Anak-anak yang menjadi korban dan pelaku kekerasan
Salah satu konflik berdarah yang memakan banyak korban anak-anak terjadi di Suriah.
Sejak 2011, hampir 12.000 anak terbunuh dan terluka. Ini berarti satu anak meninggal atau terluka setiap delapan jam, dalam sepuluh tahun terakhir. Angka tersebut adalah angka yang divertifikasi oleh PBB, angka yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.
Selain menjadi korban dari peperangan, anak-anak juga menjadi pelaku kekerasan sebagai child soldier atau tentara anak.
Tentara anak adalah anak di bawah usia 18 tahun yang direkrut oleh kelompok bersenjata untuk menjadi tentara, juru masak, pelaku bom bunuh diri, tameng manusia, pembawa pesan, mata-mata, hingga untuk tujuan seksual.
Di Suriah, antara tahun 2011 hingga 2020, PBB mencatat lebih dari 5.700 orang anak direkrut menjadi tentara anak.
Anak-anak yang harusnya tumbuh berkembang di lingkungan sehat dengan kasih sayangan dan penuh perhatian justru harus berhadapan dengan kekerasan dan permusuhan setiap harinya.
Sebuah kesaksian dari seorang tentara anak yang direkrut oleh angkatan bersenjata Kamboja pada tahun 1990-an ini menjelaskan motivasi anak-anak untuk bergabung:
“Saya bergabung karena orangtua saya kekurangan makanan dan saya tidak bisa sekolah… Saya khawatir tentang ranjau, tetapi apa yang dapat kami lakukan – ini adalah perintah untuk pergi ke garis depan peperangan… Saya melihat seseorang menginjak ranjau di depan saya – ia terluka dan meninggal…Saya melihat anak-anak kecil di setiap unit… Saya yakin saya akan menjadi tentara setidaknya untuk beberapa tahun lagi. Jika saya berhenti, saya tidak memiliki pekerjaan yang harus saya lakukan karena saya tidak memiliki keterampilan apa pun.”
Anak-anak yang terpengaruhi kesehatan mentalnya
Zona perang dan area konflik bisa disebut sebagai tempat paling buruk untuk kesehatan mental manusia. Banyak orang dewasa dan juga anak-anak yang mengalami gangguan stres pasca trauma, stres, dan depresi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!