Pentingnya Argumen yang Lebih Berbobot
Saya kemudian kembali mengajukan pertanyaan di atas, "Jika negara memiliki kewenangan mengatur akhlak dan moralitas wagranya, dalam arti apakah itu?" "Dalam konteks Indonesia, apa dasarnya kita menyerahkan wewenang itu kepada negara?" "Apakah bertolak dari Pancasila dan UUD 1945, kita dapat menjustifikasi kewenangan negara semacam ini?
Begitu pertanyaan ini saya ajukan, seperti bisa diduga, kelas menjadi diam, senyap, tak ada suara yang keluar. Tidak ada orang yang bahkan berani menengok ke saya. Karena ini adalah masalah yang tampaknya sepeleh tetapi substansial untuk didiskusikan, saya memilih untuk memberikan uraian yang sedikit lebih filosofis.
Posisi saya: negara dapat diberi wewenang untuk mengatur akhlak dan moralitas warganya tetapi secara terbatas. Bagaimana saya menjelaskan posisi akademis saya?
Pertama, negara tidak bisa setuju sepenuhnya pada posisi kaum utilitaris yang mengatakan bahwa negara tidak memiliki wewenang sama sekali dalam mengatur akhlak warganya, terutama jika akhlak itu terjadi di ruang privat dan tidak merugikan orang lain. Dalam logika utilitaristik semacam ini, bahkan ketika orang berselingkuh dan melakukannya itu di ruang privat alias tidak diketahui orang, maka itu sah saja dilakukan.Â
Bagi mereka, sejauh suatu perbuatan, termasuk tindakan asusila, tidak membawa keburukan bagi sebagian terbesar orang, maka tindakan itu tidak dapat dipersalahkan.
Meskipun pasal ini sangat minimal dan cenderung merendahkan perempuan, dibandingkan dengan kaum utilitaris atau kaum liberalis, pasal ini justru dimaksud untuk mendisiplinkan warga negara dalam konteks moralitas. Bahwa hubungan seksual hanya bisa dilakukan dalam konteks keluarga (suami-istri yang terikat perkawinan, dan bahwa sejauh tidak diizinkan, maka seorang laki-laki tidak diperkenankan memiliki istri lebih dari satu. UU Perkawinan itu dibuat oleh negara sebagai realisasi dari wewenang negara dalam mengatur akhlak dan kesusilaan warganya.
Kedua, dalam konteks etika politik, dikatakan bahwa hukum yang baik seharusnya merupakan ekspresi dari moralitas masyarakat. Dalam arti itu, kita sepakat bahwa setiap produk hukum mengandung nilai-nilai moral di dalamnya. Meskipun demikian, harus ditambahkan segera, bahwa nilai-nilai moral yang terkandung di dalam hukum seharusnya merupakan nilai-nilai moral universal yang menjunjung tinggi martabat manusia. Itu berarti, negara dapat menetapkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur moralitas masyarakat dengan catatan bahwa pengaturan itu justru semakin membuat manusia lebih beradab dan terhormati martabatnya sebagai manusia.
Ketiga, meskipun demikian, mari kita berhati-hati untuk mereduksikan kesusilaan kepada hanya persoalan hubungan seksual. Akhlak harus dilihat dalam arti yang lebih luas sebagai pengaturan oleh negara demi membangun kehidupan bersama yang lebih berbudaya. Dalam arti itu, melarang warga negara hidup tanpa ikatan perkawinan, tidak mengizinkan pasanan sesama jenis menikah dan memperoleh hak-haknya sebagai suami-istri, melarang perkawinan anak di bawah usia 18 tahun, dan semacamnya, harus dipahami dalam konteks pembudayaan warga semacam ini. Di sinilah peran lembaga agama dan berbagai kelompok yang mempromosikan kehidupan akhlak yang baik dapat diberi penghargaan.
Kembali ke pertanyaan saya di atas, "Apakah negara berwenang mengatur akhlak dan moralitas warganya?" Mengikuti uraian saya, harus dikatakan -- sekali lagi -- bahwa negara berwenang mengaturnya, tetapi wewenang itu bukan tak terbatas. Wewenangnya dijustifikasi sejauh itu adalah upaya membentuk kehidupan bersama yang lebih beradab dan berbudaya.