Mengawalinya mengutip ungkapan Siddhārtha Gautama (800-483 SM), seorang pendiri agama Buddha bahwa, untuk menikmati kesehatan yang baik, untuk memberikan kebahagian yang nyata di dalam keluarga, untuk membawa damai, pertama-tama, seseorang harus disiplin dan mengendalikan pikiran mereka sendiri. Jika seseorang bisa mengendalikan pemikirannya dia bisa menemukan jalan keselamatan. Dan semua kebijaksanaan dan kebaikan akan datang sendirinya kepada mereka. Sang pionir agama Budha itu pun menganggap betapa pentingnya kesehatan bagi keselamatan umat manusia.
***
Terlepas dari itu, beberapa hari lalu Pemerintah melakukan persiapan, dalam rangka menetapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), untuk menghadapi penyebaran virus Corona. Tindakan Pemerintah itu direncanakan akan diiringi pula dengan kebijakan pemberlakuan darurat sipil (Darsi). Tentu Pemerintah perlu dengan saksama menimbang rencana kebijakan pemberlakuan darurat sipil itu. Pasalnya, darurat sipil diterapkan ketika terjadi kekacauan dalam aspek keamanan dan pertahanan, yang memiliki implikasi negatif terhadap integritas keutuhan negara.
Pada masa lalu di era Pemerintahan Presiden Sukarno penerapan darurat sipil pernah dilakukan, pada daerah-daerah yang memberontak hendak memisahkan diri, maupun upaya perebutan dan infiltrasi yang dilakukan negara, seperti ; DI/TII, RMS, PRRI/PERMESTA, PKI Madiun, OPM, Perebutan Irian Barat, dan konfrontasi dengan Malaysia.
Begitu juga pada era Pemerintahan Presiden Gus Dur dan Megawati Soekarno Putri penerapan daurat sipil juga pernah dilakukan, untuk menyelesaikan konflik agama dan separatis baik itu Provinsi Maluku, Maluku Utara pada tahun 2000 maupun di Provinsi Aceh pada tahun 2004.
Pada perspektif ini kita bisa menggunakan pemikiran August Comte, Émile Durkheim dan Herbet Spencer para pionir fungsionalisme structural. Oleh karena itu, dari aspek fungsional darurat sipil diperuntukan untuk menangani kekacauan dalam aspek keamanan dan pertahanan, yang memiliki implikasi negatif terhadap integritas keutuhan negara.
Hal ini sebagaimana lazimnya penerapannya pada masa lampau. Sehingga tentu jika rencana Pemerintah menerapkan daurat sipil, untuk menangani penyebaran virus Corona, tentu merupakan suatu praktik yang baru dilakukan, dan berbeda dengan penerapannya pada masa era Pemerintahan Presiden-Presiden sebelumnya.
Menurut Mahendra (2020) bahwa, penetapan darurat sipil digunakan untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan untuk mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang. Penetapan status darurat sipil mengacu pada Perppu No 23 Tahun 1959.
Dalam Perppu tentang kedaruratan sipil itu termaktub berbagai ketentuan seperti melakukan razia dan penggeledahan yang hanya relevan digunakan untuk menghadapi pemberontakan dan kerusuhan. Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi yang biasa digunakan sebagai alat untuk propaganda kerusuhan dan pemberontakan.
Senada dengan itu, Harun (2020) menilai bahwa, pemerintah salah kaprah dalam rencana penerapan darurat sipil demi menekan penyebaran Corona. Tujuan darurat sipil di Undang-Undang Keadaan Bahaya dengan darurat kesehatan di Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan berbeda.
Darurat sipil, bertujuan mengembalikan tertib sosial di masyarakat. Darurat sipil diterapkan ketika terjadi kekacauan dalam aspek keamanan dan pertahanan. Kekacauan itu juga berdampak kepada penyelenggaraan pemerintahan yang lumpuh. Karena itu diperlukan cara-cara yang represif untuk menegakkan kembali tertib sosial.
Barangkali saja Pemerintah kita melihat perkembangan penanganan penyebaran virus Corona di negara-negara sahabat di belahan benua Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin seperti ; Turki, Perancis, Arab Saudi, Pakistan, Kuwait, Yordania, India, Srilanka, Filiphina, Libya, Aljazair, Sudan, Tunisia, Paraguay, Chili, dan Equador, dimana pada negara-negara sahabat ini memberlakukan jam malam.
Sementara untuk memberlakukan jam malam dalam penanganan penyebaran virus Corona di tanah air, hanya bisa dilakukan dengan penerapan darurat sipil melalui Perppu No 23 Tahun 1959.
Dari pemikiran itu, dampak negatif dari darurat sipil jika benar-benar diterapkan oleh Pemerintah tentu ada, dimana tindakan-tindakan dari penguasa darurat sipil, melalui otoritas yang melekat padanya akan diarahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Hal ini dilakukan dengan melakjukan penyadapan, membubarkan kerumunan, hingga menghentikan jalur komunikasi.
Kondisi penerapan darurat sipil yang demikian, tidak dikehendaki rakyat dari Pemerintah, untuk menerapkan darurat sipil dalam menangani kencangnya serbuan virus Corona pada berbagai daerah di tanah air.
Opsi positifnya Pemerintah tetap merealisasikan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menghadapi penyebaran virus Corona, dengan menimbang secara baik-baik dampak positif dan negatif dari penerapan darurat sipil dalam menangani penyebaran virus yang mematikan itu.
Mengakhirinya meminjam pendapat Helen Adams Keller (1880-1968) seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat, yang pernah menjadi pemenang dari Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, dan The Presidential Medal of Freedom, bahwa, optimisme merupakan keyakinan yang membawa hasil. Tidak ada yang mampu dilakukan tanpa harapan dan percaya diri. Mari kita optimis untuk menuntaskan virus Corona. (M.J. Latuconsina).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H