Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesetaraan Gender Juga untuk Kepentingan Laki-laki dan Butuh Laki-Laki

3 April 2021   19:49 Diperbarui: 3 April 2021   19:52 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang laki-laki yang ikut berdemonstrasi ketika Women's March Jakarta pada tahun 2018 | Foto diambil dari UltiMagz
Seorang laki-laki yang ikut berdemonstrasi ketika Women's March Jakarta pada tahun 2018 | Foto diambil dari UltiMagz

Patriaki juga merugikan laki-laki

Sistem sosial patriaki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki dalam posisi pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran ekonomi, politik, sosial hingga di dalam sebuah keluarga. Sistem sosial ini tentu merugikan perempuan, dimana perempuan diposisikan dibawah laki-laki dan dianggap sebagai pendamping laki-laki.  

Namun secara tidak sadar, sistem patriaki juga merugikan laki-laki. Sama seperti perempuan, laki-laki juga diharapkan untuk masuk kedalam ‘kotak’ yang dibentuk oleh norma masyarakat. 

Ketika seorang laki-laki lahir, ia langsung dilekatkan dengan sifat maskulin yang dianggap ideal atau ‘cowo banget’. Masih kecil pun anak laki-laki yang memilih bermain boneka dan masak-masakan (yang lekat akan sifat feminim) dan menggunakan pakaian berwarna pink sudah dianggap aneh. 

Laki-laki seakan-akan diharuskan untuk menjadi sosok yang kuat, tangguh, gagah berani, macho, tidak cengeng dan diharuskan membahas tentang senjata, politik, perang, dll. Ketika seorang laki-laki tidak mencerminkan stereotip gender tersebut, tidak jarang laki-laki disebut ‘banci’.

Tentu tidak salah jika seorang laki-laki tumbuh dengan sifat maskulin dan ingin hidup sesuai norma tersebut, namun bagaimana dengan mereka yang tidak bisa atau tidak mau? Mereka dianggap aneh, dikucilkan bahkan menjadi korban perundungan. 

Hal ini menyebabkan toxic masculinity. Bukan hanya beracun untuk orang lain, hal ini juga beracun untuk dirinya sendiri ketika ia memendam masalahnya terus menerus dan akhirnya menjadi bom waktu.

Penulis yakin norma-norma tersebut mudah ditemukan di sekitar kita, seperti: laki-laki yang dianggap gagal karena gajinya lebih rendah daripada istri, yang lebih memilih mengurus rumah dan anak dibanding bekerja, ketika laki-laki mengekspresikan emosinya dengan menangis, laki-laki tidak boleh lemah hingga tidak boleh menggunakan pakaian berwarna pink.

***

Argumen ketika laki-laki tidak mendukung kesetaraan gender karena hanya menguntungkan perempuan bukan hanya salah, namun juga berbahaya dan merugikan untuk perempuan dan dirinya sendiri. 

Laki-laki memiliki peran yang penting dalam meraih kesetaraan gender. Hanya melalui hal-hal sederhana, seperti membuka perbincangan mengenai kesetaraan gender, dapat memberikan dampak yang luar biasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun