Mohon tunggu...
Jennifer Jafrin
Jennifer Jafrin Mohon Tunggu... Pengacara - Sarjana Hukum

Young and passionate individual with a Bachelors of Laws degree.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

20 Tahun MK: Waktunya Kembali Berbenah!

20 Juli 2023   14:11 Diperbarui: 20 Juli 2023   14:14 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi yang lahir dari konsep court of law pada amandemen ketiga UUD NRI 1945 pada dasarnya memiliki peran utama untuk menjaga prinsip konstitualisme di negara Indonesia. Hal ini tercermin dalam peran dari Mahkamah Konstitusi  yang melindungi konstitusi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, mencakup: (1) the guardian of constitution, (2) the final interpreter of  constitution, (3) the guardian of democracy, (4) the protector of citizen’s constitutional rights dan (5) the protector of human rights. Guna memaksimalkan peran tersebut Mahkamah Konstitusi dibekali oleh 4 (empat) kewenangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, diantaranya:

1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; 

3) Memutus pembubaran partai politik; dan

4) Memutus sengketa hasil pemilihan umum.

Disamping kewenangan di atas, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan tambahan, yaitu mengadili Presiden dalam proses pemberhentian presiden.

Dari peran dan kewenangan tersebut, sejatinya kita dapat melihat karakteristik unik yang dimiliki oleh lembaga Mahkamah Konstitusi. Tidak seperti court of law pada umumnya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya melakukan penafsiran hukum saja dalam menjalankan kewenangannya. Namun, dalam beberapa wewenang yang dimilikinya Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan fakta-fakta layaknya court of justice. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan peran court of law dan court of justice yang benar-benar murni dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. 

Membahas sedikit mengenai kekuasaan kehakiman, terdapat perbedaan mendasar lainnya antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung, terutama dari limitasi kewenangan. Bilamana kita melihat Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang 

Berbeda dengan wewenang Mahkamah Konstitusi sebelumnya, dalam wewenang Mahkamah Agung diselipkan frasa "...dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang". Keberadaan frasa tersebut mengindikasikan bahwa kewenangan Mahkamah Agung bersifat open legal policy, yang artinya Mahkamah Agung dapat memiliki kewenangan tambahan lain diluar yang diatur dalam Konstitusi. Disisi lain, kewenangan Mahkamah Konstitusi bersifat terbatas hanya yang termaktub dalam Konstitusi saja. Pembatasan tersebut didasari bahwa kewenangan yang diatur telah cukup dimiliki Mahkamah Konstitusi untuk menjalankan fungsi utamanya, yaitu toetsing atau menguji. 

Sepanjang 20 tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang untuk melakukan penafsiran akhir terhadap konstitusi, apakah kewenangan yang terbatas tersebut masih relevan dan dapat mengakomodir perkembangan yang terjadi di masyarakat?

"Hukum selalu tertatih-tatih tertinggal dibelakang perkembangan masyarakat"

Dikarenakan hukum terbentuk dan berkembang dalam masyarakat, sudah merupakan konsekuensi logis bahwa hukum akan selalu tertinggal dibelakang perkembangan masyarakat. Namun yang menjadi titik berat dari kenyataan tersebut adalah, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ketertinggalan tersebut? 

Ditengah keterbatasan wewenang yang dimiliki, Mahkamah Konstitusi kerap kali 'mengakali keadaan' dengan melakukan penafsiran hukum guna mengatasi kekosongan peraturan perundang-undangan. Salah satu contoh yang baru saja terjadi adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah yang sudah lama menjadi perdebatan. 

Seperti yang telah dijelaskan, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam mengadili sengketa pemilihan umum, yang mana dalam UUD NRI 1945 tidak mencakup pemilihan Kepala Daerah.  Dikarenakan banyak terjadi sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka melalui Putusan MK 97/PUU/XI/2013 diputuskan bahwa Mahkamah Konstitusi akan menyelesaikan sengketa pemilihan Kepala Daerah untuk sementara hingga terbentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Pilkada. 

Akan tetapi, dikarenakan terdapat permasalahan dalam menentukan lingkungan peradilan dari Badan Penyelesaian Sengketa Pilkada, akhirnya Mahkamah Konsitusi memberikan titik terang melalui Putusan MK 85/PUU-XX/2022 yang memberikan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada secara permanen kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran hukum dengan memasukan Pilkada menjadi bagian dari rezim pemilihan umum, sehingga Mahkamah Konstitusi menjadi berwenang menyelesaikan sengketa hasil Pilkada.

Kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan limitasi kewenangan Mahkamah Konstitusi seperti ini bukan satu dua kali terjadi. Contoh lainnya adalah timbulnya beberapa sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak berasal dari UUD NRI 1945 (tidak memiliki constitutional importance).  Seperti yang telah dijelaskan juga, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa kewenangan. Namun, yang menjadi salah satu syarat dari legal standing pihak yang berperkara, kewenangan yang diadili haruslah kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 atau memiliki constitutional importance. Persyaratan tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, lantas bagaimana bila objek dari sengketa tersebut bukanlah kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945? 

Seperti sengketa-sengketa lembaga negara yang pernah terjadi, misalnya 'cicak vs buaya' antara KPK dengan Kepolisian, kemudian ada juga sengketa kewenangan antara KPI dengan Departemen Kementerian Kominfo yang pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan berakhir tidak diterima melalui Putusan MK 3/SKLN-X/2012. Hingga saat ini, masih belum terdapat kejelasan mengenai mekanisme penyelesaian maupun lembaga yang berwenang untuk mengadili sengketa-sengketa semacam itu. Problematika seperti ini menunjukan bahwa kewenangan limitatif Mahkamah Konstitusi dalam UUD NRI 1945 sangat membatasi ruang gerak Mahkamah Konstitusi dalam memenuhi perannya.

"Hukum harus melihat kedepan, bukan kebelakang"

Berangkat dari banyaknya isu ketatanegaraan yang terjadi saat ini, termasuk yang diakibatkan oleh limitasi kewenangan Mahkamah Konstitusi, pemerintah berkeinginan untuk menuntaskan permasalahan tersebut melalui akarnya. Tidak heran, bertahun-tahun setelah amandemen terakhir pemerintah berwacana untuk melakukan amandemen kelima. Memang sudah seharusnya Konstitusi sebagai living constitution dapat diaplikasikan dan mengakomodasi setiap perkembangan hukum yang terjadi dimasyarkat. Namun, melihat permasalahan yang sulit diselesaikan hanya melalui penafsiran terhadap konstitusi membuktikan bahwa masih terdapat ruang perbaikan dari UUD NRI 1945 dalam menjalankan perannya sebagai living constitution.

Sejarah merupakan guru yang terbaik. Wacana amandemen kelima dapat menjadi salah satu ajang pembenahan terbesar terhadap lembaga kita tercinta, dan kini mungkin sudah saatnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk kembali berbenah. Sepanjang 20 tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi memenuhi mandatnya, tentu banyak pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik untuk mengarahkan kita kepada perubahan yang lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun