Awalnya saya senang karena tujuan saya menulis artikel ini terpenuhi, yaitu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan perdagangan manusia berkedok tradisi yang melanggar Hak Asasi Manusia ini.Â
Namun ketika saya membaca 600 komentar tersebut, saya berhasil merangkum ratusan komentar tersebut menjadi empat macam, yaitu:
1. Komentar dari mereka yang mengutuk perdagangan perempuan. Banyak juga komentar yang mengikutsertakan pengalaman bahkan solusi agar masalah ini tidak terus terjadi.Â
2. Komentar dari mereka yang menyetujui perdagangan perempuan. Alasannya juga bermacam-macam, tetapi kebanyakan berhubungan dengan SARA dan gender.Â
3. Komentar dari mereka yang setuju bahwa panggilan amoy sekarang sering kali disalahgunakan dengan stigma yang negatif. Lucunya komentar ini juga dibuktikan dengan komentar yang langsung mempraktikkan maksud dari stigma negatif ini.Â
4. Komentar dari mereka yang tidak setuju bahwa panggilan amoy ini sering kali disalahgunakan dengan stigma yang negatif. Alasannya bermacam-macam, dimana kebanyakan berdasarkan pengalaman seperti: "saya biasa dipanggil atau saya biasa mendengar panggilan amoy biasa saja" atau "saya memanggil perempuan keturunan Tionghoa amoy karena mereka cantik".Â
Menurut saya, itulah resiko ketika mengemukakan pendapat lewat tulisan yang dapat diakses oleh siapa saja dan dimana saja. Saya juga senang membaca komentar yang memberi masukan atau pengalaman yang membuat tulisan saya tersebut ataupun tulisan saya di masa depan semakin lebih baik.Â
Dua hasil penelitian ilmiah
Dari ratusan komentar tersebut, saya juga mendapatkan komentar bernada kasar netizen yang mengungkapkan ketidaksetujuannya kepada tulisan saya dan juga diri saya selaku penulis.Â
Saya tentu tidak berani membalas komentar tersebut karena takut digeruduk massa. Saya juga menghapus aplikasi Facebook di telepon genggam saya karena saya tidak bisa berhenti membaca komentar tersebut.Â
Awalnya saya sedih, sakit hati, dan galau, tetapi saya gunakan kesempatan ini untuk membuktikan dua hasil survei mengenai netizen negara kita, yaitu:
1. Rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Hasil survei yang dilakukan Programme for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2019 menujukkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat literasi ke-74 dari 79 negara.Â