Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesetaraan Gender Juga untuk Kepentingan Laki-laki dan Butuh Laki-Laki

3 April 2021   19:49 Diperbarui: 3 April 2021   19:52 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang laki-laki yang ikut berdemonstrasi ketika Women's March Jakarta pada tahun 2017 | Foto diambil dari Twitter/@rappleridntimes

Bukan hanya perempuan, juga banyak laki-laki yang mengalami ketidakadilan karena identitas gendernya. Sayangnya laki-laki tidak sadar telah menjadi korban dari ketidakadilan gender, justru mewajarkan ketidakadilan tersebut sebagai sebuah norma di masyarakat.

Dikarenakan kurangnya kesadaran tersebut, penulis kerap menemukan laki-laki yang 'angkat tangan' dengan argumen bahwa kesetaraan gender hanya mementingkan perempuan. Namun sadarkah kalian, para laki-laki yang 'angkat tangan', perjuangan akan kesetaraan gender butuh andil kalian dan juga untuk kepentingan kalian?  

Pemikiran dan tindakan yang berbahaya

Dikutip dari United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF), kesetaraan gender adalah keadaan ketika perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki, menikmati hak, sumber daya, peluang dan perlindungan yang sama.

Jika Anda mencari program-program pemerintah maupun organisasi non-pemerintah, 'gender' dalam 'kesetaraan gender' kerap diasosiasikan dengan perempuan. Anda dapat dengan mudah menemukan program yang fokus dalam hak-hak wanita di bidang ekonomi, sosial maupun politik.

Menurut penulis ini sesuai dengan fakta di lapangan, bagaimana perempuan masih kerap mengalami diskriminasi hanya karena ia adalah perempuan. Dari pemerkosaan, pelecahan seksual (termasuk cat-calling), femisida, tidak mendapatkan akses akan pendidikan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga eksploitasi seks jelas menunjukkan bagaimana ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.

Banyak laki-laki yang mendukung dan berusaha dalam mencapai kesetaraan gender di antara masyarakat Indonesia. 

Sayangnya, mungkin dikarenakan oleh kenyataan diatas, penulis juga banyak menemukan laki-laki di sosial media maupun di kehidupan sehari-hari yang justru tidak mendukung kesetaraan gender karena dianggap hanya menguntungkan perempuan. 

Penulis termasuk mereka yang mengambil bagian dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender. Penulis kerap dicap sebagai feminazi (sindiran untuk kaum feminis yang dipandang radikal) hingga anti laki-laki.

Pemikiran dan tindakan seperti itu berbahaya karena 2 alasan: laki-laki memiliki peran penting dalam usaha mencapai kesetaraan gender dan kesetaraan gender juga untuk kepentingan laki-laki.  

Laki-laki sebagai aktor penting dalam mencapai kesetaraan

Dikutip dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pertemuan ASEAN Women Leader Summit (12/11/20) bahwa isu kesetaraan gender tidak memandang laki-laki atau perempuan karena isu kesetaraan gender adalah isu bersama. 

Menlu Retno Marsudi juga menambahkan akan pentingnya membangun kemitraan dengan lingkungan termasuk dengan laki-laki yang sangat penting dalam isu kesetaraan gender.

Sebuah cerita inspiratif datang dari Kokok Dirgantoro. Pada tahun 2004, Kokok sangat khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun dalam kondisi lemas dan rentan keguguran, istrinya tidak mendapatkan keringanan dari kantor dan hanya mendapatkan cuti melahirkan selama 1,5 bulan.

Diceritakan di salah satu postingannya, Kokok berkata kepada istrinya ia akan mendirikan sebuah perusahaan yang memberikan cuti melahirkan selama 6 bulan. Pada tahun 2013, Kokok mendirikan sebuah perusahaan dan menepati janji tersebut. 

Kokok hingga sekarang dikenal akan kebijakan cuti melahirkan tersebut dan juga cuti bagi ayah untuk ikut mendampingi istri membesarkan anak. Kokok Dirgantoro adalah salah satu dari banyak laki-laki yang ikut serta menjadi aktor dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

Laki-laki yang berperan dalam isu ini pun mudah kita temukan di kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah seorang Ayah yang adil dalam memberikan akses akan pendidikan kepada anak perempuannya. 

Menurut penulis dalam kasus tersebut, seorang Ayah sebagai laki-laki telah sukses melawan stereotipe gender di masyarakat kita yang menonomorduakan perempuan.

Harus mulai dari mana? 

Ketika membahas peran penting laki-laki dalam kesetaraan gender, Nur Hasyim selaku pendiri Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) pertanyaan yang kerap ditanyakan adalah “kita harus memulai dari mana?”.

Yang paling pertama dan paling dasar adalah dengan mengakui bahwa laki-laki memang memiliki privilege atau perlakuan istimewa yang selama ini diberikan oleh budaya dan masyarakat setempat. Perlakuan istimewa ini secara tidak sadar memberikan akses akan hak istimewa yang tidak adil untuk perempuan.

Mulailah dari lingkungan sekitar dengan tindakan yang sederhana. Laki-laki dapat berkontribusi dalam membuka ruang untuk mendiskusikan kesetaraan gender. 

Bukan hanya menikmati kopi sambil berdiskusi perihal pertandingan bola, diskusi ini diharapkan dapat saling mengingatkan, mengedukasi, mengedukasi dan juga mencontohkan cara yang benar dalam isu kesetaraan gender. Hal sederhana seperti sebuah diksusi ini sangat berguna dalam meningkatkan kesadaran antara laki-laki.

Bukan hanya menghargai hak-hak perempuan dan meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender, laki-laki juga dapat mengkritik sistem sosial patriaki yang merugikan perempuan dan juga laki-laki.

Seorang laki-laki yang ikut berdemonstrasi ketika Women's March Jakarta pada tahun 2018 | Foto diambil dari UltiMagz
Seorang laki-laki yang ikut berdemonstrasi ketika Women's March Jakarta pada tahun 2018 | Foto diambil dari UltiMagz

Patriaki juga merugikan laki-laki

Sistem sosial patriaki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki dalam posisi pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran ekonomi, politik, sosial hingga di dalam sebuah keluarga. Sistem sosial ini tentu merugikan perempuan, dimana perempuan diposisikan dibawah laki-laki dan dianggap sebagai pendamping laki-laki.  

Namun secara tidak sadar, sistem patriaki juga merugikan laki-laki. Sama seperti perempuan, laki-laki juga diharapkan untuk masuk kedalam ‘kotak’ yang dibentuk oleh norma masyarakat. 

Ketika seorang laki-laki lahir, ia langsung dilekatkan dengan sifat maskulin yang dianggap ideal atau ‘cowo banget’. Masih kecil pun anak laki-laki yang memilih bermain boneka dan masak-masakan (yang lekat akan sifat feminim) dan menggunakan pakaian berwarna pink sudah dianggap aneh. 

Laki-laki seakan-akan diharuskan untuk menjadi sosok yang kuat, tangguh, gagah berani, macho, tidak cengeng dan diharuskan membahas tentang senjata, politik, perang, dll. Ketika seorang laki-laki tidak mencerminkan stereotip gender tersebut, tidak jarang laki-laki disebut ‘banci’.

Tentu tidak salah jika seorang laki-laki tumbuh dengan sifat maskulin dan ingin hidup sesuai norma tersebut, namun bagaimana dengan mereka yang tidak bisa atau tidak mau? Mereka dianggap aneh, dikucilkan bahkan menjadi korban perundungan. 

Hal ini menyebabkan toxic masculinity. Bukan hanya beracun untuk orang lain, hal ini juga beracun untuk dirinya sendiri ketika ia memendam masalahnya terus menerus dan akhirnya menjadi bom waktu.

Penulis yakin norma-norma tersebut mudah ditemukan di sekitar kita, seperti: laki-laki yang dianggap gagal karena gajinya lebih rendah daripada istri, yang lebih memilih mengurus rumah dan anak dibanding bekerja, ketika laki-laki mengekspresikan emosinya dengan menangis, laki-laki tidak boleh lemah hingga tidak boleh menggunakan pakaian berwarna pink.

***

Argumen ketika laki-laki tidak mendukung kesetaraan gender karena hanya menguntungkan perempuan bukan hanya salah, namun juga berbahaya dan merugikan untuk perempuan dan dirinya sendiri. 

Laki-laki memiliki peran yang penting dalam meraih kesetaraan gender. Hanya melalui hal-hal sederhana, seperti membuka perbincangan mengenai kesetaraan gender, dapat memberikan dampak yang luar biasa. 

Isu kesetaraan gender bukanlah isu perempuan, namun isu kita bersama, sebuah isu hak asasi manusia. 

Penulis ingin menutup tulisan ini dengan beberapa bagian dari pidato aktris sekaligus aktivis perempuan Emma Waston:

"Saya banyak melihat laki-laki muda yang menderita dan tidak dapat meminta bantuan karena takut akan membuat mereka terlihat kurang macho. Kita jarang membicarakan laki-laki yang dipenjara stereotip gender, tapi itu adalah kenyataan dan ketika mereka bebas dari stereotip tersebut maka nasib perempuan juga akan berubah. 

Lakukan bukan hanya untuk anak perempuan, saudara perempuan dan ibumu namun juga untuk anak laki-lakimu. Tanyakan pada diri Anda sendiri: jika bukan saya, siapa? jika bukan sekarang, kapan?"

Sumber: 1, 2, 3 dan 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun