Unsur rasa kasihan atau belas kasihan itu sendiri sebenarnya bukan hal yang relevan dalam argumen itu sendiri. Struktur informal dari jenis argumen ini dirumuskan seperti ini: Si Boy mengemukakan sebuah pernyataan X mengenai Y, bahwa Y pantas dikasihani karena suatu keadaan tertentu (Z) yang sedang menimpa dirinya. Padahal keadaan tertentu itu (Z) bukanlah elemen yang relevan bagi argumen atau pernyataan X.
Sebagai contoh: Aldira adalah seorang anggota DPR yang mengatakan bahwa tindakan Tinus dalam mengkorupsi uang negara seharusnya diampuni, karena Tinus sendiri adalah orang yang sangat berjasa bagi pembangunan masyarakat. Tinus sebenarnya juga adalah rekan politisi dan anggota dewan dari partai yang sama dengan Aldira. Contoh lainnya, masyarakat tertentu tidak boleh digusur, karena mereka miskin, meskipun mereka menduduki tanah negara dan menjadi penyebab menyempitnya sungai dan kali, yang pada akhirnya menjadi penyebab terjadinya banjir tahunan.
Drama Peradilan Setya Novanto
Apakah jenis kesesatan ad misericordiam dapat digunakan dalam menjelaskan drama peradilan Setya Novanto? Jawabannya adalah "ya" dan"tidak". Dalam konteks apa dapat dikatakan "ya" dan dalam konteks apa dikatakan "tidak"?
Tentang drama pengadilan Setya Novanto telah digambarkan secara cukup gamblang oleh media, dan demi argumen tulisan ini, saya mengacu kepada laporan Liza Egeham berjudul "Jurus Berkelit Setya Novanto Berakhir?" yang terbit di Liputan6.com. Di situ digambarkan bagaimana Setya Novanto memasuki ruang sidang dengan keadaan tubuh yang lemah (berjalan tidak tegak), kemudian duduk menunduk tak-berdaya, tidak menjawab pertanyaan majelis hakim, mengaku sakit diare sudah lilma hari dan buang air besar 20 kali sehari, serta tidak mendapat perawatan memadai oleh petugas rutan. Setya Novanto bahkan lupa identitas dirinya (seharusnya lahir di Bandung tetapi mengaku lahir di Jawa Timur.
Gestur atau bahasa tubuh Setya Novanto, baik dalam sidang perdana kasus korupsi E-KTP yang digelar hari ini (13 Desember 2017) maupun dalam banyak peristiwa sebelumnya menunjukkan bahwa dia patut dikasihani. Setya Novanto memosisikan diri sebagai orang yang lemah (secara fisik), tak-berdaya, kadang-kadang mulai hilang ingatan, bahkan beberapa kali memperlihatkan dirinya sedang sakit berat.
Keadaan yang kurang lebih sama juga dapat kita saksikan dalam drama persidangan perdana hari ini (13/12/2017). Setya Novanto, melalui kuasa hukumnya, memohon agar sidang ditunda karena dirinya sedang dalam keadaan sakit, atau sekurang-kurangnya diberi kesempatan untuk memeriksakan kesehatan kliennya ke dokter yang lain. Dan itu ditunjukkan dalam gestur tubuh yang meyakinkan: berjalan tertatih-tatih memasuki ruang sidang, duduk seperti orang yang tak berdaya, lesuh, pikiran melayang, bahkan tak sanggup (atau tidak mau??) menjawab satu kata pun pertanyaan hakim dan jaksa penuntut KPK.
Perhatikan bahwa kesesatan ad misericordiam ini semakin tampak benar -- sebagai strategi menunda sidang dengan mengeksploitasi keadaan kesehatan Setnov -- ketika penasihat hukum KPK membuktikan keadaan yang sebaliknya. Bahwa berdasarkan pemeriksaan para dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ditemukan bahwa Setya Novanto ternyata sedang dalam kondisi sehat.
Dalam konteks demikianlah strategi berperkara dan beragumen pada pembela Setnov dapat disebut sebagai kesesatan ad misericordiam. Di sini tampak jelas para penasihat hukum Setnov mengeksploitasi berbagai perasaan dan emosi publik, seperti rasa simpati, rasa cinta, belas kasihan, ikut berduka, dan berbela-rasa. Dalam arti ini pula argumentum ad misericordiam sebenarnya berkelindan dengan argumentum ad populum dalam arti bahwa perasaan-perasaan yang dieksploitasi itu akan sangat memengaruhi rasa belas-kasihan publik (populum) yang akhirnya menolerir dan membenarkan argumen belas-kasihan yang dikemukakan para penasihat Setnov. Drama ini akan menjadi lebih efektif jika publik memiliki sifat yang terlalu melankolis dan melodramatis. Sayangnya, masyarakat Indonesia sudah tidak mau lagi dikelabui oleh drama-drama yang mengeksploitasi perasaan, sehingga strategi semacam itu hanya akan merugikan Setya Novanto sendiri.
Pertanyaannya, bagaimana jadinya jika ternyata Setya Novanto benar-benar sedang dalam keadaan sakit dan itu dibuktikan secara "objektif" oleh tim dokter? Jika ini terjadi, argumen para penasihat hukum Setnov bahwa sidang kasus e-KTP yang melibatkan klien mereka harus dihentikan karena tersangka sedang sakit tidak bisa disebut sebagai kesesatan ad misericordiam. Berbeda dengan yang dikemukakan di atas -- keadaan sakit hanya sebagai modus untuk menarik rasa simpati dan belas-kasihan -- keadaan sakit "benaran" dari Setnov adalah bagian integral dan substansial dari argumen.Â