Mohon tunggu...
JepretPotret
JepretPotret Mohon Tunggu... Freelancer - ........ ........

........

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ada Kemungkinan LRT Akan Mangkrak Seperti Monorel

13 Maret 2017   23:01 Diperbarui: 14 Maret 2017   18:00 2589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Monorel merupakan sistem MassTransit berkereta rel tunggal dengan jalur layang (elevated). Monorel yang sempat direncanakan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso akan dibangun di Jakarta ini, akhirnya dibatalkan Gubernur DKI Jakarta selanjutnya Fauzi Bowo setelah mengalami tidak kesepakatan rancangan dan komitmen pihak konsorsium. Padahal pembangunan tiang pancang proyek monorel telah dimulai tahun 2004, dengan target kala itu akan beroperasi tahun 2006.

Harapan baru warga Jakarta memiliki monorel kembali hidup, dengan pencanangan untuk meneruskan proyek monorel oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.  Namun akhirnya tamatlah riwayat pembangunan monorel pada era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dengan ketidakjelasan pihak konsorsium dalam mengelola proyek tersebut.Alternatif pengganti sistem transportasi massal tersebut pun telah disiapkan Light Rail Transit (LRT), yang telah diresmikan peletakan batu pertama (groundbreaking) di lokasi Taman Mini Satu pada 9 September 2015. Nantinya tiang pancang monorel yang mangkrak tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan LRT. Namun ternyata masih ada ketidakjelasan sumber pembiayaan dan masih terus dibahas oleh pemerintah pusat.

Lalu bagaimanakah nasib perkembangan terkini LRT, akankah bernasib sama mangkraknya dengan monorel? Hal inilah yang menjadi topik bahasan menarik diskusi interaktif bertema "Akankah LRT Bernasib Sama dengan Monorel yang Mangkrak?", yang diselenggarakan oleh Jaringan 98 di Gedung Dewan Pers Jakarta Pusat pada 3 Maret 2017 lalu. Hadir para narasumber Agus Pambagyo (Pengamat Kebijakan Publik), Prof Darmaningtyas (Pengamat Transportasi), Agus Rihat Manalu (Direktur LBH Bekasi), Satyo Poerwanto (Sekjen Prodem), dengan moderator Ricky Tamba (Jubir Jaringan'98).

Agus Pambagyo menjelaskan ada dua LRT di Indonesia saat ini yaitu Jabodebek (Jakarta Bogor Depok Bekasi) dan Palembang Sumatra Selatan, yang terus dikebut untuk menyambut pelaksanaan Asian Games 2018. Program Monorel Palembang diubah menjadi LRT ketika ada kabar penunjukan sebagai tuan rumah Asian Games.  Pembangunan LRT di Palembang dilakukan oleh PT Waskita Karya (Persero), yang telah disetujui dengan pembiayaan APBN sebesar Rp 10,9 triliun dari total perencanaan Rp 12 triliun lebih.  Sementara LRT Jabodetabek yang akan dibangun oleh PT Adhi Karya (Persero) beserta Konsorsium BUMN yang salah satunya PT KAI (Persero), hingga kini masih belum jelas sumber pembiayaannya dan masih terus dalam pembahasan di pemerintah pusat. Pembiayaan sekitar Rp. 500 milyar per kilometer yang akan membutuhkan total pembiayaan sekitar Rp. 24 triliun lebih.

Saat ini Adhi Karya masih menalangi pembiayaan awal pembangunannya. Pihak Kementerian Koordinator Maritim yang membawahi Kementerian Perhubungan, juga sedang menggodok rencana agar KAI dapat penyertaan modal negara yang kemudian dapat dicicil dan pemberian PSO dalam operasionalnya. Namun kelak nantinya PT KAI akan mengelola dua moda transportasi yaitu LRT Jabodebek dan KRL Commuter Jabodetabek. LRT akan memiliki kemiripan rute dengan KRL Commuter Jabodetabek, sehingga kemungkinan akan dapat menyebabkan 'kanibalisme' yang dapat membunuh salah satunya.Pihak Kementerian Keuangan pun menginginkan hanya sedikit penggunaan APBN bahkan kalau bisa tidak menggunakan APBN sama sekali, yang menyebabkan ketidakjelasan pembiayaan ini dapat berpotensi berhenti di tengah jalan menyusul program monorel yang telah mangkrak. Ada alternatif solusi pembiayaan dengan pihak Adhi Karya melakukan pinjaman ke investor swasta Jepang maupun pembiayaan APBN menggunakan pos anggaran yang ada di Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR.

Prof Darmaningtyas mengatakan sebenarnya teknologi LRT telah mulai ditinggalkan oleh beberapa negara maju karena alasan efisiensi.
Menurutnya akan lebih baik membangun Bus Rapid Transit (BRT) yang dapat mengangkut kapasitas penumpang yang lebih besar dengan biaya operasional yang lebih rendah dari LRT, sehingga tidak diperlukan penyediaan program subsidi. Harapannya LRT Jabodebek dan LRT Palembang dapat diselesaikan, namun rencana program LRT di kota besar lainnya tak perlu dilanjutkan karena dapat mengganggu keseimbangan APBN.

LRT Palembang meskipun nanti akan sukses dalam pembangunan dan operasionalnya, diperkirakan akan sangat menguras APBN dalam bentuk subsidi penumpang. Kecuali adanya ide kreatif oleh Pemerintah Propinsi Sumsel dalam memfungsikan LRT sebagai obyek wisata. Pengguna angkutan umum akan sulit diarahkan beralih ke LRT karena masih rendahnya tingkat jumlah perjalanan masyarakat menggunakan angkutan umum. Besaran tarif yang diajukan pihak Pemprop Sumatra Selatan yang berkisar Rp. 5.000,-  hingga Rp. 10.000,- sehingga mungkin akan sulit dilakukan pencapaian pengembalian investasi. Dengan total 25.000 hingga 50.000 penumpang harian pun, LRT Palembang diperkirakan masih belum dapat menutup biaya operasional. Khusus LRT Jabodebek memiliki kendala dari segi sumber pendanaan pembangunan yang belum jelas namun memiliki kemampuan potensi jumlah dan daya beli penumpang yang relatif lebih baik.

Ada hal yang menjadi buah simalakama bagi pemerintah dalam proyek LRT. Operasional KAI yang bergantung pada negara, berpotensi pihak KAI akan berupaya menerapkan tarif tinggi pada layanan regulernya untuk dapat menutup operasional LRT Jabodebek nantinya. Sementara jika negara menanggung semuanya, maka pihak KAI Jawa dan Luar Jawa akan dapat mempertanyakan asas keadilan. Pemerintah dapat memberikan proyek Tol Trans Jawa pada investor, untuk mengalihkan pembiayaan pada proyek LRT Jabodebek.


Agus Manalu memberikan gambaran kebutuhan masyarakat akan transportasi massal seperti LRT, yang bertujuan mengatasi kemacetan dengan memberikan tarif biaya perjalanan yang terjangkau, serta kenyamanan dan efisiensi waktu perjalanan yang cepat. Pergantian rezim kepemimpinan dan kemauan politik pemerintah disorot sebagai hal yang menyertai mangkraknya proyek monorel yang dilanjutkan dengan proyek LRT. Dipertanyakan faktor apa saja yang menjadi penghambat pembangunan monorel hingga pembangunan LRT saat ini. 

Aktivitas sebagai warga Bekasi yang harus sering ke Jakarta, Agus melihat masalah klasik kemacetan yang harus ditangani dengan bijak dengan penyediaan alternatif transportasi yang tidak kanibal agar tak saling membunuh diantara lainnya. Diperlukan juga upaya keterlibatan komunikasi dengan pemerintah daerah yang wilayah perkotaannya dilewati lintas LRT. Harapannya agar LRT dapat terus berjalan dengan terlihat sangat bagusnya lintas pelayanan yang direncanakan seperti lintas Cibubur-Cawang, BekasiTimur-Cawang, Cawang-Dukuh Atas (Tahap 1 pembangunan). Kemudian ada lintas Cibubur-Bogor, DukuhAtas-Palmerah-Senayan, dan Palmerah-Grogol (Tahap 2 pembangunan). 

Satyo Poerwanto melihat bahwa perencanaan pembangunan infrastruktur transportasi sejak zaman kolonial hingga saat ini tidak memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, sehingga tak heran muncul berbagai macam permasalahan (lahan, pembiayaan, teknologi, kontraktor) yang berujung mangkrak. Ini akibat konsep liberalisasi pengembangan transportasi di Indonesia yang berorientasi bisnis, sementara transportasi publik itu merupakan layanan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun