumentasi.
 Demikianlah beberapa catatan yang sekilas muncul dalam pikiran saya. Jika Pembaca memiliki perspektif yang berbeda, silakan itu dikemukakan dalam kolom komentar di bawah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H