Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alasan Mengapa Saya Tidak Menjadi Orang yang Sama di Media Sosial

6 Mei 2021   11:44 Diperbarui: 6 Mei 2021   15:15 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenai oversharing di media sosial | Foto diambil dari Shutterstock via Kompas

Jika saya membandingkan diri saya di kehidupan nyata dengan saya yang di media sosial, saya merasa diri saya sangatlah berbeda. 

Beberapa orang terdekat pun setuju dengan pendapat saya. Seorang teman saya pernah mengolok saya, akun media sosial saya seakan-akan sudah dibajak atau lupa kata sandi. 

Awalnya saya tipe orang yang menjadi diri sendiri di sosial media, mau post apa tinggal post saja. Namun saya memilih untuk menjadi orang yang tidak sama di media sosial setelah menonton sebuah video. Video itu menambah kesadaran saya sekaligus menimbulkan ketakutan akan bahayanya oversharing

Apa itu oversharing

Oversharing adalah perilaku dimana pengguna sosial media yang terlalu banyak membagikan informasi detail atau informasi pribadi yang tidak pantas mengenai kehidupan pribadinya atau orang lain. 

Saya masih ingat dengan jelas video yang menjelaskan bahaya dari oversharing di media sosial. Namun saya tidak menemukan video itu lagi, mungkin sudah terlalu lama.

Singkat cerita, video itu menceritakan seorang pengguna sosial media yang informasi pribadinya secara tidak langsung ia berikan kepada seorang penguntit yang kebetulan juga seorang peretas. 

Lewat informasi sederhana yang dibagikan di media sosial, peretas tersebut dapat menemukan kata sandi, alamat rumah, nomor kartu kredit, hingga anggota keluarga pengguna sosial media tersebut. 

Akhirnya saya mulai berpikir. Bukanlah tidak mungkin jika suatu hari saya berada di posisi tersebut, dimana informasi pribadi saya diketahui oleh orang yang memiliki niat jahat. Tentu sangat menyeramkan bagaimana orang yang tidak dikenal mengetahui informasi pribadi yang seharusnya hanya kita saja yang tahu. 

Informasi yang menurut kita sederhana dapat 'dijahit' oleh para peretas yang kemudian dimanfaatkan yang tentu merugikan kita. 

Bukan hanya peretas, siapa pun dengan niat jahat pun dapat 'menjahit' informasi yang kita bagikan. Setiap foto yang dipublikasikan, status yang kita bagikan, orang lain yang kita tandai di sebuah foto, dan lokasi yang kita publikasikan mengungkapkan informasi berharga tentang kehidupan kita.

Misalnya, A yang sedang liburan di luar kota mempublikasikan foto liburannya bersama keluarganya. Seorang pencuri yang sudah lama menargetkan dan menunggu rumah A dalam keadaan kosong melihat foto yang baru dipublikasikan oleh A. Informasi tersebut bagaikan mengumumkan kepada semua orang bahwa rumah A sedang kosong.

Kebiasaan oversharing di Indonesia

Sebuah penelitian yang berjudul “How to Hack a Human” dirilis oleh Tessian, sebuah perusahaan software asal Inggris yang fokus di bidang keamanan internet (dapat diakses di sini). Penelitian yang dirilis pada Februari 2021 juga mengikutsertakan peretas-peretas paling hebat di dunia.

Tessian menemukan bahwa 90% dari pengguna sosial media membagikan informasi yang berhubungan dengan kehidupan pribadi dan juga kehidupan profesionalnya. Angka ini juga lebih tinggi di antara pengguna sosial media busia 18-34 tahun.

55% pengguna sosial media juga memiliki akun yang dapat dilihat oleh publik, dimana siapapun dapat melihat informasi kita. Informasi tersebut bagaikan “debu emas” yang dapat dimanfaatkan oleh seorang peretas. 

Ipsos yang merupakan perusahaan riset pasar juga pernah merilis penelitian serupa di tahun 2013. 

Ditemukan bahwa Indonesia adalah negara kedua yang paling banyak membagikan semua hal di sosial media. 

Yang paling banyak dibagikan pengguna sosial media di Indonesia adalah foto, kemudian disusul opini, status tentang kegiatan yang sedang dilakukan, tautan ke artikel, sesuatu yang disukai, kemudian status mengenai perasaan. Walaupun penelitian itu sudah berumur 8 tahun, penulis yakin hasil tersebut masih mencerminkan keadaan sekarang di mana pengguna sosial media terus bertambah di Indonesia. 

Tangkapan layar foto Tony Abott yang memperlihatkan boarding passnya yang kemudian digunakan oleh para peretas | Foto diambil dari Gizmodo Australia
Tangkapan layar foto Tony Abott yang memperlihatkan boarding passnya yang kemudian digunakan oleh para peretas | Foto diambil dari Gizmodo Australia
Salah satu kasus mengenai bahaya oversharing ini dialami oleh Mantan Perdana Menteri Australia, Tony Abott. Ia membagikan foto boarding pass di Instagramnya dan selang beberapa detik peretas menemukan nomor paspor dan juga nomor teleponnya. Kedua informasi tersebut kemudian digunakan untuk mengakses informasi lainnya, bahkan informasi pemerintah yang sensitif.

Satu cara mudah untuk menghindari bahaya oversharing

Sebenarnya ada banyak cara untuk menghindari bahaya dari oversharing, mulai dari mengunci akun hingga membedakan akun pribadi dengan akun professional. 

Namun menurut penulis, cara paling mudah adalah dengan selalu pertimbangkan apakah konten tersebut layak dipublikasikan. Bukan hanya sekali atau dua kali, pertimbangkanlah hingga berkali-kali. 

Banyak dari kita tentu pernah merasakan amarah ketika membaca sebuah unggahan yang kita tidak setujui. Pertimbangkan terlebih dahulu, jika saya membalas komentar jahat ini, apa yang saya dapatkan? Apakah komentar saya akan memberikan dampak buruk di masa depan? Apakah ada orang yang dapat menyalahgunakan komentar ini?

Sama juga ketika kita ingin mengunggah foto di sosial media. Pertimbangkan apakah foto tersebut dapat mengekspos lokasi kita sekarang? Apakah ada informasi pribadi kita yang terlihat, misalnya nomor kartu kredit ataupun plat mobil yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain? 

Salah satu pikiran salah yang banyak dimiliki orang adalah anggapan bahwa tidak ada orang yang cukup waktu, cukup jahat, dan cukup niat untuk memanfaatkan informasi pribadi kita. Ini pemikiran yang salah karena ada banyak orang dengan niat jahat di luar sana, yang rela menghabiskan waktunya untuk meraih keuntungan dari kerugian kita. 

***

Bahaya oversharing ada alasan mengapa saya memilih untuk tidak menjadi orang yang sama di media sosial. Mungkin karena saya yang terus mempertimbangkan sebuah konten tersebut layak dipublikasikan atau tidak, akhirnya saya tidak mempublikasikannya sama sekali. 

Tulisan ini saya tulis untuk menceritakan sekaligus meningkatkan kesadaran akan bahayanya oversharing. Menurut saya, masyarakat Indonesia masih kurang sadar akan bahaya oversharing. 

Tentu tidak ada yang salah jika kita ingin mempublikan status, opini, ataupun foto keluarga di media sosial karena memang itulah gunanya media sosial dibuat. Kita berhak mempublikasikan apa yang kita mau. 

Namun jangan lupa untuk mempertimbangkan kelayakan konten yang akan dipublikasikan, jangan sampai sebuah status iseng merugikan kita di masa depan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun