Masih teringat dengan jelas kenangan saya ketika sedang membaca buku pelajaran Biologi ketika duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama. Sebuah gambar di buku tersebut menunjukkan tiga anak-anak yang sedang duduk, tapi posturnya tidak biasa. Tulang belakangnya tidak simetris.
Di bawah gambar tertulis: "3 jenis kelainan tulang belakang: lordosis, kifosis, dan skoliosis". Namun saya tidak sadar ternyata tulang belakang yang saya miliki pun sama seperti yang di gambar tersebut. Sekitar tiga tahun kemudian, barulah saya tahu ternyata saya pengidap skoliosis bawaan lahir.
Bulan Peduli Skoliosis
Bulan ini, bulan Juni, dijadikan sebagai Scoliosis Awareness Month atau Bulan Peduli Skoliosis di Amerika Serikat. Tujuan dari peringatan ini adalah untuk menyoroti pentingnya pendidikan, deteksi dini, dan juga kesadaran publik tentang skoliosis. Sayangnya di Indonesia masih belum ada hari ataupun bulan untuk memperingati kondisi ini.Â
Dikutip dari Alodokter, skoliosis adalah kondisi di mana tulang belakang melengkung berbentuk seperti huruf C atau S. Skoliosis sering ditemukan kepada anak-anak sebelum pubertas, juga terdapat kasus dimana skoliosis bawaan lahir atau keturunan. Kondisi ini pun kebanyakan dialami oleh perempuan.
Lengkungan dari tulang belakang tersebut akan diukur dalam hitungan derajat. Mereka yang memiliki derajat yang besar dapat menyebabkan gangguan pernafasan, jantung, paru-paru, ataupun kelemahan pada tungkai. Mereka yang kecil hingga sedang derajatnya biasanya merasakan rasa tidak nyaman hingga sakit pada tulang belakang.
Setiap tahunnya, angka pengidap skoliosis terus meningkat di dunia dan termasuk di Indonesia. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Malaysian Orthopaedic Journal berjudul "Prevalence Rate of Adolescent Idiopathic Scoliosis: Results of School-based Screening in Surabaya, Indonesia" menemukan bahwa:
 2,93% dari 784 remaja usia antara 9 hingga 16 tahun di Surabaya mengidap skoliosis idiopatik (yang belum diketahui penyebabnya).
Salah satu orang terkenal yang mengidap skoliosis adalah Usain Bolt yang dikenal sebagai manusia tercepat di dunia. Di Indonesia, beberapa artis yang membagikan kisahnya sebagai pengidap skoliosis adalah Nikita Mirzani, Cinta Kuya, dan Jessica Mila.
Tumor, gundukan lemak, ternyata skoliosis
Banyak dari mereka yang mengidap skoliosis tidak sadar akan kondisinya, termasuk juga saya. Dengan maksud meningkatkan kesadaran di bulan ini, saya ingin berbagi pengalaman bagaimana saya bisa mengetahui saya mengidap skoliosis.
Pertama kali ada yang sadar tentang kondisi tulang belakang saya, umur saya sekitar 7 tahun saat itu. Ibu dan juga sepupu saya melihat terdapat gundukan lemak di punggung kanan atas saya. Kebingungan pun muncul, entah itu tumor atau mungkin memang saya dulu berbadan gemuk sehingga lemak pun berpindah ke punggung saya.
Saya pun menolak dibawa ke dokter karena takut. Dengan harapan jika saya mengurangi berat badan seiringan tubuh bertumbuh, mungkin gundukan itu akan hilang. Andaikan saya mau ke dokter dulu, mungkin kondisi saya tidak seburuk ini.
Namun tanda-tanda sebenarnya sudah terlihat.Â
Sepatu saya sejak kecil selalu rusak sebelah kanannya saja. Rok sekolah yang saya pakai selalu lebih tinggi di pinggang sebelah kanan. Kerah kemaja sekolah sering merosot ke sebelah kiri.
Beberapa tahun kemudian, saya melihat sebuah unggahan di media sosial seorang perempuan yang mengidap skoliosis. Ia juga menyertai tanda-tanda yang semuanya saya miliki.
Saya akhirnya memutuskan untuk mengunjungi dokter radiologi dan hasil menunjukkan saya mengidap skoliosis dan punggung saya berbentuk huruf S. Saya lupa berapa derajat saya saat itu. Namun dokter menyatakan saya tidak perlu menggunakan korset ataupun operasi, cukup berenang dan yoga saja untuk mengurangi lengkungan tersebut.
Awalnya saya tidak terima, malu, dan berujung stress. Tidak banyak yang tahu karena saya merahasiakan ini. Namun seiringan dengan waktu, saya mulai menerima kondisi tubuh dan berusaha untuk menyembuhkannya sesuai saran dokter.
Selang berapa lama, saya menemukan ternyata skoliosis saya dikarenakan faktor genetik. Mungkin hampir 50% keluarga paternal saya mengidap skoliosis dengan bermacam-macam derajat. Banyak dari mereka juga tidak sadar akan kondisi mereka, mengira memang sakit pungggung biasa saja.
Sebagian besar kasus skoliosis tidak diketahui penyebabnya. Namun selain karena faktor genetik seperti saya, cedera, infeksi, gangguan saraf dan otot, bahkan kebiasaan postur yang buruk juga dapat menyebabkan kondisi ini.Â
Kebiasaan yang sebaiknya dihindari misalnya: duduk menyilangkan kaki, menduduki dompet, membawa barang berat apalagi hanya satu sisi saja, dan duduk atau tidur di posisi yang salah. Â
Pentingnya deteksi dini
Sama seperti penyakit apapun, deteksi dini sangatlah penting. Deteksi dini skoliosis dapat dilakukan untuk mencegah kelengkungan terus bertambah. Jika kondisi semakin parah, skoliosis dapat menimbulkan masalah kesehatan lainnya.Â
Cara untuk melakukan deteksi dini sangatlah muda.Â
Yang perlu Anda lakukan adalah membungkuk dengan kedua tangan memegang lutut dengan tangan sejajar.Â
Kemudian minta bantuan orang lain untuk meraba area punggung Anda. Untuk pengidap skoliosis seperti saya, akan terasa tulang belakang yang menonjol dan tidak simetris. Jika Anda menemukan tanda-tanda tulang belakang yang tidak simetris, segera cek ke dokter untuk memastikan.
Tersebut adalah cara yang paling mudah dan kemungkinan besar tepat. Selain itu juga bisa dilakukan dengan melihat tulang pinggang dan bahu Anda apakah sejajar. Misalnya, pinggang sebelah kanan saya lebih tinggi dibanding sisi satunya lagi. Karena ini, kaki saya lebih pendek di sisi kanan yang menyebabkan sepatu rusak sebelah saja. Â
Caraku mengurangi rasa sakit
Jika ditanya seperti apa rasanya mengidap skoliosis? Mungkin jawaban dari saya adalah: rasanya seperti sakit punggung tapi sakitnya setiap saat, setiap hari. Rasa sakitnya hilang ketika sedang tidur dan sedang berenang. Sakit terparah terjadi ketika sedang menstruasi dan setelah melakukan sebuah aktifitas (misalnya duduk, berdiri, berlutut, atau berjalan) terlalu lama.Â
Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah yang saya rasakan. Saya selalu penasaran bagaimana rasanya memiliki tulang belakang yang simetris. Apakah setiap beraktifitas tidak ada rasa sakit atau otot yang tertarik? Pasti menyenangkan. Semoga saja suatu hari saya bisa merasakannya.
Dulu setiap hari Sabtu, saya selalu pergi berenang. Tidak pernah bolos. Selang 1 tahun lebih ketika melakukan pengecekan ulang, ternyata derajat lengkungan tulang belakang saya berkurang banyak.Â
Sesuai saran dokter, berenang terbukti sangat bermanfaat untuk kesehatan tulang belakang khususnya bagi pengidap skoliosis seperti saya. Ketika di air pun rasa sakit saya hilang semuanya.
Selain berenang, saya juga mencoba yoga. Manfaat yang saya rasakan dari yoga adalah otot dan tulang belakang saya yang rasanya dipaksa diluruskan. Namun jika disuru memilih, saya tentu akan memilih berenang.
Namun sudah beberapa bulan saya tidak berenang karena pandemi Covid-19. Karena saya berenang di kolam renang umum, saya takut tertular sehingga saya tunda dulu. Maka dari itu saya kerap melakukan yoga dengan menonton video di YouTube.
Selain berenang dan yoga, berbaring lurus di lantai dan obat pereda nyeri seperti parasetamol atau ibuprofen juga membantu rasa sakit.
Saya juga menyarankan untuk para pengidap skoliosis lainnya atau mungkin untuk yang sedang menjaga kesehatan tulang belakang, belilah produk ergonomic. Produk tersebut memang dirancang untuk efisiensi dan kenyamanan tulang di lingkungan.
Rasa nyaman di tulang belakang menjadi fokus utama dari desain ini. Beberapa produk yang saya miliki misalnya keyboard, mouse, stand laptop, hingga bantal ergonomic. Carinya pun mudah, tuliskan saya "ergonomic" di e-commerce favorit Anda.
**
Ini adalah kisah saya sebagai pengidap skoliosis, yang sampai sekarang pun masih menjadi perjuangan saya. Sama seperti sebuah unggahan di media sosial tersebut, saya juga berharap tulisan ini dapat meningkatkan kesadaran akan skoliosis.Â
Deteksi dini juga sangat penting dilakukan untuk mengurangi kemungkinan derajat semakin memburuk. Jika Anda menemukan tanda-tanda kemungkinan, segeralah cek ke dokter untuk informasi dan penanganan lebih lanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H