Mohon tunggu...
Jen Latuconsina
Jen Latuconsina Mohon Tunggu... Dosen - Jen Latuconsina memiliki nama lengkap Muhammad Jen Latuconsina, S.IP, MA, yang biasa menggunakan nama pena M.J. Latuconsina. Lelaki berdarah Ambon ini, lahir di Masohi pada 30 Mei 1975 lampau. Ia meraih gelar S1 Ilmu Politik/Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin (2001), lantas meraih gelar S2 Ilmu Politik pada Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Gadja Mada (2008). Ia adalah seorang pribadi yang suka membaca, menulis dan fotografi. Ia banyak menghiasi media cetak lokal di Kota Ambon dengan berbagai artikelnya dalam bidang politik, pemerintahan, dan administrasi publik. Sebelumnya sejak tahun 2001 berprofesi sebagai jurnalis di Tabloid Catatan Kaki, Tabloid Suisma, Harian Info, Harian Ambon Ekspres, dan Tabloid Ekspresi. Pada tahun 2005 ia kemudian menekuni profesi dalam dunia akademik, dengan menjadi dosen pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura.

Pria

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Anda Santun Kami Segan

31 Januari 2021   09:19 Diperbarui: 31 Januari 2021   09:23 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Para khalayak yang membaca tema artikel ini, tentu pikirannya akan terkoneksi dengan pelayanan pada sektor publik, yang dilakukan pada perkantoran. Pasalnya ekspetasi warga masyarakat, agar staf perkantoran itu berperilaku layaknya jargon “anda santun kami segan”, dimana warga masyarakat berharap, agar staf perkantoran itu santun dan ramah dalam memberikan palayanan kepada mereka. Dampak positifnya, mereka pun menaruh hormat kepada staf perkantoran itu. 

Ada beberapa pengalaman menunjukkan warga masyarakat, yang berurusan dalam pelayanan administrasi di perkantoran kadang mengalami perlakuan yang tak "menyenangkan" dari staf  perkantoran pada suatu instansi.

Staf perkantoran, yang mestinya melayani warga masyarakat dengan santun dan ramah, bukan sebaliknya berperilaku bak serdadu di pos jaga monyet, pada tangsi militer di zaman dahulu kala. Kita masih ingat, ketika era dahulu kala, tatkala warga masyarakat yang hendak bertemu handai taulan mereka di tangsi militer, yang pertama kali mereka temui adalah serdadu di pos jaga monyet. 

Mereka pun dihadang serdadu di pos jaga monyet,  kemudian di tanya dengan gaya interogasi yang diselingi semprotan kata-kata yang tak santun dan tak simpatik. Oleh karena itu, para staf perkantoran, jangan berperilaku seperti serdadu di pos jaga monyet, yang memperlakukan warga seakan di zaman revolusi tatkala berkecamuknya perang. 

Tentu ada benarnya jargon pada tema artikel ini, dimana perlu dimaknai dan direalisasikan staf perkantoran dalam melayani warga masyarakat, dengan mengedepankan nilai-nilai humanisme, yang egaliter. Titik vital dari pelayanan pada perkantoran, bukan hanya merupakan akuntabilitas pimpinan semata. 

Namun  terpulang pada personal culture staf perkantoran, yang terbentuk sejak di lingkungan keluarga (family environment), dimana pendidikan karakter dini tidak menanamkan nilai-nilai humanisme, yang egaliter.  Sehingga tatkala tumbuh dewasa dan bekerja personal karakter negatif itu terbawa-bawa ke lingkungan kerja, yang cenderung kaku dan tidak respek dalam relasi dan interaksi kepada warga masyarakat.  Padahal sudah dibina berulangkali oleh pimpinannya, tapi masih memperlakukan warga masyarakat dengan tak santun dan tak ramah dalam pelayanan administrasi.

Kondisi ini menunjukkan, jika staf perkantoran itu tidak mampu mengintegrasikan dirinya mengikuti ritme organisasi perkantorannya, yang didalamnya terdapat etika sebagai suatu norma dalam relasi dan interkasi secara internal dan eksternal yang elegan. Tentu jika staf perkantoran itu, tak mampu mereform personal karakternya, maka ia akan "terpental" dari jobnya. 

Bahkan jika tak mereform personal karakternya, maka ia akan sulit untuk mengembangkan kariernya untuk di terima pada perkantoran lainnya. Tapi jika saja ia diterima pada perkantoran lainnya, ia akan memperoleh job yang biasa-biasa saja. Hal ini menunjukkan personal karakter menjadi aspek determinen dari keberhasilan pelayanan di perkantoran.

Relevan dengan itu, Sriyanti (2011) dalam artikelnya berjudul : "Penerapan Etika Kantor Dalam Pencitraan Organisasi" menyebut bahwa, "dalam lingkungan organisasi atau tempat kerja pun memiliki berbagai aturan atau ketentuan¬ketentuan yang dipandang baik dan perlu bahkan harus diperhatikan oleh setiap individu yang berada di dalamnya. Etika yang berada di lingkungan organisasi biasanya disebut juga dengan istilah etika kantor ataupun etika kerja. Etika kantor merupakan seperangkat norma yang mengatur sikap dan perilaku seseorang dalam bekerja."

Menurutnya "etika kantor tidak hanya mencakup penampilan fisik, tetapi banyak faktor lain yang mendukung individu untuk menamplkan dirinya sebagai individu yang beretika tinggi. 

Etika kantor yang dapat diterapkan dengan baik dan benar oleh setiap individu yang berada di dalam lingkungan organisasi akan dapat menciptakan citra baik bagi organisasi tersebut, dimana setiap individu yang ada didalamnya dapat menciptakan hubungan dan kerjasama yang baik, saling menghormati, mengerti dan menghargai serta menguntungkan sehingga akan tercipta hubungan dan pola kerja yang harmonis, efektif, efisien dan sinergi baik antar individu yang berada di da!am organisasi maupun dengan pihak eksternal organisasi.
***

Dalam perspektif New Public Management (NPM), tentu terdapat korelasinya dengan perilaku santun dan ramah para staf perkantoran dalam melayani warga masyarakat. NPM sendiri merupakan paradigma baru, dimana mulai mendapat banyak sorotan pada tahun 1990an setelah Christopher Hood pertama kali menggunakan istilah itu dalam tulisannya di tahun 1991 lalu, meski pada perkembangannya paradigma ini juga kerap disamakan dengan istilah-istilah lain yang berkembang setelahnya seperti Post-Bureaucratic Paradigm yang di perkenalkan Michael Barzeley pada tahun 1992, dan Reinventing Government yang di perkenalkan Osborne dan Gaebler pada tahun 1992.

Dalam paradigm lama birokrasi, khususnya dalam birokrasi perkantoran,  dengan perilaku staf perkantoran, yang tak santun, tak ramah, kaku dan berbelit-belit dalam melayani warga masyarakat, tak lagi relevan dengan konteks zaman yang modernis ini. Dimana, telah mengalami transformasi ke arah NPM. 

Perspektif NPM beranggapan bahwa, praktik manajemen sektor swasta adalah cara yang lebih baik dibandingkan dengan praktik manajemen pada birokrasi publik. Oleh karena itu, buruknya sistem manajemen dalam organisasi publik dapat diselesaikan dengan pengadopsian beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor bisnis/swasta seperti staf perkantoran yang berperilaku yang santun dan ramah layaknya performance staf perkantoran pada sektor bisnis/swasta.

Atas dasar gagasan ideal dan realistis dari NPM itu, maka tentu suksesnya pelayanan pada perkantoran, tidak hanya tergantung pada kemampuan pimpinan dalam melakukan planning, organizing, leading, dan controlling saja, tapi juga tergantung perilaku stafnya, yang santun dan rama tatkala menerima warga masyarakat, yang hendak berurusan di perkantoran itu. 

Mengakhirinya, meminjam ungkapan Mario Teguh, seorang motivator, kelahiran Kota Anging Mamiri Makassar, Sulawesi Selatan pada 5 Maret 1956, yang populer melalui karyanya “Becoming a Star” yang di publis pada tahun 2006 lalu bahwa, "tetaplah berlaku santun dan profesional, termasuk kepada orang yang biasa berlaku sebaliknya kepada anda. Ketidak-santunan orang lain tidak boleh mengurangi keindahan pribadi anda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun