Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Lain, Sesama, Liyan dan Keindonesiaan Kita

4 Maret 2018   22:30 Diperbarui: 5 Maret 2018   13:19 3640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi bps.org.uk

Saya katakan terus terang kepada mahasiswa bahwa ternyata "liyan" belum masuk dalam KBBI. Menariknya, kata ini sudah ada dan dikenal dalam Bahasa Banten. Dalam bahasa ini, kata "liyan" diterjemahkan sebagai "lain". Orang Banten juga menggunakan kata "liyane" untuk menyebut "orang lain" dan "seliyane" untuk menyebut "salainnya". Sementara itu, kata "liyan" digunakan dalam Bahasa Jawa untuk menyebut "lain" atau "orang lain".

Bagaimana kita bisa menangkap makna kata "liyan" secara baik? Salah satu caranya adalah dengan memahami penggunaannya sehari-hari dalam masyarakat pemakai kata atau bahasa tersebut. Demikianlah, untuk menangkap rasa penggunaan kata ini dalam kehidupan orang Jawa, coba kita simak dalam petuah Bahasa Jawa berikut: Sing Sopo Lali Marang Kebecikaning Liyan, Iku Koyo Kewan (siapa yang melupakan kebaikan orang lain, itu seperti binatang).

Perhatikan bahwa "liyan" di sini diartikan sebagai "orang lain" (the other). Ini mengungkapkan kedalaman nilai hidup orang Jawa yang suka mempraktikkan kebaikan kepada orang lain (orang di kiri dan kanan), meskipun dalam skala yang sangat kecil. Orang Jawa dikenal sebagai suku bangsa yang suka menyenangkan orang lain dan tidak sanggup melukai perasaan orang lain. Dalam hidup bertetangga, orang Jawa suka memberi hantaran pada tetangga kanan dan kiri.

Kedalaman makna kata "liyan" juga tampak dalam petuah Jawa lainnya: yen siro dibeciki liyan tulisen ing watu, yen sira gawe kebecikan tulisen ing lemah".

Yang artinya "jika Anda diberi kebaikan oleh orang lain, tulislah pada batu. Tetapi jika Anda berbuat baik, tulislah pada tanah".

Petuah ini mengajarkan kepada orang Jawa untuk tidak menghitung atau mengalkulasi kebaikan yang dilakukannya kepada orang lain. Sebaliknya, dia harus menghitung kebaikan yang dilakukan orang lain kepada dirinya. Dan ini mengajarkan orang Jawa untuk senantiasa memiliki rasa balas buli dan membalas kebaikan orang lain. 

Mengapa orang Jawa tidak boleh menghitung atau mengalkulasi kebaikan yang sudah dia lakukan kepada orang lain? Alasannya, hal ini akan menggerus atau mengikis rasa ikhlas dalam dirinya. Bagi orang Jawa, memberi bantuan atau melakukan suatu kebaikan selalu dalam semangat ikhlas dan tanpa pamrih.

Pertemuan warga dalam upacara adat atau keagamaan seharusnya dimaknakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan liyan dan membina keharmonisan (www.harianmerapi.com)
Pertemuan warga dalam upacara adat atau keagamaan seharusnya dimaknakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan liyan dan membina keharmonisan (www.harianmerapi.com)
Sebaliknya, orang Jawa juga diingatkan untuk tidak mengingat-ingat kesalahan yang telah dilakukan orang lain kepada dirinya. Sementara dia sendiri memang harus (diwajibkan) mengingat-ingat kesalahan yang sudah dia lakukan dan yang sudah melukai orang lain. 

Bagi orang Jawa, mengingat-ingat kesalahan orang lain hanya akan membuat hidupnya penuh dendam, dan dendam akan mengarah kepada kejahatan, karena pikirannya diliputi perasaan membalas kesalahan yang telah dilakukan orang lain dengan suatu tindakan kekerasan. Itu tidak berarti bahwa yang telah diperbuat orang lain itu tidak boleh diingat. 

Kesalahan itu tetap diingat karena akan membentuk kewaspadaan dalam hidup orang Jawa. Tetapi kesalahan itu tidak boleh dan tidak perlu diungkit-ungkit karena akan mengganggu hubungan sosial dan merusak keharmonisan sosial. Orang Jawa senantiasa berpikiran positif mengenai orang lain karena menganggap bahwa kesalahan dan kejahatan yang dilakukan orang pada dirinya bisa saja merupakan kekhilafan. Dan bahwa semua manusia tidak pernah bisa kepas dari kekhilafan.

Tentang "liyan" dalam Bahasa Jawa, Goenawan Mohamad menulis dalam status Twitter (@gm_gm) tanggal 29 Juni 2010, pkl 18:45 demikian, "Dlm pengertian Jawa, "liyan" bukan saja berarti orang lain yg bukan saya (kami/kita), tapi juga orang lain yg kita bisa punya empati."

Apa yang dikatakan Goenawan Muhamad ini menegaskan kembali (atau malah mengekspresikan) falsafah hidup orang Jawa sebagaimana saya sitir di atas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun