Singkatnya dapat dirumuskan demikian. Pertama, TNI bukanlah lembaga apolitis jika kepentingan dan kesejahteraan warga negara RI menjadi taruhannya. Dengan satu dan lain cara yang bukan politik praktis (baca: partai politik), TNI harus berperan aktif memajukan kesejahteraan WNI. Mengusulkan dan mengelola anggaran untuk mempertahankan wilayah perairan di daerah perbatasan dan membasmi penangkapan ikan yang kemudian menguntungkan para nelayan kita itu termasuk tindakan politik di luar jalur politik praktis. Dan itu seharusnya demikian.
Kedua, siapa pun pimpinan dan anggota TNI, tidak ada larangan untuk berpolitik praktis dalam artian definisi nomor 2. Meskipun demikian, supaya tidak menimbulkan kegaduhan dan perpecahan, pimpinan dan anggota TNI itu harus menjadi sipil terlebih dahulu dalam arti harus pensiun. Apa yang dilakukan Agus Harimurti Yudhoyono yang pensiun dini demi merintis karier politik, menurut saya, menjadi contoh yang sangat indah untuk kasus ini.
Ketiga, apa yang dilakukan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo sebenarnya adalah pelanggaran serius terhadap etika politik. Saya mengikuti sepenuhnya pemikiran Franz Magnis-Suseno (Etika Politik, Jakarta: 2016, ed. revisi, hlm. 17-20). Menurut Magnis, dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Sesuatu disebut sebagai politik jika pemikiran dan keputusan diambil dengan menaruh seluruh kepentingan masyarakat sebagai motif dan alasan pembenar.
Dalam arti itu, Jenderal Gatot Nurmantyo sebetulnya melakukan hal yang benar, jika motivasinya memang benar, bahwa itu dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi jika itu dilakukan dengan motivasi yang salah (misalnya untuk mencapai kedudukan publik), untuk menciptakan panggung politik bagi karier politik setelah pensiun, memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan diri, dan sebagainya, itu adalah tindakan yang bertentangan dengan etika politik.
Etika politik bicara soal motivasi politik dan justifikasi tindakan politik. Jika motivasi Jenderal Gatot Nurmantyo adalah untuk mencapai kekuasaan politik, tidakan itu tentu salah secara etis (dan juga secara legal). Tetapi sekali lagi, sangat sulit mendeteksi motivasi, sehingga kesaksian atau pembelaan diri si pelaku pada akhirnya menjadi salah satu ukuran penjustifikasi yang memang harus dipertimbangkan. Lalu, bagaimana soal justifikasi tindakan politik? Menurut saya, reaksi publik yang keras menolak pernyataan Jenderal Gatot harus dibaca sebagai penolakan publik. Itulah justifikasi tindakan politik, bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan pimpinan TNI, jika itu menyangkut tindakan politik praktis, sangat tidak justifiable.
Sebenarnya isunya agak sederhana. Jika Jenderal Gatot Nurmantyo memiliki agenda masuk ke dalam kekuasaan politik praktis, silakan mengundurkan diri saja sekarang. Toh secara karier kemiliteran sudah mencapai puncak alias sudah menjadi Jenderal Bintang Empat. Tapi Jenderal Gatot sendiri yang mengetahuinya lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H