Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Lebih Pedas Omongan Tetangga atau Omongan Netizen?

3 Mei 2021   19:32 Diperbarui: 3 Mei 2021   20:14 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar dari artikel "Perdagangan Perempuan di Balik Pengantin Pesanan "Amoy" di Kalimantan Barat" | Foto diambil dari Facebook/Kompasiana

Dua puluh tahunan dalam hidup saya sepertinya saya sudah cukup berpengalaman merasakan asam, pedas, manis, asin, dan pahitnya omongan tetangga. 

Bukan saja dari omongan tetangga sebelah rumah keluarga, namun juga terdapat omongan tetangga kamar kos, tetangga kamar asrama, tetangga meja sekolah, dan juga tetangga meja kerja. 

Namun dalam diary saya yang kedua di tahun 2021 ini, saya akan menuliskan pengalaman merasakan pedasnya omongan dari netizen. Pengalaman ini pun masih panas seperti ayam goreng yang baru keluar dari penggorengan. 

Saya juga menjadikan diri sendiri sebagai kelinci percobaan untuk membandingkan dan menjawab "lebih pedas mana, omongan tetangga atau omongan netizen?". 

18.000, 600, dan 669

Pada tanggal 24 April 2021, saya menyempatkan diri untuk menuliskan salah satu permasalahan sosial yang sudah lama ingin saya tuliskan. Artikel itu berjudul "Perdagangan Perempuan di Balik Pengantin Pesanan "Amoy" di Kalimantan Barat". 

Masalah ini pun sangat dekat dengan saya, dimana terdapat anggota keluarga, teman masa kecil, dan tetangga saya yang menjadi korban dari perdagangan manusia ini. Selain itu, sebelum menulis saya pun sudah bertanya kepada puluhan perempuan akan stigma negatif dari panggilan amoy. 

Lewat tulisan itu pun saya berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, bahwa masalah yang sudah terjadi dari zaman kakek nenek saya ini sebenarnya masih ada hingga sekarang. Hal ini pun didukung dengan laporan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kepolisian Kalimantan Barat. 

Artikel ini kemudian menjadi Artikel Utama dan juga foto sampulnya diganti oleh admin menjadi foto yang mungkin dianggap lebih relevan dan juga menjelaskan permasalahan ini. 

Namun beberapa hari setelah artikel tersebut saya tayangkan, views mendadak naik. Hingga artikel ini ditulis, total views dari artikel tersebut adalah 28.892 views. Awalnya saya bingung dan berpikir, "wah siapa yang baik hati mengirimkan saya robot views?". 

Saya pun iseng mencari judul artikel di Facebook. Ternyata artikel saya banyak disukai, dikomentari, dan juga dibagikan oleh netizen. Ketika artikel ini ditulis, total like sebanyak 18.000 dengan total share sebanyak 669 dan total komentar sebanyak 600 (dapat dibaca disini).

Empat macam

Awalnya saya senang karena tujuan saya menulis artikel ini terpenuhi, yaitu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan perdagangan manusia berkedok tradisi yang melanggar Hak Asasi Manusia ini. 

Namun ketika saya membaca 600 komentar tersebut, saya berhasil merangkum ratusan komentar tersebut menjadi empat macam, yaitu:

1. Komentar dari mereka yang mengutuk perdagangan perempuan. Banyak juga komentar yang mengikutsertakan pengalaman bahkan solusi agar masalah ini tidak terus terjadi. 

2. Komentar dari mereka yang menyetujui perdagangan perempuan. Alasannya juga bermacam-macam, tetapi kebanyakan berhubungan dengan SARA dan gender. 

3. Komentar dari mereka yang setuju bahwa panggilan amoy sekarang sering kali disalahgunakan dengan stigma yang negatif. Lucunya komentar ini juga dibuktikan dengan komentar yang langsung mempraktikkan maksud dari stigma negatif ini. 

4. Komentar dari mereka yang tidak setuju bahwa panggilan amoy ini sering kali disalahgunakan dengan stigma yang negatif. Alasannya bermacam-macam, dimana kebanyakan berdasarkan pengalaman seperti: "saya biasa dipanggil atau saya biasa mendengar panggilan amoy biasa saja" atau "saya memanggil perempuan keturunan Tionghoa amoy karena mereka cantik". 

Menurut saya, itulah resiko ketika mengemukakan pendapat lewat tulisan yang dapat diakses oleh siapa saja dan dimana saja. Saya juga senang membaca komentar yang memberi masukan atau pengalaman yang membuat tulisan saya tersebut ataupun tulisan saya di masa depan semakin lebih baik. 

Dua hasil penelitian ilmiah

Dari ratusan komentar tersebut, saya juga mendapatkan komentar bernada kasar netizen yang mengungkapkan ketidaksetujuannya kepada tulisan saya dan juga diri saya selaku penulis. 

Saya tentu tidak berani membalas komentar tersebut karena takut digeruduk massa. Saya juga menghapus aplikasi Facebook di telepon genggam saya karena saya tidak bisa berhenti membaca komentar tersebut. 

Awalnya saya sedih, sakit hati, dan galau, tetapi saya gunakan kesempatan ini untuk membuktikan dua hasil survei mengenai netizen negara kita, yaitu:

1. Rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Hasil survei yang dilakukan Programme for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2019 menujukkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat literasi ke-74 dari 79 negara. 

Ini dapat dibuktikan dengan komentar yang tidak berhubungan dengan artikel, komentar yang mempertanyakan apa yang sudah dijelaskan di artikel, dan juga komentar yang hanya fokus pada gambar, kesimpulan, dan juga judul artikel. 

2. Rendahnya tingkat kesopanan netizen Indonesia. Hasil survei Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan bahwa netizen Indonesia adalah netizen paling tidak sopan di Asia Tenggara, dengan tingginya berita bohong, ujaran kebencian, dan juga diskriminasi. 

***

Lewat pengalaman berharga ini, saya menemukan bahwa lebih pedas omongan netizen daripada omongan tetangga. Berbeda dengan netizen, setidaknya tetangga saya pernah melihat bentukan saya dan juga mengenal saya. 

Saya yakin mereka yang berkomentar juga memiliki pendapatnya sendiri, sama seperti saya. Saya juga sangat terbuka akan pendapat dari mereka yang membaca tulisan saya. Namun sangat disayangkan jika disampaikan dengan nada kasar, apalagi sampai membawa SARA dan juga gender seseorang. 

Menutup artikel curhatan receh ini, saya mengutip artikel Pak Katedrarajawen yang berjudul "Penulis (Tak) Bernyali": 

"Ketika memutuskan untuk menulis di sosial media ini. Kita tidak bisa menahan orang lain untuk tidak menghina atau meremehkan kita. Namun kita bisa menahan diri untuk menghadapi semua itu dengan lapang dada dan terus menulis. Tunjukkan bahwa kita punya nyali". 

Terima kasih Romo Bobby yang sudah mendengar curhatan saya dan menginspirasi saya untuk menuliskan curhatan tersebut menjadi artikel ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun