Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ucapan "Terima Kasih" yang Membekas

16 Maret 2018   07:07 Diperbarui: 16 Maret 2018   13:19 3205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpustakaan utama di tempat saya bekerja. Sumber: https://twitter.com/atmalib

Adalah Genoveva (bukan nama sebenarnya) yang memicu refleksi ini. Perempuan muda ini bekerja di perpustakaan kampusku. Bagiku Genoveva sangat berjasa, tidak hanya dalam pelayanan pinjam-meminjam buku, tetapi juga dalam pengadaan buku dan jurnal baru. Saya yakin para dosen dan mahasiswa senang bukan hanya ketika dilayani dengan baik dan ramah, tetapi juga ketika bahan/materi yang mereka cari dapat dengan mudah ditemukan di perpustakaan ini. Hampir sepuluh ribu mahasiswa menggunakan perpustakaan ini, baik online maupun offline. Belum terhitung hampir 500 dosen tetap dan ratusan dosen tidak tetap.

Salah satu "tugas" Genoveva adalah mengumumkan kepada seluruh dosen soal buku baru apa saja yang baru tiba di perpustakaan. Dia mengumumkannya di email para dosen (allstaff). Kadang dua kali dalam sebulan, kadang hanya satu kali. Saya tidak tahu dosen-dosen lain, tetapi yang saya lakukan adalah segera mengecek buku-buku apa saja yang baru masuk ke perpustakaan, di mana buku-buku tersebut diletakkan --apakah di perpustakaan induk atau di fakultas-- lalu apa saja judul buku-buku tersebut dan jika ada yang menarik, saya bisa memesannya atau datang langsung dan meminjamnya. Beruntung bagi dosen bahwa masa peminjaman buku bisa sampai satu semester.

Dan seperti biasa, siang itu saya membaca pengumuman buku baru itu. Entah mengapa, saya lalu mengirimkan sebuah pesan singkat ke Genoveva via inbox (email japri). Di situ saya mengucapkan "terima kasih" karena sudah memesankan buku-buku tersebut. Termasuk di dalamnya adalah buku-buku yang saya pesan. Tidak lama berselang, Genoveva membalas email saya, katanya, "Ya pak, sama-sama. Baru bapa yang ucapin terima kasih!"

Genoveva tidak mempersoalkan mengapa para dosen lain tidak mengucapkan terima kasih, dan mungkin itu jauh dari pikirannya. Dia pasti berpikir bahwa itu tidak perlu juga, karena tugasnya memang seperti itu. Tetapi mengapa kata-kata Genoveva itu begitu membekas di hati saya? Mengapa saya justru terhantui dan memikirkan lebih jauh lagi soal itu? Bahkan ketika dalam perjalanan pulang di Busway pun kata-kata Genoveva masih terngiang di telinga saya: "Baru bapa yang ucapin terima kasih!"

Perpustakaan utama di tempat saya bekerja. Sumber: https://twitter.com/atmalib
Perpustakaan utama di tempat saya bekerja. Sumber: https://twitter.com/atmalib
Perkataan Genoveva ini, bagi saya, menegaskan dua hal sekaligus.

Pertama, relasi antarmanusia dalam institusi seperti Universitas dengan ribuan mahasiswa memang sangat dibantu oleh teknologi. Pelayanan di perpustakaan sangat baik berkat aplikasi tekonologi tertentu. Tetapi teknologi itu sendiri sangat mudah mengalienasikan orang alias membuat orang semakin jauh satu sama lain. Tidak ada lagi basa-basi dan canda tawa. Teknologi telah menggantikan hubungan keramahan dan ekspresi senyuman manusiawi dengan logika kecepatan dan efisiensi.

Dengan "alienasi" saya maksudkan sebagai pengalaman subjek merasa aneh dan terasing dengan diri sendiri. Ini konsep Marxis untuk menggambarkan orang yang terasing dari lingkungan sosialnya karena hidup dalam masyarakat yang terstratifikasi secara sosial, dan ketika orang itu hanya menjalankan perannya secara mekanistik dalam masyarakat semacam itu.

Kedua, ucapan "terima kasih" tampaknya dapat mengambil jarak terhadap relasi yang terlalu mengandalkan teknologi komunikasi. Dengan mengatakan terima kasih, orang yang semula merasa melakukan pekerjaan karena tugas dan tanggung jawab, tiba-tiba merasa dihargai. Dia merasa disapa dan diposisikan sebagai manusia. Dengan begitu, dia sebetulnya sedang disadarkan bahwa yang sedang dilayaninya bukanlah kumpulan benda-benda, tetapi manusia yang sama seperti dirinya, yang tahu menghargai dan tahu memberi hormat.

Tiga alasan
Sudah lama sekali saya menulis hal yang sama, dan waktu itu saya mengalami hal yang mirip. Bahwa ternyata semakin sedikit mahasiswa yang mengucapkan kata "terima kasih" kepada dosennya, entah setelah kuliah, entah setelah dosen mengembalikan kertas ulangan, paper, atau setelah ujian semester. Saya tidak mengulang apa yang sudah saya katakan enam tahun lalu itu. Ketika saya merefleksikan kata-kata Genoveva, tiga hal berikut muncul dalam pikiran saya tentang pentingnya mengucapkan "terima kasih".

Pertama, mengucapkan terima kasih ternyata mampu memperbaiki dan memperat persahabatan. Ada nasihat lama mengatakan bahwa kita harus selalu mengucapkan terima kasih dalam segala hal karena itulah yang dikehendaki Tuhan. Orang psikologi pun mengajarkan hal yang kurang lebih sama. Dikatakan bahwa kata "terima kasih" yang tampaknya begitu sederhana ternyata mampu memperbaiki dan mempererat persahabatan. 

Dia menambahkan nilai kedekatan pada orang yang dengannya kita berelasi. Ucapan terima kasih membuat orang yang menerimanya merasa dihargai, dan itu memanusiakan dia. Dia merasa seperti diposisikan sejajar dengan kita, dan karena itu dapat menumbuhkan rasa percaya dan penyerahan diri. Kata terima kasih rupanya mampu menembus sampai ke kedalaman hati dan jiwa manusia. Dia membuka selubung pemisah antarmanusia.

Mengucapkan terima kasih itu ternyata mampu mempererat persahabatan. Sumber: https://www.thoughtco.com
Mengucapkan terima kasih itu ternyata mampu mempererat persahabatan. Sumber: https://www.thoughtco.com
Kedua, kata terima kasih ternyata mampu menumbuhkan rasa sukacita dan kegembiraan. Kegembiraan, menurut saya, bermakna lebih sempit. Orang yang menerima hadiah baru bisa saja bergembira. Tetapi orang yang sedang dalam kesusahan sudah hampir pasti tidak merasa gembira. Tetapi tidak demikian dengan sukacita. 

Orang yang menerima hadiah atau mendapat kenaikan gaji pasti bergembira tetapi belum tentu bersukacita. Sebaliknya, orang yang sedang dalam kesusahan, bisa saja bersukacita. Jika kegembiraan menyentuh aspek eksternal manusia, sukacita lebih merupakan rasa gembira dalam hati. Ada energi positif yang mengalir dari dalam hati, yang mendorong seseorang untuk bersukacita.

Mengucapkan "terima kasih" tidak hanya membuat orang bergembira, tetapi sekaligus menjadikannya bersukacita. Dia mengalami kegembiraan dalam batin. Dalam pengalaman religius, sukacita itu dialami karena perjumpaannya dengan suatu kebaikan, dan Tuhan menggunakan kita yang mengucapkan terima kasih itu sebagai sarana untuk menyampaikan kebaikan tersebut. Dengan begitu, ucapan terima kasih kita menyentuh jiwa, mengubahnya menjadi sukacita dan memungkinkan seseorang mengalami kehadiran Tuhan, atau sekurang-kurangnya mengalami kehadiran suatu kebaikan yang lebih besar.

Ketiga, dengan begitu, mengucapkan terima kasih sekaligus berarti membuka hati dan kebaikan Tuhan kepada orang lain. Agama mengajarkan supaya kita mencintai diri, sesama, dan Tuhan dengan sepenuhhati dan bukan setengah hati. Sapaan terima kasih yang membekas dan menyentuh hati mendorong seseorang membuka dirinya kepada Tuhan. Orang itu dimampukan untuk mengalami kebaikan Tuhan melalui kita (yang mengucapkan terima kasih).

Genoveva tidak menyadari bahwa apa yang dikatakannya telah memicu refleksi sejauh ini. Meskipun sederhana, ini sebuah perkara serius. Kita membangun komunikasi dan relasi dengan sesama, menurut saya, harus bisa menyentuh aspek emosional. Mengapresiasi orang lain dalam hal yang kecil sekalipun, termasuk di dalamnya adalah mengucapkan terima kasih selepas office boy mengantarkan teh hangat di ruang kerja, seusai cleaning service mengepel ruang kerja, setelah petugas mengantarkan surat, dan seterusnya, itu akan menjadi praktik yang membekas.

Dia akan menyentuh hati, membukanya kepada penghargaan dan kasih. Dan lebih tinggi lagi adalah menyingkapkan kasih dan kebaikan Tuhan kepada manusia.

Jadi, jangan pernah abai mengucapkan "terima kasih".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun