Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gemar Menulis, Belajar dari Tiga Filsuf Stoa

29 September 2017   22:05 Diperbarui: 29 September 2017   22:19 3918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seneca dalam sebuah patung keramik (wikiwand.com)

Stoacisme atau Filsafat Stoa adalah salah satu aliran filsafat yang lahir dan berkembang pesat pada abad ke-3 Masehi. Inti ajarannya adalah mengenai pengendalian dan kontrol diri. Filsafat Stoa mengajarkan bagaimana manusia memaksimalkan nalarnya untuk mengatasi emosi yang sifatnya merusak yang muncul dalam dirinya. Dengan latihan yang terus menerus dan maksimalisasi kerja nalar, setiap orang yang suka mendisiplinkan diri akan mampu mengatasi berbagai emosi dan pikirannya yang menggangu dan merusak dirinya. Selain itu, Filsafat Stoa juga mengajarkan bahwa tujuan tertinggu hidup manusia adalah kebahagiaan (well-being), dan untuk mencapainya, manusia harus mengendalikan dan mengontrol diri, tetapi juga memupuk dan membiasakan diri untuk hidup baik dan hidup berkeutamaan. Bagi aliran filsafat ini, disiplin diri yang keras adalah bagian penting dari hidup manusia yang harus dialami jika mau bahagia.

Ketiga filsuf Stoa ini mengajarkan kita banyak hal mengenai kebiasaan dan kegemaran menulis. Pertama, setiap penulis perlu mendedikasikan waktu untuk menulis, dan ini persis juga menjadi pengalaman kita sebagai penulis. Saya sendiri memiliki kemiripan dengan apa yang dipraktikkan oleh Seneca. Saya menjadi sangat kreatif dan produktif di malam hari ketika keadaan rumah sudah tenang, dan ketika istri dan anakku sudah pada tertidur lelap.

Kedua, menulis adalah sebuah disiplin diri. Lagi-lagi ini adalah pengalaman kita. Ada banyak ide yang muncul dalam pikiran kita, tetapi untuk menuliskannya, kita butuh disiplin diri. Kita perlu membaca dan merujuk referensi. Kita perlu merumuskan pemikiran secara runtut dan komprehensif. Kita juga perlu mencari berbagai informasi dan data yang dapat mendukung argumentasi kita. Lagi-lagi disiplin diri adalah sebuah keniscayaan.

Ketiga, menulis adalah bagian dari upaya membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik. Terutama penulisan diary atau jurnal, menulis menjadi sebuah momen refleksi diri, sebuah jalan untuk memotret diri sejauh mana sudah mempraktikan ideal etis atau ajaran moral/agama tertentu dan sejauh mana tidak mempraktikkannya. Dan kemudian membangun tekad untuk menjadi lebih baik lagi keesokan hari. Dalam bahasa psikologi, menulis adalah katarsis diri, upaya memerdekakan diri dari berbagai tekanan dan belenggu, tetapi juga usaha sadar untuk menjadi diri sendiri.

Keempat, menulis memiliki misi sosial. Orang yang membaca karya-karya reflektif kita bisa saja menganggap isi tulisan kita sebagai suatu "ajaran" yang baik yang kalau dipraktikkan, akan membuat orang itu menjadi lebih baik dan lebih berbahagia. Misi inilah yang membuat kita menulis berdasarkan sesuatu yang baik dan elok, dan bukan suatu kebohongan.

Bagaimana dengan Anda? Apakah ketiga filsuf Stoa dan kegemaran menulis mereka ini juga mewakili kegemaran menulis Anda juga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun