Pernyataan Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI soal isu pembelian lima ribu senjata oleh lembaga non-tentara secara illegal karena mencatut nama Presiden Jokowi telah menjadi viral satu dua hari ini. Pernyataan itu konon disampaikan secara tertutup di depan silaturahmi dengan para Pensiunan Jenderal TNI di Mabes TNI, Cilangkap pada tanggal 22 September 2017. Jenderal Gatot bahkan menilai bahwa tindakan pembelian ribuan senjata yang mencatut nama Presiden Jokowi itu adalah hal yang tidak etis, sama tidak etisnya jika ada pihak-pihak tertentu yang mencoba "membeli" TNI untuk jabatan-jabatan tertentu. Sementara itu, pernyataan Jenderal Gatot yang tidak kalah menghebohkan adalah himbauannya agar Polri tidak membeli senjata yang dapat menyerang tank, Pesawat, dan sejenisnya. Jika itu dilakukan, menurut Jenderal Gatot, Polri bisa diserang.
Meskipun sudah diklarifikasi oleh Jenderal (Purn.) Wiranto selaku Menko Polhukam, bahwa pembelian senjata itu dilakukan oleh BIN, berjumlah 500 pucuk dan dibeli dari Pindad untuk kepentingan pelatihan sekolah intel, dan bahwa telah terjadi ketidaksinkronan informasi di antara pihak terkait, reaksi publik tidak menjadi reda. Tanggapan massa pembaca portal berita online pun beragam. Ada kubu yang lebih percaya pada pernyataan Gatot Nurmantyo sebagai benar, dan ada juga yang lebih pro pada pendapat Wiranto.
Reaksi kaum cerdik pandai, para pengamat, bahkan lembaga swadaya masyarakat yang pro demokrasi dan pemerintahan sipil pun beragam. Meskipun begitu, reaksi publik tampaknya mengarah kepada "kesan" adanya manuver politik yang sedang dimainkan Jenderal Gatot. Tampaknya juga bahwa manuver politik itu dimainkan menjelang hajatan Pemilihan Presiden 2019, sehingga muncul kesan juga bahwa Jenderal Gatot sedang mencari panggung untuk dirinya sendiri.
TNI memang dilarang berpolitik praktis. Tetapi apakah TNI juga harus steril dari hal-hal yang bersifat politis? Apa yang dimaksud dengan politik dan non-politik? Kapan institusi seperti TNI tidak boleh mencampuri urusan politik? Dalam arti apa TNI harus steril dari politik? Apakah pernyataan-pernyataan pimpinan TNI tidak boleh menyinggung masalah politik? Jika pernyataan Jenderal Gatot Nurmantyo yang menghebohkan itu dinilai sebagai pernyataan atau manuver politik, apakah tidak diperkenankan? Mengapa tidak diperkenankan?
Apolitik dan Non-Politik
Kita tentu tidak menghendaki agar TNI menjadi apolitik. TNI berurusan dengan masyarakat. TNI adalah institusi yang diharapkan ikut mendorong tercapainya kesejahteraan hidup masyarakat. Pengabdian TNI untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI adalah tugas dan tanggung jawab memelihara masyarakat dan bangsa Indonesia. Berbagai hal yang mengganggu tercapainya kesejahteraan masyarakat juga menjadi bagian dari keprihatinan TNI juga. Dengan begitu, menjadi apolitis dalam arti bersikap skeptis dan tidak mau berurusan dengan politik bukan merupakan sikap TNI yang baik dan benar.
TNI adalah lembaga non-politik dalam artian politik praktis. Karena bukan partai atau kekuatan politik, TNI berdiri di atas semua golongan. TNI adalah milik semua orang, tanpa membedakan suku, agama, aliran politik, dan kepentingan.
Tetapi dalam arti apa TNI harus bersifat non-politik? Per definisi, "yang politik" (political) didefinisikan sebagai (1) segala hal yang berkenan atau berhubungan dengan politik atau partai politik; (2) segala hal yang berhubungan dengan upaya atau tindakan untuk meraih kekuasaan publik; (3) segala hal yang melibatkan negara dan pemerintahannya; (4) segala hal yang berkenan atau berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Dalam arti itu, TNI seharusnya bukanlah lembaga apolitik. Tetapi TNI bukan partai politik, karena itu definisi nomor 1 seharusnya tidak berlaku, termasuk berbagai manuver partai politik untuk merekrut tentara aktif harus dihindari.
Yang jelas, TNI dan para pimpinannya harus sangat peduli pada kepentingan masyarakat (definisi nomor 4), dan segala manuver atau upayanya untuk memajukan kepentingan masyarakat dengan melobi atau menggerakkan negara dan pemerintahannya bukanlah hal yang tidak diperkenankan (definisi nomor 3). Yang menjadi soal jika posisi politis TNI yang bukan politik praktis itu disalahgunakan dan diubah (termasuk juga secara halus) oleh pihak tertentu untuk mencapai atau meraih kekuasaan publik (definisi nomor 2). Dalam arti itu, posisi non-politik TNI yang diartikan sebagai tidak terlibat dalam politik praktis harus dimaknakan sebagai larangan terhadap TNI untuk bermanuver dan mengambil langkah-langkah demi meraih kekuasaan publik.
Dalam konteks ini kita mengerti seruan banyak tokoh dan beberapa LSM agar Jenderal Gatot tidak bermanuver politik. Seruan ini sama sekali bukan larangan untuk berpolitik dalam artian definisi nomor 2. Setiap warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, demikian perintah UUD 1945. Hak politik ini harus dilaksanakan secara etis, dalam arti tidak dilaksanakan ketika masih mengenakan seragam TNI. Jenderal Gatot Nurmantyo silakan berpolitik (praktis) tapi pensiun terlebih dahulu. Dan ini juga baik untuk menjaga keutuhan TNI serta memelihara keheningan masyarakat.
Etika Politik
Singkatnya dapat dirumuskan demikian. Pertama, TNI bukanlah lembaga apolitis jika kepentingan dan kesejahteraan warga negara RI menjadi taruhannya. Dengan satu dan lain cara yang bukan politik praktis (baca: partai politik), TNI harus berperan aktif memajukan kesejahteraan WNI. Mengusulkan dan mengelola anggaran untuk mempertahankan wilayah perairan di daerah perbatasan dan membasmi penangkapan ikan yang kemudian menguntungkan para nelayan kita itu termasuk tindakan politik di luar jalur politik praktis. Dan itu seharusnya demikian.
Kedua, siapa pun pimpinan dan anggota TNI, tidak ada larangan untuk berpolitik praktis dalam artian definisi nomor 2. Meskipun demikian, supaya tidak menimbulkan kegaduhan dan perpecahan, pimpinan dan anggota TNI itu harus menjadi sipil terlebih dahulu dalam arti harus pensiun. Apa yang dilakukan Agus Harimurti Yudhoyono yang pensiun dini demi merintis karier politik, menurut saya, menjadi contoh yang sangat indah untuk kasus ini.
Ketiga, apa yang dilakukan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo sebenarnya adalah pelanggaran serius terhadap etika politik. Saya mengikuti sepenuhnya pemikiran Franz Magnis-Suseno (Etika Politik, Jakarta: 2016, ed. revisi, hlm. 17-20). Menurut Magnis, dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Sesuatu disebut sebagai politik jika pemikiran dan keputusan diambil dengan menaruh seluruh kepentingan masyarakat sebagai motif dan alasan pembenar.
Dalam arti itu, Jenderal Gatot Nurmantyo sebetulnya melakukan hal yang benar, jika motivasinya memang benar, bahwa itu dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi jika itu dilakukan dengan motivasi yang salah (misalnya untuk mencapai kedudukan publik), untuk menciptakan panggung politik bagi karier politik setelah pensiun, memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan diri, dan sebagainya, itu adalah tindakan yang bertentangan dengan etika politik.
Etika politik bicara soal motivasi politik dan justifikasi tindakan politik. Jika motivasi Jenderal Gatot Nurmantyo adalah untuk mencapai kekuasaan politik, tidakan itu tentu salah secara etis (dan juga secara legal). Tetapi sekali lagi, sangat sulit mendeteksi motivasi, sehingga kesaksian atau pembelaan diri si pelaku pada akhirnya menjadi salah satu ukuran penjustifikasi yang memang harus dipertimbangkan. Lalu, bagaimana soal justifikasi tindakan politik? Menurut saya, reaksi publik yang keras menolak pernyataan Jenderal Gatot harus dibaca sebagai penolakan publik. Itulah justifikasi tindakan politik, bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan pimpinan TNI, jika itu menyangkut tindakan politik praktis, sangat tidak justifiable.
Sebenarnya isunya agak sederhana. Jika Jenderal Gatot Nurmantyo memiliki agenda masuk ke dalam kekuasaan politik praktis, silakan mengundurkan diri saja sekarang. Toh secara karier kemiliteran sudah mencapai puncak alias sudah menjadi Jenderal Bintang Empat. Tapi Jenderal Gatot sendiri yang mengetahuinya lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H