Deforestasi menjadi jalan besar menuju kemiskinan. Hutan memiliki kontribusi besar dalam ekosistem pembangunan global, hasil alam hutan berkontribusi lebih dari 20% terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat. Indonesia sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropis yang menjadi tempat hidup berbagai keanekaragaman hayati darat dan juga tempat alami penyimpanan dan penyerapan karbon membuat hutan menjadi unsur penting dalam strategi penstabilan iklim. Alam memiliki hubungan yang erat dengan manusia. Manusia melangsungkan hidup bergantung pada pemanfaatan keanekaragaman hayati seperti: tanah, udara, air, hutan, dan lain sebagainya.
Indonesia kehilangan hampir seperempat lahan hutannya dalam kurun waktu 25 tahun. Pada 2016-2017 Kalimantan dan Sumatera menjadi daerah dengan degradasi hutan tertinggi, Kalimantan kehilangan 68% dan Sumatera sebanyak 51%. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan industri merupakan penyebab utama deforestasi. Diperlukan kerjasama antar stakeholders dalam program perlindungan hutan. Peran hutan dalam mempercepat pencapaian SDG terkait ‘Ekosistem daratan’ (SDG 15) dianggap mewakili perbaikan sosial dan lingkungan.
Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Menjaga Hutan
Indonesia sebagai negara dengan beragam suku dan budaya memiliki peran penting dalam pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kawasan hutan adatnya. Potensi dari hutan adat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dimasukkan kedalam Peta hutan Adat dan Wilayah Indikatif yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di suatu provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Penetapan hutan adat ini tidak meninggalkan fungsi penting hutan sebagaimana tercantum dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Status hutan adat harus mengarah kepada pengelolaan yang berkearifan lokal guna mendukung pembangunan hutan berkelanjutan sesuai dengan SDG 15.
“Praktik-praktik hutan adat yang menjaga alam ikut mengatasi emisi gas rumah kaca, emisi global, dan mata air, serta aktualisasi partikularistik wilayah dan masyarakat adat sebagai wujud kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” Anugrah, N. (2021). [Wawancara dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya]. Siaran Pers Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Nomor: SP.259/HUMAS/PP/HMS.3/08/2021
Hak Ulayat Masyarakat Adat
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Hak ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan Tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Masyarakat Hukum Adat memiliki hak penting terkait dengan ruang hidupnya yang disebut dengan ”Hak Ulayat”. Penerapan Hak Asasi Manusia tercermin dalam partisipasi masyarakat adat, hak khusus atas tanah yang dimiliki masyarakat adat antara lain:
- Berpartisipasi dalam penggunaannya.
- Hak masyarakat adat dalam manajemen sumber daya alam
- Hak masyarakat adat untuk pelestarian sumber daya alam
Perlindungan Hukum Hak Ulayat
Hak ulayat pada dasarnya adalah hak yang akan terus diperhatikan selama masih ada masyarakat hukum yang bersangkutan dengan pemberian hak atas tanah sebagai Hak Guna Usaha dan akan diberi “recognitie” sebagai hak penerima selaku pemegang hak ulayat. Menurut Sukanto persekutuan hukum memiliki hubungan dengan tanah ulayat yang diliputi sifat religio magis yang artinya warga persekutuan hukum yang bersangkutan dan memiliki pikiran yang kuat memiliki kepercayaan kepada roh-roh dan menciptakan gambaran bahwa segala sesuatu berhubungan dengan pengelolaan tanah sehingga pengelolaan tanah harus dilakukan dengan berhati-hati karena memiliki potensi gaib. Hak ulayat menjadai hak milik bersama yang memiliki nilai kebersamaan yang sakral dan turun temurun yang disebut sebagai budaya hukum.
Masyarakat adat memiliki cara tersendiri dalam memelihara serta mempertahankan hak ulayatnya seperti, menetapkan batas wilayah menggunakan batas fisik berupa batu, pohon, sungai, bukit, dan lain sebagainya, selain itu masyarakat adat menunjuk pejabat yang mereka percaya yang memiliki beragam istilah seperti jaring (minang kabau), terusan (minahasa), kepala kawang (ambon), lelipis lembukit (bali), di samping itu diadakan juga partoli perbatasan.
Kearifan Lokal Menjaga Hutan Masyarakat Dayak Iban
Masyarakat Dayak Iban berdiam di kawasan zona penyangga Taman Nasional Betung Kerihun seluas 9.425,5 hektare di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Masyarakat Dayak Iban menjadi bagian dari enam rumpun besar Dayak penduduk asli Pulau Kalimantan dan berkembang menjadi 268 subsuku.
Pada masyarakat Dayak Iban kepala rumah dinamai bandi Anak ragai yang dikenal sebagai Apai Janggut. Masyarakat Dayak Iban begitu takut merusak alam sebagai bentuk penghargaan atas alam yang ditempatinya. Hutan sebagai pemberi makan dan minum yang harus dimanfaatkan secara bijak hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012. Menjaga hutan adalah bagian dari budaya karena di dalam hutan terdapat ladang, tanaman obat, sungai, dan juga kuburan leluhur masyarakat Dayak Iban.
Terdapat aturan adat yang diterapkan pada masyarakat adat Dayak Iban sejak menanam hingga panen, penggunaan lahan diatur agar tidak merusak alam dan diawasi. Memasuki musim tanam diawali dengan ritual dengan total 25 jenis upacara adat agar alam memberkati dan memberikan petunjuk lokasi penanaman yang dapat dimanfaatkan. Pemamfaatan kayu hutan diatur secara bijak, setiap warga tidak boleh memotong lebih dari 30 potong pokok kayu dalam setahun. Setiap kayu yang ditebang harus ditanam kembali dengan 2-4 bibit tanaman baru. diberlakukan denda jika tidak mengikuti peraturan yaitu dengan membayar denda kepada kas dusun yang akan digunakan untuk keperluan bersama. Kearifan lokak yang dikembangkan oleh masyarakat adat Dayak Iban membuat hutan selalu terjaga, tidak pernah ada kebakaran hutan (Karhutla), Sungai Utik tidak pernah meluap walaupun musim hujan dann air selalu tersedia saat kemarau.
- Referensi
Undang-Undang
Indonesia. 1999. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Sekretariat Negara. Jakarta
Indonesia. 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012. Jakarta
Indonesia. 2014. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Sekretariat Negara. Jakarta
Indonesia. 2019. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019. Sekretaris Jendral. Jakarta
Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Sekretariat Negara. Jakarta
Jurnal
Cernev, T., & Fenner, R. (2020). The importance of achieving foundational Sustainable Development Goals in reducing global risk. Futures, 115. https://doi.org/10.1016/j.futures.2019.102492
Irawati, Subhan, & Abubakar. (2023). KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN (Studi Kasus Di Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues) (Local Wisdom of the Community in Preserving the Forest (Case Study in Pining District, Gayo Lues Regency)). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, 8(4). www.jim.usk.ac.id/JFP
Ismail, I. (2010a). Ilyas Ismail, Kedudukan dan Pengakuan Hak Ulayat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional SISTEM HUKUM AGRARIA NASIONAL (The Structure and Recognation of Customary Rights to the Land / Hak Ulayat on Indonesia’s Agrarian National Legal System) Oleh: Ilyas Ismail *).
Ismail, I. (2010b). Ilyas Ismail, Kedudukan dan Pengakuan Hak Ulayat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional SISTEM HUKUM AGRARIA NASIONAL (The Structure and Recognation of Customary Rights to the Land / Hak Ulayat on Indonesia’s Agrarian National Legal System) Oleh: Ilyas Ismail *).
Juniarti, S. R., Am, I., & Yani, A. (2016a). KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN ADAT TAWANG PANYAI DI DESA TAPANG SEMADAK KECAMATAN SEKADAU HILIR KABUPATEN SEKADAU Community Local Wisdom For Preserve Customary Forest Of Tawang Panyai In The Village Of Tapang Semadak At The Subdistrict Of Sekadau Hilir, Sekadau Regency (Vol. 4, Issue 3).
Juniarti, S. R., Am, I., & Yani, A. (2016b). KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN ADAT TAWANG PANYAI DI DESA TAPANG SEMADAK KECAMATAN SEKADAU HILIR KABUPATEN SEKADAU Community Local Wisdom For Preserve Customary Forest Of Tawang Panyai In The Village Of Tapang Semadak At The Subdistrict Of Sekadau Hilir, Sekadau Regency (Vol. 4, Issue 3).
Khairina, E., Purnomo, E. P., & Malawnai, A. D. (2020). Sustainable Development Goals: Kebijakan Berwawasan Lingkungan Guna Menjaga Ketahanan Lingkungan Di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ketahanan Nasional, 26(2), 155. https://doi.org/10.22146/jkn.52969
Pegringsingan, T., Pengelolaan, D., Di, H., Tenganan, D., Manggis, K., Karangasem, B., Karidewi, M. P., Ritohardoyo, S., & Santosa, L. W. (2012). DESA ADAT.
Rosmidah, H. (n.d.). PENGAKUAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAMBATAN IMPLEMENTASINYA.
Yarsina STIH Putri Maharaja Payakumbuh, N., Lurah, A., Tarok Dipo, K., & Guguk Panjang Kota Bukittinggi, K. (n.d.-a). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TANAH ULAYAT YANG TELAH BERSERTIFIKAT DI KOTA BUKITTINGGI.
Yarsina STIH Putri Maharaja Payakumbuh, N., Lurah, A., Tarok Dipo, K., & Guguk Panjang Kota Bukittinggi, K. (n.d.-b). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TANAH ULAYAT YANG TELAH BERSERTIFIKAT DI KOTA BUKITTINGGI.
Website
Seymour, F. Busch, J. (2017). Wawasan Hutan dan Target Pembangunan Berkelanjutan SDG. Diakses pada 19 April 2024, dari https://wri-indonesia.org/id/wawasan/hutan-dan-target-pembangunan-berkelanjutan-sdg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H