Penonton pada umumnya mungkin tidak terbiasa dengan genre film kali ini. Dengan membawa isu sensitif seputar pasangan sesama jenis, Thailand memproduksi film berjudul "1448 Love Among Us (2014)".
Film ini dibuat sebagai bentuk protes terhadap pasal 1448 hukum perdata Thailand yang melarang pernikahan sesama jenis. Film 1448 Love Among Us mencoba untuk menunjukkan mengapa hukum ini salah dengan menggambarkan hubungan sesama jenis yang manis serta cara-cara di mana mereka ditindas oleh persatuan mereka yang tidak dianggap sah.
Dalam film ini diceritakan mengenai seorang wanita bernama Pim yang tidak puas dengan pacarnya. Ketika sang lelaki memilih untuk meninggalkannya untuk belajar di luar negeri, dia memastikan semua hubungan dengannya terputus.Â
Setelah itu, muncullah peran wanita lain bernama Pat. Gadis tersebut memiliki kegemaran dalam dunia fotografi. Mereka kemudian berteman dan saling mengisi kekosongan untuk sekedar berjalan-jalan dan menghabiskan waktu.Â
Namun setelahnya, perasaan Pat pada Pim semakin bertumbuh. Pim yang saat itu sedang hamil anaknya Nam, mengalami keguguran dan menyebabkannya depresi. Akan tetapi, Pat selalu ada di sampingnya dan mendukungnya.Â
Kedua wanita itu pun memulai hubungan hampir terlalu cepat. Mereka merencanakan pernikahan, di mana orang tua Pat memilih menolak untuk hadir. Namun mereka berdua berjuang sekuat tenaga untuk mempersatukan cinta terlarang tersebut.Â
Keduanya melakukan berbagai usaha mulai dari meminta restu dari orang tua masing-masing hingga meminta perlindungan hukum kepada pemerintah. Semua hal tersebut dilakukan dengan melawan norma dan hukum demi mempersatukan cinta mereka. Â
Kesimpulan
Secara keseluruhan, film ini mencoba untuk mengangkat isu sensitif yang mungkin masih agak sulit untuk disebarluaskan. Berawal dari keinginan untuk memprotes dan memperjuangkan hukum di sana, menjadikan film ini sempat viral.Â
Namun, setelahnya masih banyak kritik yang muncul terutama dari segi penempatan alur cerita yang masih terasa dipaksakan. Selain itu, akting yang dilakukan oleh para aktor dan aktris juga masih bisa ditingkatkan lagi.
Pernikahan sebagaimana yang dituliskan dalam Coztanzo (2014), belum terlalu ditonjolkan dari segi tradisi yang ada. Suasana yang berusaha ditampilkan pun seolah masih membawa kesan pemaksaan, karena pada akhirnya orang tua mereka menyetujui usulan tersebut tanpa adanya unsur sah dari segi hukum. Meskipun tetap saja di akhir cerita terjadi tragedi menyedihkan yang menyebabkan pernikahan tersebut tetap tidak bisa dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Coztanzo, W. (2014). World Cinema Through Global Genres. UK: John Wiley & Sons, Inc.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H