Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa akhirnya saya pun akan menulis artikel di kategori Diary. Bukannya tidak suka, saya selalu merasa hidup saya biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial jika dibandingkan dengan Diary milik penulis lainnya.
Namun di hari yang ke-140 saya menulis di Kompasiana, saya memutuskan untuk menulis artikel Diary ini.
Aku
Tahun 2020 adalah salah satu tahun ter-roller-coaster untuk saya. Tahun 2020 disambut dengan sidang skripsi yang sudah saya persiapkan beberapa bulan sebelumnya. Saya tidak merasakan beban ketika menulis skripsi, mungkin karena judulnya adalah gabungan dari 5 hal yang saya sukai: Hak Asasi Manusia, hak wanita, Perang Dunia II, Korea Selatan dan Jepang.
Pencapaian yang saya banggakan pun terjadi selang tidak lama sejak sidang skripsi. Hasil penelitian saya diminta untuk ditulis ulang dan diterbitkan di salah satu jurnal Hubungan Internasional di Indonesia.
Untuk mengejar rasa penasaran menjadi wanita karir, saya pun tidak membuang banyak waktu untuk mencari pekerjaan dan saya mendapatkannya di bulan Februari. Hari-hari pun saya lalui seperti karyawan biasanya.
Berita-berita mengenai pandemi Covid-19 pun mulai mewarnai berita di Indonesia. Saya termasuk ke dalam mereka yang ikut panic buying. Work From Home pun mulai diterapkan dan saya memutuskan pulang ke kampung halaman.
Desas-desus dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun mulai terdengar diantara karyawan. Akhir bulan April saya pun resmi menjadi korban PHK karena pandemi Covid-19.
Setelah itu saya pun mulai mencari pekerjaan baru. Entah sudah ratusan lamaran pekerjaan yang sudah saya kirimkan. Berbagai penolakan pun sudah pernah saya rasakan. Saya yang saat itu di Kalimantan dan belum bisa kembali ke Ibu Kota untuk proses wawancara pun menjadi salah satu alasan saya sulit mencari pekerjaan. Saya belum bisa kembali karena alasan kesehatan.
6 bulan saya mencari dan saya tidak mendapatkan pekerjaan. Saya pun menganggap ini sebagai kegagalan terbesar dalam hidup. Ketika teman kampus posting tentang pekerjaannya di Instagram, saya jadi cemas akan masa depan. Saya merasakan bagaimana pikiran negatif memakan saya hidup-hidup.
Setelah berdiskusi dengan keluarga dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya putuskan untuk beristirahat dari proses mencari pekerjaan. Rehat sejenak sambil menunggu situasi pandemi membaik dan menghabiskan waktu berharga bersama keluarga saya di Kalimantan.
Kompasiana
Hobi saya sejak kecil adalah membaca dan menulis. Untuk menghabiskan waktu luang, pada bulan November saya mulai mencari di google, dimana saya bisa menulis sesuka hati saya dan saya menemukan Kompasiana.
Saya adalah lawan kata dari percaya diri. Sebelum menulis di K pun saya takut dan merasa tulisan saya sangat buruk. Saya ingat betul ketika saya mencari di google “mengapa saya harus mulai menulis?” dan saya menemukan kalimat yang kurang lebih berarti: “dibanding memendam sendiri sebuah ide tulisan, lebih baik dituliskan walau hanya satu orang saja yang membaca”.
Saya pun mulai menulis untuk “satu orang” tersebut, siapapun itu, hingga sekarang.
Pada 6 Desember 2020, Kak Guido mengirimkan sebuah pesan yang berisi mengajak saya bergabung dengan Inspirasiana. Sifat introvert saya pun bergejolak, ingin menolak ajakan tersebut.
Namun saya pikir tidak ada ruginya. Jika tidak cocok, saya akan meninggalkan grup tersebut secepat kilat. Saat itu saya masih belum sadar akan betapa berharganya Inspirasana untuk penulis pemula seperti saya.
Saya pernah membaca seorang penulis yang berpendapat bahwa munafik bila seseorang menggunakan alasan mencari teman ketika menulis di K. Mungkin saya termasuk kedalam mereka yang dianggap munafik. Mereka yang kerap memberikan komentar, dorongan dan dukunganlah yang membuat saya menulis hingga sekarang.
Kata Netizen
Kemarin (31/03/20), tim Kompasiana menanyakan saya apakah bersedia mewakilkan netizen dan blogger di acara "Kata Netizen" yang akan ditayang di KompasTV.
Saya teringat akan Mba Dwi Klarasari yang beberapa minggu lalu menyatakan, sambil bercanda tentunya, akan harapannya anggota Inspirasiana bisa tampil di televisi.
Berbagai persiapan saya lakukan, dari mencari data hingga menyusun kalimat yang ingin saya sampaikan. Dengan topik hate speech dan cat-calling, saya ingin membagikan pengalaman saya yang dulu sering di cat-calling ketika pulang sekolah menggunakan seragam. Saya juga ingin menyampaikan pengalaman saya sebagai seorang blogger bagaimana melawan hoax.
Namun karena sinyal internet yang tidak stabil, perbedaan topik dan juga batas waktu, saya tidak dapat menyampaikan pengalaman tersebut. Dipenuhi dengan rasa grogi dan tidak percaya diri, saya menyesal seharusnya saya dapat mengemukakan lebih banyak pendapat saya. Saya pun mengerti maksud dari kalimat "lebih mudah menulis dibanding berbicara".
Mewakilkan Kompasianer di acara "Kata Netizen" adalah sebuah pengalaman berharga bagi penulis pemula seperti saya.
Karena saya menulis di Kompasiana, saya mendapatkan kesempatan yang mungkin hanya datang sekali seumur hidup. Bahkan untuk bermimpi dan berandai-andai tampil di televisi pun sebelumnya saya tidak berani.
Setelah giliran saya kemarin, di minggu-minggu depannya akan menjadi giliran Kompasianer lainnya untuk tampil di televisi mewakilkan kita semua.
Lewat tulisan ini saya juga ingin meminta maaf kepada Kompasianer lainnya apabila salah ucap ataupun pendapat saya yang mungkin tidak mewakilkan seluruh Kompasianer mengenai topik yang dibicarakan di acara tersebut kemarin.
Saya percaya perjalanan saya masih panjang dan saya ingin terus belajar.
***
Terima kasih kepada Mas Kamil yang sudah memberikan saya kesempatan dan juga membantu saya.
Terima kasih keluarga Inspirasiana yang selalu mendukung lewat doa maupun ucapan kepada saya selama ini.
Terima kasih juga untuk Kompasianer lainnya, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan receh saya selama ini. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H