Mohon tunggu...
Jeniffer Gracellia
Jeniffer Gracellia Mohon Tunggu... Lainnya - A lifelong learner

Menulis dari Kota Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengunjungi Saksi Bisu dari Dua Peristiwa Terkelam dalam Sejarah Thailand

14 April 2021   09:00 Diperbarui: 26 April 2022   04:58 1955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Universitas Thammasat | Foto milik pribadi

Beberapa tahun lalu dalam rangka studi banding, penulis berkesempatan mengunjungi salah satu universitas paling bersejarah di Thailand. Adalah Universitas Thammasat yang menjadi saksi bisu dari 2 kejadian kelam yang banyak memakan nyawa para demonstran yang kebanyakan adalah mahasiswa dari Universitas Thammasat. 

Hingga sekarang, kedua hari tersebut bahkan dikenal sebagai "Hari Kesedihan Besar" dan kejadian paling kelam dalam sejarah Thailand. Masa lalu dari pembantaian terjadi 45 tahun yang lalu meninggalkan bekas mendalam bagi masyarakat Thailand, begitu juga kepada penulis.

Universitas Thammasat tidak jauh berbeda dengan universitas lainnya di Jakarta | Foto milik pribadi
Universitas Thammasat tidak jauh berbeda dengan universitas lainnya di Jakarta | Foto milik pribadi

Universitas Thammasat

Anda mungkin dapat membayangkan Universitas Thammasat mirip dengan Universitas Trisakti, bagaimana sebuah lembaga pendidikan menjadi sebuah "garis depan" antara demonstran yang kebanyakan adalah mahasiswa dan pihak yang berwenang seperti polisi ataupun tentara.

Universitas Thammasat berdiri pada 27 Juni 1934 berjalan dibawah filosofi "mengajar mahasiswa untuk mencintai dan menghargai demokrasi". Tidak heran mahasiswa, lulusan hingga pengajar dari universitas kedua tertua di Thailand kerap terlibat dalam politik Thailand. 

Universitas Thammasat menjadi saksi bisu dari dua kejadian memilukan yang saling berhubungan, yaitu Pemberontakkan Thailand 14 Oktober 1973 dan Pembantaian 6 Oktober 1976 yang dilatarbelakangi oleh kekuasaan Mantan Perdana Menteri Thanom Kittikachorn. 

Thanom Kittikachorn pada tahun 1960 | Foto diambil dari Wikipedia
Thanom Kittikachorn pada tahun 1960 | Foto diambil dari Wikipedia

Siapa Thanom Kittikachorn?

Dikutip dari artikel Tirto (10/10/17), Mantan Perdana Menteri Thailand Thanom Kittikachorn disebut sebagai Soeharto-nya Thailand. 

Jika melihat latar belakang dan juga sejarah perjalanan Thanom, sebenarnya kedua tokoh penting politik di Asia Tenggara tersebut memiliki beberapa persamaan seperti: latar belakang militer, sangat anti-komunisme dan dijatuhkan oleh mahasiswa. 

Kebijakan yang dilakukan Thanom pun memiliki dasar-dasar seperti nasionalisme yang tinggi, anti-komunisme sekaligus membuka diri terhadap pengaruh global. 

Thanom yang sangat anti-komunisme saat itu meminta bantuan Amerika Serikat yang saat itu memang sedang menjalankan kebijakan anti-komunis di Indocina. Bantuan pun diberikan dengan pendirian basis-basis militer Amerika Serikat di Thailand. 

Dimulai pada tahun 1963, ia kemudian terpilih lagi menjadi Perdana Menteri pada pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1969. Namun kepopulerannya menurun dengan semakin meningkatnya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan dalil mengurangi komunisme dan budaya Korupsi dan Nepotisme.

https://en.wikipedia.org/wiki/1973_Thai_popular_uprising#/media/File:1973_thai_students_uprising_Ratchadamnoen_Avenue.jpgRibuan mahasiswa yang berkumpul di Ratchadamnoen Avenue untuk berdemonstrasi | Foto diambil dari Wikipedia
https://en.wikipedia.org/wiki/1973_Thai_popular_uprising#/media/File:1973_thai_students_uprising_Ratchadamnoen_Avenue.jpgRibuan mahasiswa yang berkumpul di Ratchadamnoen Avenue untuk berdemonstrasi | Foto diambil dari Wikipedia

Demonstrasi 14 Oktober 1973

Masyarakat Thailand yang diwakilkan oleh mahasiswa pun mulai melakukan demonstrasi, dipicu dengan meningkatnya aktivisme mahasiswa yang terinspirasi oleh ideologi sosialisme demokratis, ketidaksetujuan akan kebijakan pemerintah yang pro-Amerika Serikat yang kapitalis dan banyaknya aktivis yang ditangkap oleh pemerintah Thanom. 

Puncak dari demonstrasi tersebut berujung dengan Demonstrasi 14 Oktober 1973 yang memakan sebanyak 77 nyawa dan 857 luka-luka. Sebagian besar dari korban tersebut adalah mahasiswa dari Universitas Thammasat. 

Demonstrasi yang meninggalkan banyak korban ini membuat Raja Thailand Bhumibol mengutuk keras kegagalan pemerintah Thanom dalam mengendalikan massa. Akhirnya Thanom meninggalkan jabatannya yang kemudian diberikan kepada Sannya Dharmasakti yang saat itu adalah Dekan Fakultas Hukum di Universitas Thammasat. 

Kepergian Thanom yang mengungsi ke Amerika Serikat dan Singapura setelah kehilangan kekuasannya menjadi tanda dari awal demokrasi dan bebasnya Thailand dari pemerintah militer yang otoriter. Demonstrasi ini juga menjadi awal dari meningkatnya kekuatan aktivisme mahasiswa di Thailand. 

14 Oktober kemudian dikenang dengan "Hari Kesedihan Besar", melahirkan sebuah peristiwa sejarah penting dan menjadi titik balik dari politik Thailand. Pemberontakan ini berhasil mengubah sistem politik menjadi demokrasi dengan berakhirnya pemerintahan junta Militer yang saat itu dipimpin oleh Thanom Kittikachorn. 

Surat kabar Dao Siam yang menunjukkan foto dramatisasi pengantungan aktivis yang mirisnya mirip dengan anggota kerajaan|Foto diambil dari Practhai
Surat kabar Dao Siam yang menunjukkan foto dramatisasi pengantungan aktivis yang mirisnya mirip dengan anggota kerajaan|Foto diambil dari Practhai

Dua latar belakang dibalik Pembantaian 6 Oktober 1976

Sayangnya, demokrasi tidak bertahan lama. Keadaan dalam negeri semakin memburuk karena inflasi dan kekurangan beras. Kekuatan komunisme pun semakin kuat di negara-negara tetangga. Terdapat dua latar belakang dari Pembantaian 6 Oktober, yaitu:

1. Kepulangan Thanom dari Singapura karena militer dan monarki yang panik akan meningkatnya kekuatan komunisme. 

Thanom pun kembali kemudian ditahbiskan sebagai seorang biksu. Tidak setuju, mahasiswa pun marah besar dengan berunjuk rasa di depan Universitas Thammasat.

2. Sebuah kejadian yang (mungkin) tidak disengaja, yaitu seorang aktivis yang wajahnya mirip dengan Putra Mahkota (sekarang Raja) Vajiralongkorn. 

Pada 25 September, dua orang aktivis memasang foto anti-Thanom yang kemudian dipukuli sampai tewas dan digantung di tembok oleh polisi Thailand. Hal ini meningkatkan amarah para demonstran.

Pada 4 Oktober, di Universitas Thammasat, terdapat sebuah dramatisasi penggantungan tersebut dengan maksud menyindir polisi. Dramatisasi ini banyak ditonton oleh masyarakat. Para jurnalis pun berhasil menangkap dramatisasi tersebut dalam sebuah foto. 

Mirisnya, ternyata mahasiswa yang menjadi pameran utama dramatisasi tersebut memiliki wajah yang dengan Putra Mahkota Vajiralongkorn. Hal ini pun menghebohkan Thailand, dengan penampilan foto tersebut di halaman depan surat kabar Dao Siam.

Tentara segera menuduh para mahasiswa di Universitas Thammasat menghina monarki, melanggar lese-majeste (hukum yang melindungi anggota kerajaan) dan melayangkan perintah untuk "membunuh komunis".

Para demonstran yang dikumpulkan di lapangan Universitas Thammasat | Foto diambil dari SCMP
Para demonstran yang dikumpulkan di lapangan Universitas Thammasat | Foto diambil dari SCMP

Universitas Thammasat menjadi lautan darah

Setelah perintah tersebut, polisi Thailand mulai menutup seluruh jalan keluar dari universitas dan mulai menembak ke dalam kampus dengan senjata api, dari senapan mesin, pistol, hingga senjata anti-tank. Mahasiswa yang keluar dengan bendera putih untuk menyerah pun ditembak oleh polisi.

Awalnya penembakkan dimulai dari depan pagar Universitas Thammasat, polisi mulai masuk ke dalam kampus dan menyerbu mereka. Beberapa mahasiswa yang melarikan diri ke Sungai Chao Phraya pun ditembak dengan kapal angkatan laut.

Saksi mata melaporkan bahwa paramiliter menyerang, merampok, melakukan pelecahan seksual, menembak, digantung di pohon dan dipukul hingga dibakar bahkan kepada mahasiswa yang menyerahkan diri.

Universitas Thammasat menjadi lautan darah, dimana pemerintah menyatakan korban tewas sebanyak 46 orang walaupun saksi mata menyatakan lebih dari 100 orang.  

Seorang pria meletakkan bunga di monumen yang memperingati Pembantaian 6 Oktober | Foto diambil dari Bangkok Post
Seorang pria meletakkan bunga di monumen yang memperingati Pembantaian 6 Oktober | Foto diambil dari Bangkok Post

"Tidak ada lagi pilihan ketiga"

Ketika mengunjungi Universitas Thammasat pada tahun 2018, penulis tidak menemukan banyak perbedaan dengan universitas lainnya di Indonesia. Universitas Thammasat sendiri dibagi menjadi 4 kampus, dimana pusat sekaligus yang menjadi tempat kejadian pembantaian berada di Kampus Tha Phra Chan, Bangkok.

Sesampainya di depan gerbang Kampus Tha Phra Chan, sebuah patung pahatan batu sederhana menyambut penulis. Patung tersebut membentuk huruf dan angka dalam bahasa Thailand yang diterjemahkan sebagai "6 Oktober 2519". Tahun 2519 adalah tahun 1976 sesuai dengan penanggalan menggunakan kalender lunar.

Diceritakan bahwa monumen ini pertama kali dibahas pembuatannya pada tahun 1996. Universitas Thammasat selaku pihak yang membangun monumen ini mengadopsi sebuah kebijakan dimana pembangunan monumen ini tidak boleh menggunakan dana sumbangan dari pemerintah. Setelah beberapa tahun melakukan penggalangan dana, pada 6 Oktober 2020 monumen ini diresmikan.   

Momumen ini melibatkan ratusan artis sepenjuru Thailand. Dimana penulis mengutip dari salah satu seniman, "monumen ini harus membuat para pengunjung kaget dan tidak dapat tersenyum". 

Di bawah monumen tersebut, penulis menemukan beberapa patung berbentuk wajah korban didalamnya. Selain itu juga terukir juga nama-nama dari korban pembantaian.  

Di balik momumen yang sederhana ini, penulis menemukan sebuah kalimat yang diukir. Menurut penulis, kalimat yang ditulis oleh Dr. Puey Ungphakorn selaku rektor Universitas Thammasat pada waktu kejadian menambah makna dari momumen sederhana ini.

"Yang paling disesalkan adalah fakta bahwa anak muda sekarang tidak punya lagi pilihan ketiga. Jika mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan pemerintah, mereka harus melarikan diri. Mereka yang tertarik dengan cara-cara damai untuk mewujudkan kebebasan dan demokrasi harus mulai dari awal", tertulis dibawah momumen yang mengingat kejadian terkelam dalam sejarah Thailand. 

Sumber: 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun