Itu berarti keadaan sakit justru menjadi elemen pemerkuat argumen, dan karena itu, keputusan untuk menunda sidang, misalnya, tidak bisa dilihat sebagai akibat atau konsekuensi dari argumen ad misericordiam yang dibangun pada penasihat hukum Setnov.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa argumentum ad misericordiam dapat dan hanya dapat disebut sebagai kesesatan berpikir jika rujukan kepada belas-kasihan atau upaya memainkan emosi pendengar bukanlah elemen utama dari argumen tersebut. Sebaliknya, argumentum ad misericordiam tidak bisa disebut sebagai sebuah kesesatan jika pembicara mengacu kepada suatu keadaan yang dapat membangkitkan emosi pendengar, dan keadaan tersebut memang benar-benar objektif dan memang menjadi elemen substansial dalam bangun argumen.
Menurut saya, "drama" pengadilan kasus e-KTP yang melibatkan Setya Novanto dan rujukan kepada keadaannya yang sakit tampak jelas sebagai upaya mengkapitalisasi dan mengaduk-aduk perasaan publik supaya bersimpati kepada Beliau. Itulah kesesatan ad misericordiam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H