Bahwa orang Jawa itu memahami orang lain sebagai sesama dalam arti "seperti dirinya". Itulah sebabnya mengapa orang Jawa gemar berbuat baik, membangun kehidupan bersama yang harmonis, tidak mengungkit-ungkit kesalahan yang orang lain telah lakukan kepada dirinya, mengingat dan meminta maaf kepada orang lain karena sikap dan tindakannya yang salah dan melukai, dan sebagainya.
Relevansi bagi ke-Indonesia-an kita
Lalu, apa relevansinya dengan mata kuliah Kewarganegaraan yang siang ini saya diskusikan di kelas? Tulisan ini baru mendalami komentar atau keberatan Armada atas penggunaan kata "sesama" dan paralelisme kata "sesama" dengan kata "liyan". Masih ada beberapa jawaban mahasiswa yang bisa diulas di kesempatan lain.
Soal relevansi uraian saya ini dengan kuliah Kewarganegaraan, saya mengatakannya demikian. Pertama, soal legal dan hukum dalam materi Kewarganegaraan (definisi kewarganegaraan, beda penduduk dan kewarganegaraan, syarat-syarat menjadi WNI, serta hak dan kewajiban WNI dalam konteks Pancasila dan UUD 1945) adalah materi yang penting. Mahasiswa harus menguasai hal-hal ini.
Kedua, bagi saya, masalah yang lebih mendalam dan yang menjadi krisis kebangsaan kita saat ini adalah hilangnya semangat persaudaraan, lenyapnya rasa bahwa orang lain itu tidak sekadar kelompok sosial yang kebetulan sebangsa dan senegara dengan kita. Lebih dari sekadar sebagai WNI, mereka adalah "liyan" kita. Karena "liyan" kita adopsi dari kata Bahasa Jawa, maka sebaiknya kita memahami makna kata itu secara mendalam dalam konteks budayanya.
Ketiga, kebajikan-kebajikan sosial yang terkait dengan kata "liyan" dalam kultur Jawa seharusnya menjadi kebajikan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikianlah, dalam hidup sebagai sesama anak bangsa, orang lain adalah "liyan".Â
Bersama-sama kita membangun sebuah masyarakat Indonesia yang harmonis dan guyub, masyarakat yang tidak bengis dan tidak pendendam, masyarakat yang tidak menimbun rasa benci dalam dirinya karena kesalahan orang lain, tetapi masyarakat yang mengambil langkah pertama meminta maaf jika dia melakukan kesalahan. Itulah makna sesungguhnya dari "sesama" dalam arti "liyan", dan benarlah Goenawan Muhamad, bahwa hidup dengan orang lain atau "liyan" itu mestinya membangkitkan rasa empati.
Dan ketika mahasiswa di kelas saya siang itu tidak terlalu mengerti uraian-uraian ini, saya hanya berharap bahwa akan datang waktunya di mana mereka bisa mengerti semuanya. Fakta bahwa siang mereka antusias dan memperhatikanku dengan mata berkaca-kaca, itu sudah menjadi pertanda bahwa mereka telah mendengar dan memahami sesuatu secara berbeda. Setidaknya, mendengar refleksi filosofis yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya.[]