Semua penulis yang "ngeblog" di Kompasiana dan/atau di blog-blog lain pastilah orang-orang yang gemar menulis. Ribuan bahkan mungkin jutaan tulisan yang menyebar di berbagai blog adalah wujud nyata dari kegemaran menulis itu.
Sesering apa kita menulis, setiap orang memiliki kebiasaan dan proses kreatif yang berbera. Masing-masing kita juga memiliki waktu subur atau waktu produktif yang berbeda. Meskipun begitu, tampaknya kita harus sepakat, bahwa keterampilan menulis itu kita pelajari. Kita berlatih keras untuk menulis, Kita membaca berbagai sumber, merenungkannya, menemukan benang merahnya, menemukan insightyang dapat menjelaskan persoalan konseptual atau praktis yang sedang kita hadapi dan sebagainya. Semuanya ini adalah masalah klasik. Banyak pemikir dan penulis sejak zaman peradaban kuno juga menghadapi hal yang sama. Tiga filsuf dan penulis Yunani Kuno dan kebiasaan menulis mereka pantas kita jadikan model. Mereka adalah Epictetus, Seneca dan Marcus Aurelius.
Epictetus (dalam Bahasa Yunani Epkttos) adalah seorang filsuf Stoik yang lahir pada tahun 55 M dan meninggal dunia pada tahun 135 M. Dia adalah seorang hamba yang lahir di Hierapolis, di Phrygia (sekarang adalah Pamukkale, Turki) dan kemudian tinggal hampir sepanjang hidupnya di Roma. Tulisan-tulisan dan refleksi filosofisnya diterbitkan oleh Arrian, seorang muridnya, dalam karya berjudul Discoursesdan Enchiridion.
Bagi Epistetus, filsafat adalah cara/jalan hidup, dan bukan sekadar sebuah disiplin teoretis. Dia berpendapat bahwa segala hal, kejadian, fenomena, yang ada di luar diri kita tidak bisa kita kontrol atau kendalikan. Kita hanya bisa menerimanya dengan tenang segala hal yang terjadi itu. Hanya hal yang ada dalam diri kita yang bisa kita kontrol dan kendalikan. Kita adalah orang yang bertanggung jawab atas seluruh pikiran dan tindakan kita. Pengendalian diri dilakukan dengan cara disiplin yang ketat terhadap diri sendiri, terhadap cara berpikir dan berperilaku.
Bagaimana mengenai kebiasaan menulis Epictetus? Menurut dia, filsafat yang adalah cara/jalan kehidupan itu harus ditulis setiap hari. Karena itu, dia mewajibkan para muridnya untuk menulis segalahal yang mereka pikirkan dan alami setiap hari. Dengan cara itu, para murid bisa melatih dan mendisiplinkan diri. Demikianlah, menulis memiliki dua tujuan utama. Di satu pihak, dengan menulis, para murid Epictetus mempraktikkan filsafat. Di lain pihak, dengan menulis, para murid melatih dan mendisiplinkan diri.
Lain Epictetus, lain pula Seneca (tahun 4--65 M). Sama seperti Epictetus, Seneca juga seorang filsuf stoik dari tradisi dan kebudayaan Romawi. Dia juga seorang pejabat pemerintah, penulis drama, bahkan juga menulis naskah humor dan tragedy. Karyanya berjudul Medea dan Thyestesadalah contoh karya tragedy yang pernah ditulis Seneca. Seneca juga dikenal sebagai guru dan di kemudian hari juga adalah penasihat bagi Raja Nero yang terkenal kejam dan bengis itu.
Lalu bagaimana dengan proses kreatif dan kebiasaan menulis Seneca? Seneca paling senang menulis di malam hari. Menurut pengakuannya, imajinasi, kreativitas, dan pikirannya sangat berkembang ketika malam mulai memeluk bumi dan ketika istrinya sudah tertidur pulas di kamar. Ketika itu pula "Saya merefleksikan dan memeriksa seluruh pengalaman sepanjang hari, menelusuri setiap kata dan perbuatan yang sudah aku lakukan pada hari itu, kemudian menuliskannya secara lengkap tanpa menyembunyikan sesuatu apapun." Baru setelah itu Seneca beristirahat malam. Baginya, dengan disiplin menulis, selain dia mampu memeriksa pikiran dan perbuatannya supaya bisa mengoreksinya keesokan harinya, dia juga akan mengalami tidur yang sungguh lelap dan menyenangkan. Itulah pengalaman tidur yang sungguh manis, kata Seneca.
Bagaimana Marcus Aurelius mendedikasikan hidupnya untuk menulis padahal dia seorang pejabat public yang super sibuk? Apakah dia menyewa para penulis untuk menulis pemikirannya dan kemudian dia klaim sebagai karyanya sendiri? Sama sekali tidak. Karyanya berjudul " (Ta eis heauton) atau "kepada dirinya sendiri" atau yang lebih popular dengan Meditationadalah bukti yang tak-terbantahkan.
Lesson Learned
Stoacisme atau Filsafat Stoa adalah salah satu aliran filsafat yang lahir dan berkembang pesat pada abad ke-3 Masehi. Inti ajarannya adalah mengenai pengendalian dan kontrol diri. Filsafat Stoa mengajarkan bagaimana manusia memaksimalkan nalarnya untuk mengatasi emosi yang sifatnya merusak yang muncul dalam dirinya. Dengan latihan yang terus menerus dan maksimalisasi kerja nalar, setiap orang yang suka mendisiplinkan diri akan mampu mengatasi berbagai emosi dan pikirannya yang menggangu dan merusak dirinya. Selain itu, Filsafat Stoa juga mengajarkan bahwa tujuan tertinggu hidup manusia adalah kebahagiaan (well-being), dan untuk mencapainya, manusia harus mengendalikan dan mengontrol diri, tetapi juga memupuk dan membiasakan diri untuk hidup baik dan hidup berkeutamaan. Bagi aliran filsafat ini, disiplin diri yang keras adalah bagian penting dari hidup manusia yang harus dialami jika mau bahagia.
Ketiga filsuf Stoa ini mengajarkan kita banyak hal mengenai kebiasaan dan kegemaran menulis. Pertama, setiap penulis perlu mendedikasikan waktu untuk menulis, dan ini persis juga menjadi pengalaman kita sebagai penulis. Saya sendiri memiliki kemiripan dengan apa yang dipraktikkan oleh Seneca. Saya menjadi sangat kreatif dan produktif di malam hari ketika keadaan rumah sudah tenang, dan ketika istri dan anakku sudah pada tertidur lelap.
Kedua, menulis adalah sebuah disiplin diri. Lagi-lagi ini adalah pengalaman kita. Ada banyak ide yang muncul dalam pikiran kita, tetapi untuk menuliskannya, kita butuh disiplin diri. Kita perlu membaca dan merujuk referensi. Kita perlu merumuskan pemikiran secara runtut dan komprehensif. Kita juga perlu mencari berbagai informasi dan data yang dapat mendukung argumentasi kita. Lagi-lagi disiplin diri adalah sebuah keniscayaan.
Ketiga, menulis adalah bagian dari upaya membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik. Terutama penulisan diary atau jurnal, menulis menjadi sebuah momen refleksi diri, sebuah jalan untuk memotret diri sejauh mana sudah mempraktikan ideal etis atau ajaran moral/agama tertentu dan sejauh mana tidak mempraktikkannya. Dan kemudian membangun tekad untuk menjadi lebih baik lagi keesokan hari. Dalam bahasa psikologi, menulis adalah katarsis diri, upaya memerdekakan diri dari berbagai tekanan dan belenggu, tetapi juga usaha sadar untuk menjadi diri sendiri.
Keempat, menulis memiliki misi sosial. Orang yang membaca karya-karya reflektif kita bisa saja menganggap isi tulisan kita sebagai suatu "ajaran" yang baik yang kalau dipraktikkan, akan membuat orang itu menjadi lebih baik dan lebih berbahagia. Misi inilah yang membuat kita menulis berdasarkan sesuatu yang baik dan elok, dan bukan suatu kebohongan.
Bagaimana dengan Anda? Apakah ketiga filsuf Stoa dan kegemaran menulis mereka ini juga mewakili kegemaran menulis Anda juga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H