Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

5 Langkah Mengenal dan Menangani Isu

24 Oktober 2017   13:19 Diperbarui: 24 Oktober 2017   13:37 3388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi atau debat dapat membantu pengidentifikasian sebuah isu (fourletternerd.com)

Pembaca pasti tahu atau bahkan bisa membedakan isu dari sesuatu yang non-isu. Meskipun begitu, mungkin saja banyak dari kita yang masih mencampur-aduk antara hal-hal yang disebut isu dan non-isu. Mungkin juga ada yang mengkategorikan gosip atau pendapat subjetif tertentu sebagai isu. Jika misalnya Gubernur DKI, Anies Baswedan mengatakan bahwa dia tidak akan menjual saham milik Pemrov DKI di pabrik bir, kira-kira ini adalah sebuah isu atau bukan isu? Mengapa kita perlu membedakan isu dan non-isu?

Isu tidak lain adalah berbagai hal yang masih harus dibicarakan, didiskusikan lebih lanjut karena belum ada jalan keluar atau berbagai pihak belum menemukan titik temu. Tidak semua isu harus diperdebatkan atau dipersoalkan. Dalam hidup ini, ada hal tertentu yang tidak dianggap isu dan diterima begitu saja sebagai kebenaran, setidaknya sebagai kebenaran individual. Tetapi ada juga hal publik yang tidak perlu dipersoalkan lagi. 

Misalnya, apakah harus membayar menyeberang jalan raya harus menggunakan jembatan penyeberangan jika di daerah itu ada jembatan penyeberangan, dan jika tidak, polisi berhak menegur, bahkan menyetop dan memberi sanksi hukum kepada orang yang melanggar. Ini adalah praktik umum yang sudah diatur oleh hukum dan diterima begitu saja, karena menolaknya sama saja dengan membahayakan kehidupan bersama. Jadi, hal-hal yang sudah kita terima sebagai semacam kelaziman, sudah menjadi praktik umum, diterima sebagai kesepakatan bersama, dan semacamnya kita sebut sebagai non-isu.

Demikianlah, isu yang diperdebatkan dalam sebuah argumen dibedakan dari non-isu. Meskipun begitu, ketika sebuah non-isu dipersoalkan, saat itu non-isu kembali menjadi isu, setidak-tidaknya dari perspektif publik. Tetapi dari perspektif individual, hal yang sama bisa terjadi. Misalnya, selama ini Pak Arman dikenal sebagai orang yang taat beragama. 

Bagi dia, beriman dan taat menjalankan perintah agama adalah kebenaran personal yang tidak dia ragukan. Tetapi ketika dia mengalami musibah tertentu dan dia merasa bahwa Tuhan tidak menolong dan melindungi dirinya, dan kemudian dia mempertanyakan eksistensi Tuhan, saat ini iman dan kepercayaannya kepada Tuhan yang semula adalah non-isu sekarang berubah menjadi sebuah isu. Pak Arman lalu bertanya, "Di manakah Tuhan?" "Jika Tuhan benar-benar ada, mengapa Dia tidak melindungi dan menyelamatkan aku?"

Isu itu sendiri dapat kita bedakan menjadi isu-isu yang sifatnya faktual dan isu-isu yang non-faktual. Sebuah isu disebut faktual jika upaya membela, mempertahankan, atau mendukungnya didukung oleh informasi atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. Isu faktual berhubungan dengan kenyataan objektif. 

Jadi, misalnya, jika Pak Madi yang adalah seorang Ketua RT, menghimbau warganya untuk tidak taat pada perintah Pak Lurah karena Pak Lurah telah mengorupsi uang rakyat, hal ini harus dapat dibuktikan secara objektif. Apakah Pak Lurah memang terbukti telah mengorupsi uang rakyat? Apakah sudah memiliki kekuatan hukum? Kalau pun Pak Lurah terbukti mengorupsi uang rakyat, apakah perintahnya harus ditolak sama sekali? Bukankah menaati perintah Pak Lurah sama saja dengan mewujudkan kebaikan bersama?

Lawan dari isu-isu faktual adalah isu-isu non-faktual. Isu non faktual umumnya berhubungan dengan selera atau perasaan pribadi. Isu faktual terikat erat dengan subjektivitas manusia. Misalnya, dua orang mempersoalkan apakah makan di Restoran Padang lebih enak daripada makan di Warteg. Atau, mempersoalkan apakah Raisa lebih cantik dibandingkan dengan Isyana. Perdebatan semaca ini tentu tidak akan mencapai kata sepakat, karena besarnya kandungan subjektivitas. Meskipun tentu harus diberi catatan, bahwa kebudayaan modern mencoba merumuskan kriteria kecantikan tertentu demi industri ratu kecantikan sejagat, dan semacamnya, yang ujung-ujungnya adalah soal komersial.

Lima Langkah

Kembali ke contoh di atas yang sekarang muncul lagi ke publik, bagaimana kita bisa membedah ini sebagai isu atau bukan isu? Ada paling kurang 5 langkah yang bisa ditempuh untuk mengidentifikasi isu dalam berita tersebut. Langka-langkah tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan

Seperti yang sudah saya katakan di atas, obektivitas menjadi salah satu kriteria untuk membedakan isu faktual dari yang non-faktual. Dengan demikian, kita harus mengecek kebenaran berita itu. Berita ini dikabarkan oleh Kompas.com, dan bahwa media ini dapat diandalkan sebagai salah satu media arus utama, karena itu, sumber pemberitaan dapat diandalkan. Kemudian, dengan menggunakan teknik kerja jurnalistik dalam dalam membaca berita ini, kita bisa memastikan kebenarannya. Jadi, kita bisa bertanya soal kapan, di mana, siapa yang mengatakan, kapan dikatakan, mengapa dikatakan, dan apa yang dikatakan, kita bisa mengulik dan menyingkap berita ini.

Fakta-fakta yang ada di seputar berita ini pun bisa dikumpulkan untuk memastikan kebenarannya. Misalnya, apakah memang ada saham pemrov DKI di pabrik bir? Jika ada, berapa besarkah saham itu? Mengapa saham itu harus dilepas? Apakah hanya karena ingin konsisten dengan janji kampanye Anies-Sandi? Apa risikonya jika saham ini dilepas, dan sebagainya.

2. Identifikasi dan ungkapkan apa isunya secara jelas

Sekali lagi seperti yang saya katakan di atas, isu adalah hal, problem, masalah yang masih diperdebatkan, sesuatu yang belum ada jalan keluar atau belum ada pemecahannya. Isu selalu harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan supaya bisa memicu diskusi atau perdebatan. Jika demikian, menurut saya, isunya dapat dirumuskan demikian: "Apakah untungnya bagi rakyat DKI jika saham Pemrov DKI di perusahaan bir itu dijual kembali ke publik?"

Perhatikan bahwa cara saya mengajukan pertanyaan ini sebetulnya memihak pada posisi moral tertentu, yakni bahwa menjual kembali atau mempertahankan saham Pemrov DKI di perusahaan bir memiliki dampak atau pengaruh terhadap masyarakat. Tampak juga seakan-akan saya berpihak pada semacam pertimbangan utilitaristik, bahwa jika itu lebih mendatangkan keuntungan daripada kemudaratan, mengapa harus dijual kembali? Ya, ini posisi saya dalam merumuskan isu ini. Siapa pun bisa memiliki posisi yang berbeda, dan ini yang harus kita diskusikan.

3. Identifikasi dan Lakukan Evaluasi terhadap Otoritas yang Terlibat

Otoritas adalah mereka yang memiliki pengaruh terhadap keputusan yang diambil, atau mereka yang menjadi sumber informasi dan berita. Merekalah yang menentukan apakah saham pemrov DKI di perusahaan Bir harus dijual atau dipertahankan. Dalam konteks demikian, yang memiliki otoritas dalam pemberitaan tersebut adalah Gubernur atau Wakil Gubernur dan Direktur perusahaan bir.

Memperhatikan langkah pertama di atas, kita harus bisa membedakan fakta-fakta yang relevan. Jadi hanya otoritas yang langsung berkenan dengan masalah yang diberitakan saja yang dipertimbangkan. Itulah cara kita mengevaluasi otoritas. Selain itu, pendapat atau pandangan setiap otoritas tidak bisa diterima sebagai suatu kebenaran yang mutlak. 

Berbagai otoritas itu masih harus "diadu" dan dibenturkan satu sama lain. Kadang-kadang, sebagai upaya menarik kesimpulan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, kita bisa mengacu kepada ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Ini karena isu ini berhubungan dengan kepentingan umum. Dengan cara itu, kita hanya akan menerima dan mempertimbangkan pendapat otoritas yang memang tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Demikianlah, jika memang tidak ada larangan untuk mempertahankan atau menjual saham tersebut, dan bahwa hal itu diserahkan sepenuhnya kepada keputusan pimpinan Pemrov DKI dan mengikuti mekanisme pasar, ya hal inilah yang diikut.

4. Rumuskan Kesimpulan dan Rekomendasi

Setelah mempertimbangkan fakta-fakta terkait, mengidentifikasi isu dan merumuskannya dalam bentuk pertanyaan, mengevaluasi berbagai otoritas yang terkait, dan diskusi atau perdebatan dengan berbagai pihak, sekarang kita harus merumuskan kesimpulan dan memberikan rekomendasi.

Mempertimbangkan isu yang saya rumuskan di atas dan mempertimbangkan pendapat berbagai pihak yang terlibat dalam mendiskusikan isu tersebut, saya misalnya menyimpulkan bahwa saham Pemrov DKI di perusahaan bir itu tidak perlu dijual. Alasannya, keuntungan puluhan milyar yang didapatkan setiap tahun dari perusahaan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Dengan kesimpulan semacam ini, saya kemudian mengajukan beberapa rekomendasi berikut. (1) Pemrov DKI harus melakukan sosialisasi dan mendidik warga tentang mengapa saham tersebut tidak dijual. (2) Komunikasikan secara jujur, bahwa meskipun itu adalah janji kampanye yang harus dipatuhi, beberkan fakta keuntungan atau kebaikan yang lebih besar yang akan didapatkan masyarakat jika saham itu tidak dijual. (3) Ambillah keputusan-keputusan strategis dan konkret agar masyarakat memercayai keputusan yang diambil. Misalnya, alokasikan dana keuntungan dari saham tersebut untuk kepentingan program OK-OC, program rumah tanpa DP (rumah DP nol Rupiah) dan semacamnya.

5. Komunikasikan Hasilnya

Akhirnya, kesimpulan dan rekomendasi yang telah diambil tersebut harus dikomunikasikan kepada pihak-pihak terkait. Di sini peran media massa atau pun Public Relation menjadi penting. Keputusan yang diambil pasti akan ditanggapi secara beragam oleh publik. Mengingat bahwa ini adalah bagian dari janji politik Anies-Sandi, keputusan untuk tidak menjual saham di perusahaan bir kemungkinan akan "dihujat" di media sosial. Meskipun begitu, keputusan apapun pasti ada risikonya. Dan menurut saya, keputusan untuk tidak menjual saham tersebut memiliki risiko yang lebih kecil daripada menjualnya. Lagi pula, media sosial akan selalu heboh dan brisik, bukan hanya pada masalah ini saja.

Penutup

Ini cara yang sangat sederhana yang saya ajarkan dan latihkan kepada para mahasiswa saya dalam kuliah critical thinking. Dengan cara ini, para mahasiswa tidak hanya belajar proses berpikir logis, mengenal hukum-hukum berpikir, tetapi juga membangun sikap kritis dalam hati mereka. Bagi saya, ilmu ini juga dapat menangkat berita-berita gosip murahan dan hoax. Semoga.

Rujukan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun