Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Lain, Sesama, Liyan dan Keindonesiaan Kita

4 Maret 2018   22:30 Diperbarui: 5 Maret 2018   13:19 3640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi bps.org.uk

Kuliah di suatu siang di bilangan Jakarta Barat. Kelas tampak sesak dengan 60-an mahasiswa semester 4. Mereka siap kuliah Kewarganegaraan, sebuah mata kuliah yang belakangan kurang menarik minat mahasiswa. Alasannya bukan karena isi materi ini yang tidak menarik, tetapi dugaan saya, karena cara pengajaran Kewarganegaraan di SLTA yang doktrinatif. Ini tampak dari ekspresi para mahasiswa yang melihat kuliah Kewarganegaraan sebagai membosankan karena harus menghafal banyak teori, definisi, undang-undang dan ketentuan ketatanegaraan lainnya.

Dosen Kewarganegaraan umumnya mendapatkan dirinya berada dalam situasi seperti itu. Tetapi dia harus mengajar dan mahasiswa harus kuliah. Apalagi belakangan Kewarganegaraan --bersama Pancasila, Agama, dan Bahasa Indonesia-- adalah mata kuliah wajib. Dengan kata lain, suka atau tidak, mahasiswa wajib mengambil mata kuliah ini.

Dosen memang harus kreatif mencari cara agar mata kuliah yang dia asuh menjadi menarik, kalau pun kemudian tidak menarik untuk jangka waktu yang panjang, setidaknya menarik pada waktu diberikan. Beberapa cara yang saya tempuh adalah dengan mendiskusikan hal-hal yang tampaknya sepeleh secara agak serius dan filosofis. Dengan diskusi filosofis, saya maksudkan sebagai mendiskusikan suatu topik atau tema secara mendalam dan komprehensif --layaknya hakikat pendekatan filosofis-- untuk bisa menangkap makna tertentu dari hal-hal yang umumnya telah dianggap orang sebagai suatu kelaziman.

Demikianlah, siang itu (3/04/2018), saya harus membawakan dan mendiskusikan materi "Orang Lain sebagai Sesama". Pihak universitas mendesain kuliah ini sebagai materi yang terfokus pada persoalan kewarganegaraan (siapa warga negara Indonesia, syarat-syarat menjadi WNI, serta hak dan kewajiban WNI (civil-political, economic and social rights). Saya beranggapan bahwa materi-materi ini dapat dibaca sendiri oleh mahasiswa jika mereka harus diuji pemahaman konten atau isi. Jadi, saya memilih mendiskusikan hal-hal yang sifatnya sangat tidak elementer sekadar untuk mendidik mahasiswaku berpikir dengan cara yang lain.

Melakukan kebaikan kepada liyan tanpa pamrih adalah bagian dari menjaga keharmonisan hidup bersama sebagai bangsa (cblc32kel5.wordpress.com)
Melakukan kebaikan kepada liyan tanpa pamrih adalah bagian dari menjaga keharmonisan hidup bersama sebagai bangsa (cblc32kel5.wordpress.com)
Lalu, saya bertanya, "Kata lain dari sesama itu apa?"
Pertanyaan kedua berbunyi, "Mengapa orang lain kita sebut sebagai sesama?"

Cukup banyak mahasiswa yang mengatakan bahwa kata lain dari sesama itu "tetangga", "saudara", "orang yang dekat dengan kita". Dan ketika saya mengatakan bahwa sesama itu dalam Bahasa Inggris adalah the other, lalu saya bertanya kira-kira apa padanan kata itu dalam Bahasa Indonesia, umumnya mereka hanya mengulang jawaban-jawaban yang sudah dikemukakan.

Ketika saya bertanya, apakah ada yang sudah pernah mendengar kata "liyan", seluruh mahasiswa dalam kelasku itu belum pernah mendengar kata itu. Sedihnya lagi, ketika saya bertanya, apakah di handphone atau di gadget kalian lainnya ada yang sudah punya aplikasi (online atau offline) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mereka serentak menjawab: BELUM. 

Ya, mungkin seperti inilah mahasiswa zaman now.

Kedalaman makna "liyan"
Saya pun menegaskan bahwa kita bisa menggunakan kata "liyan" untuk menyebut kata sesama. Lalu saya bertanya, "Mengapa orang lain disebut sebagai 'sesama'?"

Ketika kelas tampak senyap, tiba-tiba Armada, seorang mahasiswa berbadan tambun, mengangkat tangan. Setelah saya memberikan dia kesempatan berbicara, Armada berkata, "Pak, selama ini saya terganggu dengan penggunaan kata 'sesama'. Jika setiap individu itu unik, mengapa orang lain kita sebut sebagai sesama?"

Keberatan Armada ini masuk akal. Dia tampaknya memberi tekanan pada makna leksikal kata "sesama" dengan memfokus pada kata "sama". Berangkat dari pemahaman seperti inilah Armada kemudian merasa aneh jika orang lain kita anggap sebagai orang yang "sama" dengan kita. 

Dan itu logis dalam arti masuk akal. Tetapi bukan itu yang ingin saya gali. Lagi pula, bukan itu arti sesungguhnya kata "sesama" dalam relasinya dengan kata "liyan" dan keseluruhan maknanya jika dikontekskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun